SUDAH sebulan Mandor Idris menekuni usaha mengumpulkan sumbangan
sukarela dari warganya. Ia memelopori pengadaan diesel
pembangkit listrik untuk menerangi warganya. Kampungnya yang
terletak di pinggiran kota Jakarta sampai saat ini masih gelap
dan serem. Tahun lalu, jalan tapak yang berkelok-kelok merobek
keterbelakangan desa Jagakarsa itu sudah diaspal. Berkat Inpres.
Kini tuntutan warganya meningkat. Mereka minta listrik. Namun
setelah dihubungi PLN,harga gardu yang mesti jadi beban
langganan, sampai meliputi puluhan juta. Belum pemasangan tiang,
biaya penyambungan, instalasi dan lain-lain. Ini tak mungkin
dilaksanakan.
Tetapi warga toh tak mudah dijelaskan itu semuanya. Tau nya,
rumah Pak Lurah, Haji Amat, Mandor Yani dan lainlain yang juga
di Jagakarsa toh bisa pasang listrik. Dengan pembangkit kecil,
mereka mengadakan listrik hanya untuk rumah keluarga
masing-masing. Terpaksa Mandor Idris terpanggil aleh beban tugas
yang diwarisi dari Bapak dan Kakeknya itu. Ia kumpulkan dana. Ia
kumpulkan sumbangan batang pohon jengkol, untuk tiang listrik
made in Jagakarsa. Tetapi kabel, mana ada kebon warganya yang
menanam pohon kabel listrik?
Maka iapun memberanikan diri menghadap Mas Her, kenalannya, yang
kebetulan juga penggede di DKI. Dengan tersipu-sipu Mandor Idris
menerangkan maksudnya, dan menjelaskan usahanya itu. Mendengar
akal polos rakyat yang nyaris buta huruf itu, Mas Her tertegun.
Sudah beberapa lama ia digoda oleh obsesinya untuk mewujudkan
rekomendasi konsultan, tentang listrik kedesaan. Tetapi ia dan
rekan-rekan konsultannya sendiri, tidak pernah bisa menemukan
jalan bagaimana mewujudkan gagasan itu. Malah kawan-kawan
teknisinya sudah terlanjur menganggap gagasan itu ngelantur.
Bagaimana bisa memberi listrik rakyat pedesaan yang miskin dan
jauh dari jaringan pembangkit itu. Ia tak mengira, Mandor Idris
telah mendahului langkah, merintis mewujudkan impian yang semula
dianggap ngoyo Woro itu.
* * *
Begitu keluar dari ruang pertemuan, Cak Pur mengumpat untuk
meredakan kekesalannya. Barusan ia menjual gagasan dan usulan
proyek yang secara teknis telah dengan seksama disiapkan oleh
konsultannya. Seperti biasa, konsultan itu tunjukkan negara
calon pemberi pinjaman. Seminggu penuh ia mempelajari perincian
teknis data proyek, yang terus terang memang asing bagi
kebanyakan birokrat Indonesia. Maklum, di situ juga dijual
teknologi terbaru. Tetapi apa yang terjadi, di hadapan team
pengkaji, ternyata proyeknya merupakan lelucon besar.
"Tahukah anda, bahwa di seluruh dunia, termasuk di negara calon
pemberi pinjaman itu sendiri, belum pernah ada kelengkapan
sarana Rumah Potong yang demikian ultra modernnya? Dan tahukah
anda, bahwa akibat kelewat neko-nekonya yang diajukan, barang
itu jadi lima kali lebih mahal dari harga perlengkapan standar
yang dipakai di manapun?" Pertanyaan itulah yang menggoda Cak
Pur. Seolah ia menuduh diri sendiri, tetapi juga sekaligus ia
bersyukur terselamatkan dari keikutsertaan dalam proses
pembodohan yang memalukan.
Di Institut Pertanian Bogor beredar cerita tentang seekor sapi:
Untuk menggalakkan peternakan dan mengembangkan bibit unggul,
didatangkanlah seekor sapi pemacek dari Texas, si Jack namanya.
Tinggi besar, dewasa dan meyakinkan. Dengan susah payah si Jack
dijamin hidupnya, melebihi sapi-sapi piaraan lainnya. Karena
dari negara berhawa sejuk kandangnyapun diberi AC. Untuk
makannya khusus diimpor rumput dari Australia. Obat-obatan
khusus didatangkan dari Swiss.
Tetapi sudah sekian bulan melalui masa penyesuaian, usaha
pemacekan masih belum juga terwujud. Sapi Madura, sapi Bali sapi
Nusa Tenggara, sapi Jawa, bahkan sapi Benggala juga semuanya
ditampik oleh Jack. Pemacekan tidak juga terjadi. Padahal
kesehatan dan kondisi badan sang pejantan menurut dokter hewan
segalanya normal. Berbulan-bulan si Jack tetap enak makan, enak
tidur. Tetapi mewujudkan tugas yang diharapkan si Jack tidak
kunjung sudi.
Sang peternak pun gelisah. Segala cara sudah ditempuh, termasuk
meminta nasehat konsultan ternak dari mana-mana. Semuanya
sia-sia. Sang peternak hampir putus asa. Sampai akhirnya
pembersih kandang Jack itu mengajukan usul sebaai usaha
terakhir. Ia kenal "orang tua" dari Ciomas. Yang kabarnya
keturunan Anglingdarma, Mang Suha namanya. Mang Suha tidak hanya
pintar mengobati manusia maupun binatang tetapi juga bisa
tatajalma (bicara) dengan segala makhluk. Termasuk dengan sapi.
Maka dipanggillah Mang Suha untuk memeriksa si Jack sapi pemacek
yang lagi ngadat itu. Sejenak Mang Suha masuk kandang hanya
berdua dengan Jack saja. Seperempat jam kemudian, keluar dari
kandang, muka Mang Suha berseri-seri. Sambil menggosok-gosok
tangannya iapun berbisik kepada si peternak pemilik sapi. "Den,
kata si Jack mah dulu ia dibawa kasini, kontraknya bukan sabagai
pamacek. Katana, ia mah teken kontrak dikirim ka Indonesia cuma
sebagai konsultan . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini