Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konsultan

Negara pemberi pinjaman modal, menyiapkan konsultan untuk pelaksanaan proyeknya. perincian teknis data proyek masih asing bagi indonesia dan menunjukkan harga tinggi. konsultan hanya makan & tidur enak.

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sebulan Mandor Idris menekuni usaha mengumpulkan sumbangan sukarela dari warganya. Ia memelopori pengadaan diesel pembangkit listrik untuk menerangi warganya. Kampungnya yang terletak di pinggiran kota Jakarta sampai saat ini masih gelap dan serem. Tahun lalu, jalan tapak yang berkelok-kelok merobek keterbelakangan desa Jagakarsa itu sudah diaspal. Berkat Inpres. Kini tuntutan warganya meningkat. Mereka minta listrik. Namun setelah dihubungi PLN,harga gardu yang mesti jadi beban langganan, sampai meliputi puluhan juta. Belum pemasangan tiang, biaya penyambungan, instalasi dan lain-lain. Ini tak mungkin dilaksanakan. Tetapi warga toh tak mudah dijelaskan itu semuanya. Tau nya, rumah Pak Lurah, Haji Amat, Mandor Yani dan lainlain yang juga di Jagakarsa toh bisa pasang listrik. Dengan pembangkit kecil, mereka mengadakan listrik hanya untuk rumah keluarga masing-masing. Terpaksa Mandor Idris terpanggil aleh beban tugas yang diwarisi dari Bapak dan Kakeknya itu. Ia kumpulkan dana. Ia kumpulkan sumbangan batang pohon jengkol, untuk tiang listrik made in Jagakarsa. Tetapi kabel, mana ada kebon warganya yang menanam pohon kabel listrik? Maka iapun memberanikan diri menghadap Mas Her, kenalannya, yang kebetulan juga penggede di DKI. Dengan tersipu-sipu Mandor Idris menerangkan maksudnya, dan menjelaskan usahanya itu. Mendengar akal polos rakyat yang nyaris buta huruf itu, Mas Her tertegun. Sudah beberapa lama ia digoda oleh obsesinya untuk mewujudkan rekomendasi konsultan, tentang listrik kedesaan. Tetapi ia dan rekan-rekan konsultannya sendiri, tidak pernah bisa menemukan jalan bagaimana mewujudkan gagasan itu. Malah kawan-kawan teknisinya sudah terlanjur menganggap gagasan itu ngelantur. Bagaimana bisa memberi listrik rakyat pedesaan yang miskin dan jauh dari jaringan pembangkit itu. Ia tak mengira, Mandor Idris telah mendahului langkah, merintis mewujudkan impian yang semula dianggap ngoyo Woro itu. * * * Begitu keluar dari ruang pertemuan, Cak Pur mengumpat untuk meredakan kekesalannya. Barusan ia menjual gagasan dan usulan proyek yang secara teknis telah dengan seksama disiapkan oleh konsultannya. Seperti biasa, konsultan itu tunjukkan negara calon pemberi pinjaman. Seminggu penuh ia mempelajari perincian teknis data proyek, yang terus terang memang asing bagi kebanyakan birokrat Indonesia. Maklum, di situ juga dijual teknologi terbaru. Tetapi apa yang terjadi, di hadapan team pengkaji, ternyata proyeknya merupakan lelucon besar. "Tahukah anda, bahwa di seluruh dunia, termasuk di negara calon pemberi pinjaman itu sendiri, belum pernah ada kelengkapan sarana Rumah Potong yang demikian ultra modernnya? Dan tahukah anda, bahwa akibat kelewat neko-nekonya yang diajukan, barang itu jadi lima kali lebih mahal dari harga perlengkapan standar yang dipakai di manapun?" Pertanyaan itulah yang menggoda Cak Pur. Seolah ia menuduh diri sendiri, tetapi juga sekaligus ia bersyukur terselamatkan dari keikutsertaan dalam proses pembodohan yang memalukan. Di Institut Pertanian Bogor beredar cerita tentang seekor sapi: Untuk menggalakkan peternakan dan mengembangkan bibit unggul, didatangkanlah seekor sapi pemacek dari Texas, si Jack namanya. Tinggi besar, dewasa dan meyakinkan. Dengan susah payah si Jack dijamin hidupnya, melebihi sapi-sapi piaraan lainnya. Karena dari negara berhawa sejuk kandangnyapun diberi AC. Untuk makannya khusus diimpor rumput dari Australia. Obat-obatan khusus didatangkan dari Swiss. Tetapi sudah sekian bulan melalui masa penyesuaian, usaha pemacekan masih belum juga terwujud. Sapi Madura, sapi Bali sapi Nusa Tenggara, sapi Jawa, bahkan sapi Benggala juga semuanya ditampik oleh Jack. Pemacekan tidak juga terjadi. Padahal kesehatan dan kondisi badan sang pejantan menurut dokter hewan segalanya normal. Berbulan-bulan si Jack tetap enak makan, enak tidur. Tetapi mewujudkan tugas yang diharapkan si Jack tidak kunjung sudi. Sang peternak pun gelisah. Segala cara sudah ditempuh, termasuk meminta nasehat konsultan ternak dari mana-mana. Semuanya sia-sia. Sang peternak hampir putus asa. Sampai akhirnya pembersih kandang Jack itu mengajukan usul sebaai usaha terakhir. Ia kenal "orang tua" dari Ciomas. Yang kabarnya keturunan Anglingdarma, Mang Suha namanya. Mang Suha tidak hanya pintar mengobati manusia maupun binatang tetapi juga bisa tatajalma (bicara) dengan segala makhluk. Termasuk dengan sapi. Maka dipanggillah Mang Suha untuk memeriksa si Jack sapi pemacek yang lagi ngadat itu. Sejenak Mang Suha masuk kandang hanya berdua dengan Jack saja. Seperempat jam kemudian, keluar dari kandang, muka Mang Suha berseri-seri. Sambil menggosok-gosok tangannya iapun berbisik kepada si peternak pemilik sapi. "Den, kata si Jack mah dulu ia dibawa kasini, kontraknya bukan sabagai pamacek. Katana, ia mah teken kontrak dikirim ka Indonesia cuma sebagai konsultan . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus