Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Etalase budaya kerajaan mataram

Prajurit yang tak berguna untuk perang dinamakan prajurit keraton. keprajuritan mereka bukan untuk mencari nafkah tapi buat pengabdian & keyakinan. prajurit keraton dirakit lagi untuk tujuan kebudayaan.(sd)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK semua prajurid berguna untuk perang. Di Yogya ada yang dinamakan "Prajurid Kraton" yang tampaknya lebih menyerupai pajangan. Atau semacam etalase budaya dari masa lalu Kerajaan Mataram. Mereka umumnya sudah pada tua. Tapi tetap tegak di Pagelaran menjaga istana Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurachman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Kaping IX yang sekarang menjabat Wakil Presiden R.l Ada di antara prajurid tersebut orang-orang berada. Mereka punya hari depan lain dan juga usah sendiri. Mereka punya anak-anak yang mahasiswa salah satu perguruan di Yogya. Keprajuridan mereka bukanlah usaha untuk mencari nafkah, akan tetapi pengabdian dan keyakinan. Barangkali itu sebabnya mereka mengenakan seragam dengan sebuah keris di pinggang. Mata mereka memandang ke depan, dengan dagu terangkat. Sementara anak-anak muda selalu memandang mereka dengan rasa humor. Untuk Kebudayaan Dengan senjata tombak kakek Bekel Yudostomo Suryowijayan --63 tahun --dan konconya kakek Ngatijan -- 60 tahun -- berdiri di sisi regol Kraton. Piket. Mereka bertugas mengawasi orang keluar masuk Kraton yang memang dibuka lebar buat wisatawan. Pakaian mereka adalah pakaian "peranakan". Terdiri dari belangkon, kain batik, keris, baju peranakan dan tanpa alas kaki. Mereka dapat giliran setiap 10 hari. Lama tugas: satu hari satu malam. Mereka tergabung daLam barisan "Punakawan" yang jumlahnya kini sekitar 1500. Mereka sangat senang disebut abdi dalem. Ini seakan-akan memberikan harga diri yang membedakan mereka dengan penduduk Yogyakarta yang lain. Prajurid Kraton mulai dikenal sejak Kraton Yogya berdiri tahun 1755. Pada zaman Sultan larnengku Buwono I hingga VI, mereka masih pinter berperang. Kemungkinan karena situasi tambah tenang sejak Hamengku Buwono VII, para prajurid tersebut hanya menjadi inventaris upacara-upacara. Bahkan pada tahun 1939 - Hamengku Buwono IX - mercka dicoret. Boleh jadi pertimbangannya karena masing-masing swapraja terikat dengan pemerintah penjajah. Keamanan kraton pada masa ini ditangani langsung oleh Reh Purorekso yang mempunyai atasan berpangkat Purorekso. Dengan Ketetapan Presiden (Soekarno) 19 Agustus 1945, negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Paku Alaman menjadi bagian dari daerah kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1970 reruntuhan prajurid Kraton dirakit kembali. Bukan karena keadaan mulai mengharuskan peperangan, tapi semata-mata untuk keperluan upacara. "Bukan untuk tujuan politis, tapi untuk kebudayaan," ujar Karebet Sutardi BCHK, sekretaris Tepas Keprajuridan. Tepas Keprajuridan yang berkedudukan di kraton, bertugas untuk mengkordinir. Pimpinannya GP Mangkubumi. Di samping itu juga banyak bergerak dalam bidang sosial. Terakhir pada zaman Hamengku Buwono VIII jumlah prajurid kraton sekitar 900-an. Sekarang tercatat 600 orang. Bedanya yang lain, mereka sekarang diambil bukan saja dari kalangan "abdi dalem". Di antaranya ada yang dari mahasiswa dan pelajar. Semacam peremajaan. Struktur organisasi mengenal tingkatan sebagaimana yang ada dalam militer pada umumnya. Pucuk pimpinan yang disebut Manggoloyudo dipegang oleh BRM Ibnu Prastowo--putera Sultan. Di bawahnya adalah Pandego alias "kapten" sebanyak 7 orang. Kemudian ada 21 orang Komandan Peleton yang disebut Panji. Di bawahnya ada 42 orang sersan. Selebihnya prajurid yang disebut jajar. Kalau kesatuan-kesatuan tempur memiliki apa yang disebut "para", prajurid kraton juga punya yang disebut Wirohrojo (prajurid lombok abang). Pakaian yang dikenakannya berwarna merah. Peleton-peleton lain memiliki nama dan kostumnya masing-masing. Dabeng serba putih, Patangpuluh dan Jagakarya pakai lurik. Prawiratama seragam hitam. Adapun senjata kebanggaan mereka berupa tombak, panah, towah dan senjata lantaan. Tapi senjata-senjata ini ditanggalkan kalau ada upacara keprajuridan. Mereka dapat kesempatan memikul LE hasil pinjaman dari Korem 072 Pamungkas yang tentu saja jauh lebih berat. Tidak Ada Gaji Mereka benar-benar pengabdi yang non komersiil. Karena itu gaji mereka juga rendah sekali. Yudostomo, kakek yang barusan kita kenal, mengaku dapat gaji Rp 2 ribu per bulan. Ini mestinya tidak cukup untuk hidup. Tapi orang tua itu membantah. "Cukup! Sebab yang dipakai adalah berkahnya Sri Sultan " Maklum, bapak dari 5 anak ini ternyata tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada kraton. Ia nyambi jadi tukang masak "bakpia". Anda tahu sendiri apa itu bakpia. "Apa yang menyebablan saya kerasan," kata Yudostomo, "adalah karena naluri, karena nenek moyang juga sejak dulu sudah jadi abdi dalem." Ngatijan alias Ngabei Martopatmo Wiharjo malahan mengaku "tidak ada gaji." Abdi Lialem yang berasal dari Ringinharjo (Bantul) ini setiap bulan hanya menerima honor Rp 200. Tapi ia tampak sangat bangga dengan gelar Mas Ngabei yang diberikan Sultan. "Yang pokok setia pada Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Ngayogyakarta " Tentu saja doa restu tidak cukup dijadikan modal untuk hidup. Ngatijan cukup sehat fikiran untuk mempertimbangkan hal itu. Ia masih memiliki jatah pensiunan sebagai pegawai pengairan Kabupaten Bantul, sejak tahun 1970. Sedangkan di Kraton debutnya mulai tahun 1972. Ia menanggung anak yang baru duduk di kelas Vl SD. Entah bagaimana nasib pendidikan anak itu di hari kemudian. Sebagaimana diketahui fasilitas pendidikan di Nga-Yogyakarta amat luas, tetapi yang menikmatinya kebanyakan orang luar daerah. Apalagi kalau bukan alasan ekonomi. Sesuai dengan dasar tolaknya, persyaratan untuk menjadi prajurid kraton bukanlah kesempurnaan fisik. Di sini terbuka kesempatan bagi mereka yang berjiwa militer tapi tidak berbodi perkasa. Pokoknya setia-Yudostomo misalnya, yang magang sejak tahun 1931, baru pada tahun 1939 diangkat menjadi abdi dalem. Waktu itu ia termasuk prajurid Wirobrojo dengan tugas sebagai pemain drumband. Tentulah ia telah sempat membuktikan kesetiaannya, kepatuhannya -- sesuatu yang kelihatannya memang sangat terpuji dalam filsafat hidup orang Jawa. Sekaten Para prajurid ini berkesempatan memamerkan diri setiap tahun pada perayaan yang disebut "Sekaten". Pada hari tersebut mereka menjadi pengawal dan sekaligus tontonan yang mengingatkan bagaimana cara-cara kraton menyebarkan agama Islam. Pesta ini dibuka dengan mengeluarkan "Gamelan Sekaten" yang bernama "Kanjeng Kyai Sekati" dari kraton menuju ke bangsal "Ponconiti". Dan pada 5 Maulud yang jatuh pada tanggal 13 Pebruari baru lalu, para prajurid ini mendapat kehormatan mengawal gamelan menuju Kaguruan Dalem Masjid Besar. Ini dilakukan pada malam hari sehingga terasa amat dramatis. Setelah di wiyoskan, kurang lebih seminggu kemudian, gamelan tersebut ditabuh di halaman masjid besar Kaumanan. Lantas menjelang tengah malam pada 12 Maulud (19 Pebruari yang lalu) dikawal kembali masuk kraton. Disusul pagi berikutnya yang diisi oleh upacara bernama "Grebeg". Upacara yang juga disebut "Gunungan" ini sebagai hajat dengan membagi-bagikan makanan kepada rakyat setelah terlebih dahulu didoakan di masjid. Upacara semacam ini juga diselenggarakan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan kraton tetap sebagai dalangnya. Setiap tanggal 28, orang seperti Yudostomo menerima gajinya yang sedikit itu. Tapi setiap hari itu pula nyawanya Seperti disambung oleh bangga karena bisa mengabdi. Lepas dari adakah pengabdian total boleh dianggap sebagai sari teladan, tugas sebagai prajurid-prajurid etalase ini sudah memberikan hiburan buat orang-orang tua. Mungkin fungsi sosialnya akan berkembang sehingga kelak ia bisa merupakan kesatuan yang berarti lebih dari pajangan. Sekarang yang dapat dicatat, ia telah sempat membuat orang kecil merasa bangga dalam kesederhanaannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus