SETAHU saya pelukis Indonesia yang menggambarkan kehidupan
anak-anak dalam karya-karyanya jarang -- untuk tidak mengatakan
tak ada. Mungkin karena itu pameran Salim M. dan Sudaryono di
Balai Budaya, 25 Pebruari sampai 3 Maret ini menarik, terutama
sekali dan memang hanya untuK karya Salim saja. Sudaryono masih
menyuguhkan potret alam dengan gaya zaman PERSAGI. Ia masih
nampak "baru berangkat" melukis.
Tiga puluh lukisan Salim menyuguhkan potret kehidupan anak-anak,
atau yang berkaitan dengan itu--dan jelas, bukan anak-anak kota
tapi desa. Dan suasana yang disuguhkannya, entah karena itu
menyangkut dunia anak-anak atau karena lain hal, adalah suasana
yang tenteram, aman dan sentausa. Pada bidang gambarnya, Salim
menyuguhkan kesunyian, ketenteraman, kesentausaan desa jauh
dari polusi, jauh dari hiruk-pikuk. Alam, manusia dan hewan
serasa begitu dekat.
Sebuah lukisannya berjudul "Mengurung Niat". Tiga anak lelaki
memegang ketepel, di atas pohon seekor burung bertengger di
sarangnya, dan dua anak burung menciap mengangakan paruhnya
sebagai latar belakang pohon-pohon, rumah dan dua anak
perempuan nampak berlari di kejauhan. Jelas apa yang mau dicatat
lukisan satu ini karena anak-anak burung yang masih membutuhkan
induknya, anak-anak itu mengurungkan niatnya membidik sang
burung.
Lukisan yang lain-lain kebanyakan memotret kegembiraan anak-anak
bermain: "Anak-anak dan Kupu-kupu," "Main layang-layang",
'bnak-anak Berpayung", "Anak-anak bermain". Dan dalam semuanya
saja, tak nampak anak-anak berkelahi semua rukun.
Kekuatan menyuguhkan suasana memang terasa sekali dalam
karya-karya Salim. Dalam "Anak-anak Bermain I" beberapa anak
lelaki menunggang kuda-kudaan dari pelepah pisang, beberapa anak
perempuan berkejaran, kayaknya itu terjadi di malam hari.
Sementara dalam "Anak-anak Bermain II", di mana anak-anak
bermain sembunyi-dapat, kayaknya memotret permainan anak di
siang hari. lalu dalam "Mendung". Tanpa terlalu banyak berbeda
apabila ia menggambarkan langit, ternyata "Mendung" memang bisa
pas dengan tiga anak lelaki dan perempuan yang menengadah ke
langit sepertinya cemas menanti hujan.
Salim juga bisa memotret keharuan. Dalam "Anak Kecil Membawa
Bunga", seorang anak perempuan membawa bunga berdiri di antara
pohon-pohon ada rasa sendu di situ seolah-olah anak itu hendak
menaruh bunga di pusara Entah siapa. Dan dalam "Apa Daya" Salim
sedikit berfilsafat jika burung dan ikan bisa mengembara ke mana
saja untuk mencari tempat yang banyak makanannya, manusia hanya
bisa berkata: apa daya. Mungkin Salim alpa, manusia pun bisa
mencari tempat, untuk memungkinkannya mencari nafkah yang lebih
baik. Salim sendiri, di Jakarta adalah seorang urbanis dari
Kroya. Tapi mungkin juga lukisan itu hendak menyuguhkan sikap
hidup orang desa nrimo, menerima nasib.
Begitulah secara keseluruhan Salim memang berhasil. Dunia
anak-anak sungguh tak asing bagi Salim--pelukis, bujangan, lahir
di Kroya 21 Oktober 1941. Karena itu apa yang digambarkannya
bisa akrab, lucu, menarik dan bersih. Bersih dari pretensi
menggurui atau melempar semacam slogan--misalnya saja bahwa anak
desa lebih murni dari anak kota, atau bahwa sebaiknya kita
bersikap begini atau begitu terhadap anak-anak. Salim
seakan-akan tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk dunia kini atau
barangkali yang digambarkannya hanyalah kenangan manis semasa
kanak-kanaknya. Tapi bagaimanapun, ia telah menyuguhkan lukisan
yang menggugah rasa keindahan kita menyaksikan anak-anak bermain
layang-layang, berkejaran dengan kupu-kupu atau kegembiraan
menunggang kerbau. Ia sejenak mengingatkan kita kembali, bahwa
di samping dunia yang hiruk ini--pemberontakan, pembajakan,
pembunuhan--masih ada satu dunia yang tenteram dan sentausa:
dunia anak-anak desa. Dan juga seolah-olah memperingatkan kita
kini: apakah dunia anak-anak desa itu juga akan terancam? Sampai
kapankah kegembiraan dan ketenteraman mereka bisa bertahan?
Tentu, semua itu tak bisa lepas begitu saja dari kemampuan Salim
dalam soal artistik. Pengalaman artistiknya dibina sejak ia
kecil -- "sejak kecil saya sudah suka menggambar." Dan
kerapiannya menyusun bentuk, diperolehnya dari pekerjaannya
membuat leter, atau disain untuk kaos oblong. Juga
lukisan-lukisan yang dipamerkan kini -- yang baru mulai
digarapnya enam bulan yang lalu--adalah diilhami cara pembuatan
kaos oblong: dengan matres dari karton ia membuat bentuk pada
kertas gambarnya, dan membubuhkan warna dengan spon.
Perlu juga dikemukakan beberapa hal yang memberikan kesan, Salim
agak takut-takut lepas bebas mengekspresikan dorongan hatinya.
Misalnya, kertas yang digunakan sama warnanya--dan sebagian
kertas itu tak tersentuh cat--dan bentuk-bentuk figur anak-anak
rasanya sama: seperti mereka saudara kembar semuanya.
Orang bisa saja mendapat kesan, karya-karya Salim kayaknya
dipengaruhi cukilan kayu Jepang dalam suasana puitisnya, dalam
soal kerapiannya. Tapi pelukis itu hanya tersenyum tak mengerti
--sungguh mati, teknis ia diilhami cara pengerjaan menulis atau
menggambari kaos oblong, dan ide, ia hanya menuangkan kembali
kenangan masa kanak-kanaknya. Barangkali kita yang salah selama
ini terlalu banyak melihat ke luar dan tidak berusaha melihat
dari dalam diri kita sendiri. Kita sering lupa, bahwa seni yang
baik selalu luput dari definisi -- karena pengertian seni itu
berkembang dari jaman ke jaman--dan hanya menyentuh hati,
mengembangkan potensi dalam diri manusia untuk tetap merasa
memang masih ada yang layak dalam kehidupan. Karya-karya Salim
memberikan itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini