KARENA susah mengangkut peraIatan, pertunjukan "Les Percussions
de Strasbourg" terpaksa baru bisa dimulai pukul 21.30 dari
rencana jam 20.00. Mengambil tempat di TIM Teater (dulu Star),
malam tanggal 28 Maret itu tak sempat dibanjiri penonton. Tapi
para peminat cukup banyak, meskipun di antaranya kemudian segera
menyadari bahwa itu bukan makanan mereka. Ini grup kontemporer
yang sudah meninggalkan tehnik bermain konvensionil. Sebuah grup
yang sangat serius, yang benar-benar telah berusaha memainkan
segala kemungkinan bunyi. Satu hal yang mungkin aneh atau
mengada-ada bagi kebanyakan telinga.
Mula-mula terdengar bunyi genta sayup--seperti talu lonceng
gereja pada musim gugur. Lalu bunyi dengung mengantar
ketukan-ketukan logam dalam senyap yang menggigit. Dari sebelah
sana, seseorang dengan rasa kosong, memukuli muka genderang
dengan sepasang telunjuknya--lirih dan monoton. Rawan dan
terdesak. Pada saat lain, serangkaian gendang ditabuh, seolah
sebuah kelompok sirkus hadir di panggung itu. Kadang terdengar
mencuat suara garpu tala, gong Cina, atau gong Thailand.
Aneh
Inilah bagian awal komposisi "8 Ricercari", karya Miloslav
Kabelac" (Cekoslowakia) yang merupakan gubahan pendek untuk
musik perkusi. Tidak ada vokal, tidak ada alat musik lain,
seluruh ekspresi merupakan studi tentang ritme yang dituangkan
dengan alat perkusi. Di panggung tersedia gendang Afrika,
mokyubo Jepang, tablas tarang India, xylophone, dan sebagainya
-- seluruhnya berjumlah 150 buah. Berasal dari seantero dunia.
Bentuk, pemasangan, maupun cara memainkannya, aneh.
Mereka: Jean Batigne, Gabriel Bouchet, Jen Paul Finkbeiner,
Olivier dejours Georgcs van Gucht, dan Clau de Ricou, menamakan
diri "Les Percussions de Strasbourg"--Kelompok musik perkusi
dari Strasbourg--Perancis. Bukan kelompok jazz, bukan klasik,
pop ataupun musik oriental. Mereka memang menggantungkan gong,
dan beragam perkusi, yang dicomot dari negara-negara Asia
Selatan dan Afrika. Ke mana mereka mengadakan pertunjukan,
perlengkapan yang 2 ton beratnya itu diterbangkan juga. Di
dalamnya termasuk selembar seng (logam) atau beberapa keping
kayu Balsa. Perlengkapan ini sempat nyantol di Hongkong.
Sehingga jam pertunjukan jadi begitu telat.
Menonton Jenis pertunukan musik macam begini--seperti nonton
Abdul Syukur ketika pertama kali muncul dengan Parentheses 1-11.
Membutuhkan ke kesabaran dan sikap lapang. Suara-suara yang
dihasilkan alat-alat pukul itu, memberi banyak kemungkinan orang
untuk berkhayal. Tapi seperti dikemukakan pemusik Suka Hardjana,
"meskipun melodinya tidak kukuh, alurnya masih jelas kelihatan."
Jadi maaf, tidak ngawur. Bentuk dari komposisi pun masih tampak,
walau kadang nada-nada yang kurang harmonis meluncur dengan
bcbas. Semuanya sudah ditakar dan diperhitungkan dengan cermat.
Mirip ilmu pasti.
Xenakis
Hierophonie V karya Yoshihisa Taira sebagai persembahan kedua
diawali dengan pukulan-pukulan primitif pada gendang, xilophone,
cymbal dan timpani. Kadang hanya guratan ujung pemukul pada gong
Cina, diiringi serangkaian tcriakan gaya Jepang. Kemudian scbuah
mokyuba (Jepang) dipukul di atas cymbal yang diinjak pedalnya
menimbulkan dengung yang melayanglayang dengan aneh. Apalagi
ketika seuah perkusi Afrika, mirip huluh bambu besar dipukul
dengan agresif. Tempo permainan berubah dinamis. Beberapa saat
kemudian keenamnya menggebrak per kusi tapi segera pula berhenti
tiba-tiba. Lalu terdengar denting halus dari sebuah perkusi
logam, disambut dengan pukulan lirih pada xylophone. Inilah isi
kalbu Taira, 40 tahun, lulusan Universitas Kesenian Tokyo.
Sikapnya terhadap bunyi modern, tapi tetap berbau musik
tradisionil Jepang, yang kuat.
Sudah 17 tahun silam di kota Strasbourg, Perancis Timur, sejak
keenam musisi ini bertemu. Kabarnya mereka merupakan kelompok
pertama di dunia untuk jenis musik macam begini. Keenamnya
keluaran Konservatorium Nasional Paris. Bertemu di Strasbour,
karena jabatannya di Orkes Kotapraja Strasbourg. Mereka selalu
menyelenggarakan pertunjukan tanpa seorang dirigen. Kehadirannya
memberikan inspirasi buat beberapa komponis terkenal seperti
Boulez, Messiaen, Kazimierz Serocki, Xenakis. Mereka sengaja
menyusun komposisi untuk dibawakan kelompok ini. Mereka
memperoleh banyak penghargaan. Lebih 1000 kali nongol di
panggung, sudah memainkan 50 komposisi perkusi dan punya koleksi
rekaman yang tersohor bernama: "Prospective 21 eme siecle.
Pada nomor terakhir ditampilkan "Peraphossa" karya "Xenakis".
Dibantu awak panggung, mereka menggusur perlengkapan musiknya
menyebar di antara penonton. 3 unit ditempatkan di deret
belakang, 3 unit lainnya berada di kawasan panggung. Penonton
dikelilingi para pemain perkusi - sehingga mereka akan berada di
tengah aliran musik. "Komposisi ini, memanfaatkan teori baru
tentang gerak aliran bunyi musik dan fungsi logika gelombang
suara," tulis selebaran pantia.
Memang agak merepotkan untuk didengar, manakala dari hampir
setiap sudut terdengar bunyi-bunyi perkusi. Resonansi suara yang
paling baik adalah pada kedudukan pusat lingkaran. Untuk mereka
yang menonton dekat dengan sumber bunyi perkusi, kadang situasi
pendengaran menjadi tidak cermat. Tapi sekali lagi semuanya ini
dengan perhitungan. "Tidak bisa improvisasi. Mereka berjalan
menurut part," kata Suka Hardjana.
Pemainnya sendiri, kelihatan amat rcpot untuk melayani komposisi
itu. Mereka harus menabuh genderang, xylophone, kecrekan. sampai
pada alat perkusi yang lembut-lembut. Kalau, bisanya orang
enak-enak saja menyantap dan menonton pertunjukan musik pada
sebuah pusat sumber bunyi malam itu terpaksa gelisah jungkir
balik mengatur liang telinga. Dengan kombinasi pukulan-pukulan
yang kadang agresif, dan halus, komposisi ini tidak untuk
ditelan dengan santai. Ia menawarkan masaalah dan mengajak orang
berdialog secara total. Toh, penonton sempat memberikan tepuk
hangat dan panjang. Bagaimana ya, ini sukses atau sekedar
basa-basi?
Esok paginya, di tempat yang sama dkdakar workshop. Slamet Abdul
Syukur memberi pengantar sekaligus penterjemah berkata "Mereka
ini mengingatkan kita pada sesuatu yang sebetulnya tidak kita
ketahui." Sementara salah seorang dari mereka menerangkan tehnik
pukulan genderang Perancis yang menjadi dasar tolak mereka.
Pukulan yang dinamakan pukulan Perancis sudah dikenal sejak
zaman Napoleon, tatkala genderang berfungsi untuk menggalakkan
serdadu berperang. Pukulan ini amat berbeda dengan pukulan drum
yang dikenal dalam permainan musik, karena ia benar-benar
dipukulkan sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang lebih galak.
Cara memukul itu kemudian disempurnakan dengan menambah sikap
terhadap bunyi dan sikap terhadap instrumen itu sendiri. Bukan
hanya mulut genderang yang dipukul, tetapi juga sisi bingkai dan
sesama alat pemukul itu sendiri. Adapun bunyi agaknya mulai
diselusuri artinya, sehingga ia bukan hanya alat untuk
mengungkapkan suasana, tetapi kehidupan bunyi itu sendiri. Di
sini musik tidak lagi hanya ilustrasi, tetapi sudah subjek itu
sendiri.
Didemonstrasikanlah pada pagi itu bagaimana menghidupkan
alat-alat perkusi itu dengan cara yang lain. Cara yang tidak
wajar, karena baik bagian yang dipukul, maupun alat pemukulnya
dicoba dengan segala macam kemungkinan. Kalau xilophone jamaknya
bilahnya yang ditabuh, mereka menabuh bubu alias kotak suara.
"Sebenarnya hal ini agak bertentangan dengan karakter alat-alat
perkusi, yang pada hakekatnya hanya menghasilkan suara yang
putus-putus," demikian antara lain diterangkan. "Ini semacam
usaha untuk menarik sebuah garis lewat jajaran titik-titik
seperti yang diajarkan oleh ilmu ukur konvensionil."
Rituil
Sementara itu sempat pula mereka menanyakan, apakah ada musikus
tradisionil yang kemudian beralih menjadi pemusik pop di
Indonesia. Edy Tulis seorang tukang pukul drum, yang diundang
naik untuk berdialog segera menjawab. "Sejauh yang saya ketahui
di Indonesia terjadi sebaliknya. Banyak pemusik masa kini yang
sekarang mulai memperhatikan dan mempelajari musik tradisionil.
Jawaban ini tidak mengagetkan orang-orang Perancis itu. "Saya
mengerti," kata mereka, "Sesungguhnya musik perkusi Indonesia
lebih rumit ketimbang musik perkusi Eropa. Karena itulah di
samping membuat pertunjukan, kami datang ke mari untuk belajar."
Seberapa jauh akan mereka masuki musik tradisionil kita dalam
kunjungannya yang pendek ini, tentu saja tergantung pada kaliber
penyerapan mereka. Mereka orang-orang profesionil yang sudah
sering kerja keras. Jadi itikadnya boleh dipercaya. Hanya saja
kita ragu terhadap penyerapan jangka pendek. Agaknya perbedaan
musik perkusi kita dengan orang-orang ini bukan hanya soal
tehnik, terutama sekali soal sikap. Mereka menghadapi musik
sangat rasionil. Mereka dengan sukses telah merenggutkan musik
sebagai sesuatu kehidupan, sebagai suatu dunia yang tersendiri.
Sementara musik bagi kita menyatu sebagai bagian yang tak lepas
dari kehidupan. Mereka sangat formil dan analitis, sementara
kita sangat emosionil akan tetapi juga rituil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini