AWAS
Teater Mandiri
Naskah & Sutradara: Putu Wijaya
INI adalah perang saudara. Bermula dengan ditemukannya tadi di
atas batu pemujaan oleh Mbah (Djoko Quartantyo). Dan karena
musuh telah dianggap musnah, maka mau tak mau tentu di antara
mereka sendiri yang berak. Jadi, perang saudara. Perang yang
dahsyat, karena masing-masing pihak menggenggam keyakinan dengan
fanatik. Juga perang yang sadis, karena Bapak mereka sendiri pun
dibantsi. Meski semua itu dilakukan dengan pedih, karena
Anak-anak itu tak tahu jalan lain.
Dan perang memang selalu akan ada - paling tidak begitulah
"Awas"nya Putu ini mencatat. Bapak (Kamsudi) dan Ibu (Renny
Putu Wijaya) yang pada mulanya menentang perang, karena Ibu akan
melahirkan "Adik", akhirnya justru memimpin pertempuran dengan
bersemangat. Dan karena itu Anak-anak mengundurkan diri.
Sementara mereka tahu, ternyata yang berak di atas batu Mbah
mereka sendiri. "Pada akhir lakon ini," demikian penutup folder,
"Bapak seperti mendengar suara perdamaian abadi datang.
Sedangkan Ibu tak berani mempercayai apa-apa lagi."
Naskah Awas (yang tak sempat saya baca) agaknya penuh dengan
dialog-dialog yang mempunyai asosiasi dengan keadaan kita kini.
Perbedaan keyakinan antara Anak-anak dan Bapak, telah
membangkitkan semangat barbar. Tapi dengan demikian, berbeda
dengan naskah Putu yang lain--Edan misalnya-gambaran hitam
naluri manusia mendapatkan pengesahan dalam Awas. Kekerasan dan
kesadisan di situ tak lagi terasa begitu mengerikan, karena
terjadi dalam perang. Dan seperti biasanya, Putu sempat
menyelipkan dialog-dialog yang memancing tawa, adegan-adegan
yang lucu meski getir. Misalnya, ketika Ibu menyuruh bayinya
masuk kembali ke dalam rahim.
Panggung Teater Tertutup TIM, 24 Pebruari sampai dengan 2 Maret
yang lalu, dihias dengan dolken-dolken dan trap-trap yang
merupakan titik-titik sudut sebuah segi tiga--alasnya frontal
menghadap penonton. Maka panggung itu pun terasa melebar,
apalagi ditambah kain yang menutup "atap" panggung dan "atap"
bagian depan kursi penonton. Agaknya memang disediakan untuk
adegan-adegan yang kolosal: perang. Dan tongkat panjang
berbendera yang selalu digerak-gerakkan oleh salah seorang
pemain, rasanya memang mau menyuguhkan suasana yang selalu ribut
dan kacau.
Tapi apakah yang bisa dibicarakan dalam peperangan? Ketakutan
Bapak dan Ibu akan punahnya keturunan mereka. Juga ketakutan
kalau Adik yang akan lahir pun adalah calon pengobar dan korban
peperangan. Perdamaian abadi, agaknya, hanya bisa dinikmati oleh
mereka yang telah mati (Bapak yang mendengar suara-suara
perdamaian abadi, sebetulnya telah mati, tapi kemudian hidup
lagi).
Maka, pertunjukan yang makan waktu kurang lebih dua jam ini,
dialog-dialog terasa stereotip. Rasanya tak ada perlunya dengan
cermat mengikuti apa kata pemain. Sementara gaya pementasan
Teater Mandiri masih tak beranjak dari: gerak-gerak yang keras,
suara-suara yang keras (misalnya kayu-kayu yang
digedruk-gedrukkan ke lantai panggung) dan adegan-adegan sadis
(orang ditembak, orang dipenggal kepalanya).
Kita pun merasa lelah, begitu separo pertunjukan terlewati.
Kalau Putu menulis dalam folder, bahwa pementasan ini beridekan
film karton, rasanya film karton yang masih sederhana sekali.
Film karton yang tak memungkinkan variasi adegan-adegan.
Dari sebuah naskah yang kira-kira akan membosankan bila diikuti
sampai habis, mustinya adegan-adegan bisa mengusir kebosanan.
Menurut saya, Putu kali ini tak memberikan itu. Seorang pemain
yang turun ke penonton dan berteriak-teriak di situ pun, tak
berhasil menggoncang panggung agar tak terasa begitu-begitu
saja. Juga usaha pergantian suasana dengan pemain-pemain yang
mengenakan topeng, tak berhasil mengusir nada tunggal irama
pementasan.
Mungkin naskah Awas memang sarat dengan
pengulangan-pengulangan. Dan seorang sutradara yang sekaligus
penulis naskahnya, mungkin merasa sayang bila harus memotong
dialog-dialog. Itu barangkali sebabnya. Soalnya kita tak
menyangsikan kemampuan Putu, yang telah pernah menyuguhkan Lho
yang demikian kaya nuansa, yang demikian mencekam dari awal
sampai akhir.
Singkatnya, Awas terasa mengulur-ulur waktu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini