Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengulur tempo

Karya: putu wijaya sutradara: putu wijaya resensi oleh: bambang bujono. (ter)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAS Teater Mandiri Naskah & Sutradara: Putu Wijaya INI adalah perang saudara. Bermula dengan ditemukannya tadi di atas batu pemujaan oleh Mbah (Djoko Quartantyo). Dan karena musuh telah dianggap musnah, maka mau tak mau tentu di antara mereka sendiri yang berak. Jadi, perang saudara. Perang yang dahsyat, karena masing-masing pihak menggenggam keyakinan dengan fanatik. Juga perang yang sadis, karena Bapak mereka sendiri pun dibantsi. Meski semua itu dilakukan dengan pedih, karena Anak-anak itu tak tahu jalan lain. Dan perang memang selalu akan ada - paling tidak begitulah "Awas"nya Putu ini mencatat. Bapak (Kamsudi) dan Ibu (Renny Putu Wijaya) yang pada mulanya menentang perang, karena Ibu akan melahirkan "Adik", akhirnya justru memimpin pertempuran dengan bersemangat. Dan karena itu Anak-anak mengundurkan diri. Sementara mereka tahu, ternyata yang berak di atas batu Mbah mereka sendiri. "Pada akhir lakon ini," demikian penutup folder, "Bapak seperti mendengar suara perdamaian abadi datang. Sedangkan Ibu tak berani mempercayai apa-apa lagi." Naskah Awas (yang tak sempat saya baca) agaknya penuh dengan dialog-dialog yang mempunyai asosiasi dengan keadaan kita kini. Perbedaan keyakinan antara Anak-anak dan Bapak, telah membangkitkan semangat barbar. Tapi dengan demikian, berbeda dengan naskah Putu yang lain--Edan misalnya-gambaran hitam naluri manusia mendapatkan pengesahan dalam Awas. Kekerasan dan kesadisan di situ tak lagi terasa begitu mengerikan, karena terjadi dalam perang. Dan seperti biasanya, Putu sempat menyelipkan dialog-dialog yang memancing tawa, adegan-adegan yang lucu meski getir. Misalnya, ketika Ibu menyuruh bayinya masuk kembali ke dalam rahim. Panggung Teater Tertutup TIM, 24 Pebruari sampai dengan 2 Maret yang lalu, dihias dengan dolken-dolken dan trap-trap yang merupakan titik-titik sudut sebuah segi tiga--alasnya frontal menghadap penonton. Maka panggung itu pun terasa melebar, apalagi ditambah kain yang menutup "atap" panggung dan "atap" bagian depan kursi penonton. Agaknya memang disediakan untuk adegan-adegan yang kolosal: perang. Dan tongkat panjang berbendera yang selalu digerak-gerakkan oleh salah seorang pemain, rasanya memang mau menyuguhkan suasana yang selalu ribut dan kacau. Tapi apakah yang bisa dibicarakan dalam peperangan? Ketakutan Bapak dan Ibu akan punahnya keturunan mereka. Juga ketakutan kalau Adik yang akan lahir pun adalah calon pengobar dan korban peperangan. Perdamaian abadi, agaknya, hanya bisa dinikmati oleh mereka yang telah mati (Bapak yang mendengar suara-suara perdamaian abadi, sebetulnya telah mati, tapi kemudian hidup lagi). Maka, pertunjukan yang makan waktu kurang lebih dua jam ini, dialog-dialog terasa stereotip. Rasanya tak ada perlunya dengan cermat mengikuti apa kata pemain. Sementara gaya pementasan Teater Mandiri masih tak beranjak dari: gerak-gerak yang keras, suara-suara yang keras (misalnya kayu-kayu yang digedruk-gedrukkan ke lantai panggung) dan adegan-adegan sadis (orang ditembak, orang dipenggal kepalanya). Kita pun merasa lelah, begitu separo pertunjukan terlewati. Kalau Putu menulis dalam folder, bahwa pementasan ini beridekan film karton, rasanya film karton yang masih sederhana sekali. Film karton yang tak memungkinkan variasi adegan-adegan. Dari sebuah naskah yang kira-kira akan membosankan bila diikuti sampai habis, mustinya adegan-adegan bisa mengusir kebosanan. Menurut saya, Putu kali ini tak memberikan itu. Seorang pemain yang turun ke penonton dan berteriak-teriak di situ pun, tak berhasil menggoncang panggung agar tak terasa begitu-begitu saja. Juga usaha pergantian suasana dengan pemain-pemain yang mengenakan topeng, tak berhasil mengusir nada tunggal irama pementasan. Mungkin naskah Awas memang sarat dengan pengulangan-pengulangan. Dan seorang sutradara yang sekaligus penulis naskahnya, mungkin merasa sayang bila harus memotong dialog-dialog. Itu barangkali sebabnya. Soalnya kita tak menyangsikan kemampuan Putu, yang telah pernah menyuguhkan Lho yang demikian kaya nuansa, yang demikian mencekam dari awal sampai akhir. Singkatnya, Awas terasa mengulur-ulur waktu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus