Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ini dia musik berfikir

Pertunjukan les percussions de strasbourg di tim jakarta. penonton tidak banyak, mereka menyadari itu bukan makanan mereka. pertunjukan grup kontemporer yang meninggalkan teknik bermain konvensionil.(ms)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA susah mengangkut peraIatan, pertunjukan "Les Percussions de Strasbourg" terpaksa baru bisa dimulai pukul 21.30 dari rencana jam 20.00. Mengambil tempat di TIM Teater (dulu Star), malam tanggal 28 Maret itu tak sempat dibanjiri penonton. Tapi para peminat cukup banyak, meskipun di antaranya kemudian segera menyadari bahwa itu bukan makanan mereka. Ini grup kontemporer yang sudah meninggalkan tehnik bermain konvensionil. Sebuah grup yang sangat serius, yang benar-benar telah berusaha memainkan segala kemungkinan bunyi. Satu hal yang mungkin aneh atau mengada-ada bagi kebanyakan telinga. Mula-mula terdengar bunyi genta sayup--seperti talu lonceng gereja pada musim gugur. Lalu bunyi dengung mengantar ketukan-ketukan logam dalam senyap yang menggigit. Dari sebelah sana, seseorang dengan rasa kosong, memukuli muka genderang dengan sepasang telunjuknya--lirih dan monoton. Rawan dan terdesak. Pada saat lain, serangkaian gendang ditabuh, seolah sebuah kelompok sirkus hadir di panggung itu. Kadang terdengar mencuat suara garpu tala, gong Cina, atau gong Thailand. Aneh Inilah bagian awal komposisi "8 Ricercari", karya Miloslav Kabelac" (Cekoslowakia) yang merupakan gubahan pendek untuk musik perkusi. Tidak ada vokal, tidak ada alat musik lain, seluruh ekspresi merupakan studi tentang ritme yang dituangkan dengan alat perkusi. Di panggung tersedia gendang Afrika, mokyubo Jepang, tablas tarang India, xylophone, dan sebagainya -- seluruhnya berjumlah 150 buah. Berasal dari seantero dunia. Bentuk, pemasangan, maupun cara memainkannya, aneh. Mereka: Jean Batigne, Gabriel Bouchet, Jen Paul Finkbeiner, Olivier dejours Georgcs van Gucht, dan Clau de Ricou, menamakan diri "Les Percussions de Strasbourg"--Kelompok musik perkusi dari Strasbourg--Perancis. Bukan kelompok jazz, bukan klasik, pop ataupun musik oriental. Mereka memang menggantungkan gong, dan beragam perkusi, yang dicomot dari negara-negara Asia Selatan dan Afrika. Ke mana mereka mengadakan pertunjukan, perlengkapan yang 2 ton beratnya itu diterbangkan juga. Di dalamnya termasuk selembar seng (logam) atau beberapa keping kayu Balsa. Perlengkapan ini sempat nyantol di Hongkong. Sehingga jam pertunjukan jadi begitu telat. Menonton Jenis pertunukan musik macam begini--seperti nonton Abdul Syukur ketika pertama kali muncul dengan Parentheses 1-11. Membutuhkan ke kesabaran dan sikap lapang. Suara-suara yang dihasilkan alat-alat pukul itu, memberi banyak kemungkinan orang untuk berkhayal. Tapi seperti dikemukakan pemusik Suka Hardjana, "meskipun melodinya tidak kukuh, alurnya masih jelas kelihatan." Jadi maaf, tidak ngawur. Bentuk dari komposisi pun masih tampak, walau kadang nada-nada yang kurang harmonis meluncur dengan bcbas. Semuanya sudah ditakar dan diperhitungkan dengan cermat. Mirip ilmu pasti. Xenakis Hierophonie V karya Yoshihisa Taira sebagai persembahan kedua diawali dengan pukulan-pukulan primitif pada gendang, xilophone, cymbal dan timpani. Kadang hanya guratan ujung pemukul pada gong Cina, diiringi serangkaian tcriakan gaya Jepang. Kemudian scbuah mokyuba (Jepang) dipukul di atas cymbal yang diinjak pedalnya menimbulkan dengung yang melayanglayang dengan aneh. Apalagi ketika seuah perkusi Afrika, mirip huluh bambu besar dipukul dengan agresif. Tempo permainan berubah dinamis. Beberapa saat kemudian keenamnya menggebrak per kusi tapi segera pula berhenti tiba-tiba. Lalu terdengar denting halus dari sebuah perkusi logam, disambut dengan pukulan lirih pada xylophone. Inilah isi kalbu Taira, 40 tahun, lulusan Universitas Kesenian Tokyo. Sikapnya terhadap bunyi modern, tapi tetap berbau musik tradisionil Jepang, yang kuat. Sudah 17 tahun silam di kota Strasbourg, Perancis Timur, sejak keenam musisi ini bertemu. Kabarnya mereka merupakan kelompok pertama di dunia untuk jenis musik macam begini. Keenamnya keluaran Konservatorium Nasional Paris. Bertemu di Strasbour, karena jabatannya di Orkes Kotapraja Strasbourg. Mereka selalu menyelenggarakan pertunjukan tanpa seorang dirigen. Kehadirannya memberikan inspirasi buat beberapa komponis terkenal seperti Boulez, Messiaen, Kazimierz Serocki, Xenakis. Mereka sengaja menyusun komposisi untuk dibawakan kelompok ini. Mereka memperoleh banyak penghargaan. Lebih 1000 kali nongol di panggung, sudah memainkan 50 komposisi perkusi dan punya koleksi rekaman yang tersohor bernama: "Prospective 21 eme siecle. Pada nomor terakhir ditampilkan "Peraphossa" karya "Xenakis". Dibantu awak panggung, mereka menggusur perlengkapan musiknya menyebar di antara penonton. 3 unit ditempatkan di deret belakang, 3 unit lainnya berada di kawasan panggung. Penonton dikelilingi para pemain perkusi - sehingga mereka akan berada di tengah aliran musik. "Komposisi ini, memanfaatkan teori baru tentang gerak aliran bunyi musik dan fungsi logika gelombang suara," tulis selebaran pantia. Memang agak merepotkan untuk didengar, manakala dari hampir setiap sudut terdengar bunyi-bunyi perkusi. Resonansi suara yang paling baik adalah pada kedudukan pusat lingkaran. Untuk mereka yang menonton dekat dengan sumber bunyi perkusi, kadang situasi pendengaran menjadi tidak cermat. Tapi sekali lagi semuanya ini dengan perhitungan. "Tidak bisa improvisasi. Mereka berjalan menurut part," kata Suka Hardjana. Pemainnya sendiri, kelihatan amat rcpot untuk melayani komposisi itu. Mereka harus menabuh genderang, xylophone, kecrekan. sampai pada alat perkusi yang lembut-lembut. Kalau, bisanya orang enak-enak saja menyantap dan menonton pertunjukan musik pada sebuah pusat sumber bunyi malam itu terpaksa gelisah jungkir balik mengatur liang telinga. Dengan kombinasi pukulan-pukulan yang kadang agresif, dan halus, komposisi ini tidak untuk ditelan dengan santai. Ia menawarkan masaalah dan mengajak orang berdialog secara total. Toh, penonton sempat memberikan tepuk hangat dan panjang. Bagaimana ya, ini sukses atau sekedar basa-basi? Esok paginya, di tempat yang sama dkdakar workshop. Slamet Abdul Syukur memberi pengantar sekaligus penterjemah berkata "Mereka ini mengingatkan kita pada sesuatu yang sebetulnya tidak kita ketahui." Sementara salah seorang dari mereka menerangkan tehnik pukulan genderang Perancis yang menjadi dasar tolak mereka. Pukulan yang dinamakan pukulan Perancis sudah dikenal sejak zaman Napoleon, tatkala genderang berfungsi untuk menggalakkan serdadu berperang. Pukulan ini amat berbeda dengan pukulan drum yang dikenal dalam permainan musik, karena ia benar-benar dipukulkan sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang lebih galak. Cara memukul itu kemudian disempurnakan dengan menambah sikap terhadap bunyi dan sikap terhadap instrumen itu sendiri. Bukan hanya mulut genderang yang dipukul, tetapi juga sisi bingkai dan sesama alat pemukul itu sendiri. Adapun bunyi agaknya mulai diselusuri artinya, sehingga ia bukan hanya alat untuk mengungkapkan suasana, tetapi kehidupan bunyi itu sendiri. Di sini musik tidak lagi hanya ilustrasi, tetapi sudah subjek itu sendiri. Didemonstrasikanlah pada pagi itu bagaimana menghidupkan alat-alat perkusi itu dengan cara yang lain. Cara yang tidak wajar, karena baik bagian yang dipukul, maupun alat pemukulnya dicoba dengan segala macam kemungkinan. Kalau xilophone jamaknya bilahnya yang ditabuh, mereka menabuh bubu alias kotak suara. "Sebenarnya hal ini agak bertentangan dengan karakter alat-alat perkusi, yang pada hakekatnya hanya menghasilkan suara yang putus-putus," demikian antara lain diterangkan. "Ini semacam usaha untuk menarik sebuah garis lewat jajaran titik-titik seperti yang diajarkan oleh ilmu ukur konvensionil." Rituil Sementara itu sempat pula mereka menanyakan, apakah ada musikus tradisionil yang kemudian beralih menjadi pemusik pop di Indonesia. Edy Tulis seorang tukang pukul drum, yang diundang naik untuk berdialog segera menjawab. "Sejauh yang saya ketahui di Indonesia terjadi sebaliknya. Banyak pemusik masa kini yang sekarang mulai memperhatikan dan mempelajari musik tradisionil. Jawaban ini tidak mengagetkan orang-orang Perancis itu. "Saya mengerti," kata mereka, "Sesungguhnya musik perkusi Indonesia lebih rumit ketimbang musik perkusi Eropa. Karena itulah di samping membuat pertunjukan, kami datang ke mari untuk belajar." Seberapa jauh akan mereka masuki musik tradisionil kita dalam kunjungannya yang pendek ini, tentu saja tergantung pada kaliber penyerapan mereka. Mereka orang-orang profesionil yang sudah sering kerja keras. Jadi itikadnya boleh dipercaya. Hanya saja kita ragu terhadap penyerapan jangka pendek. Agaknya perbedaan musik perkusi kita dengan orang-orang ini bukan hanya soal tehnik, terutama sekali soal sikap. Mereka menghadapi musik sangat rasionil. Mereka dengan sukses telah merenggutkan musik sebagai sesuatu kehidupan, sebagai suatu dunia yang tersendiri. Sementara musik bagi kita menyatu sebagai bagian yang tak lepas dari kehidupan. Mereka sangat formil dan analitis, sementara kita sangat emosionil akan tetapi juga rituil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus