Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA ini bingung dan pusing juga, ujar Jaya Suprana, pianis dan kartunis terkenal yang juga Ketua Yayasan Ginjal Jawa Tengah. Pasal kepusingannya: kedudukan donor dalam transplantasi ginjal. "Yang menawarkan ada, penderitanya ada dan mau, tapi karena faktor etis, agama, dan hukum, si penderita tidak bisa ditolong," kata musikus yang juga pengusaha jamu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepusingan Jaya membuahkan sebuah diskusi. Awal November lalu, Yayasan Ginjal Jawa Tengah, bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jawa Tengah, menyelenggarakan diskusi panel sehari perihal etika transplantasi ginjal, khususnya yang menyangkut donor: mereka yang merelakan sebuah ginjalnya (dari dua buah) untuk menolong penderita ginjal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donor ginjal, sampai kini, memang sulit didapat. Transplantasi yang sudah berlangsung, yang berjumlah 70 terhitung sejak 1977, tidak sampai menjadi masalah karena donor umumnya keluarga dekat. Tapi dengan meningkatnya jumlah penderita ginjal, muncul gagasan untuk mendapat ginjal melalui mayat (kadaver) dan juga dengan jalan membeli.
Hingga kini kedua praktek itu belum dicoba sama sekali. Masalahnya, menurut undang-undang kesehatan yang dikeluarkan tahun 1981, pembelian organ tubuh untuk transplantasi tidak diperkenankan. Bahkan disebutkan, menerima kompensasi material apa pun sebagai imbalan juga tidak dibenarkan. Pada diskusi yang diselenggarakan di Semarang itu pendapat pun umumnya terpecah dua.
Ada kelompok yang merasa "penjualan" ginjal tidak apa-apa. "Penderita kaya bisa tertolong sehingga ia bisa melanjutkan kariernya, sedang si miskin yang merelakan ginjalnya bisa terangkat hidupnya," ujar seorang pembicara. Dan dari sisi medis, pemberian sebuah ginjal memang tidak membahayakan donor.
Pembicara lain dari kelompok berlawanan sudah terang tak sepakat. "Jual beli ini bisa mendidik orang jauh dari sikap kemanusiaan dan menurunkan rasa sosial," ujar dr. Imam Parsudi - dokter yang telah berhasil melakukan lima transplantasi ginjal. Parsudi juga mengkhawatirkan, jual beli itu akan dengan cepat berkembang ke jaringan penjualan semacam mafia, yang terbukti terjadi di luar negeri.
Entah pendapat mana yang lebih baik, kemungkinan meluasnya keinginan menjual ginjal memang ada. Pasalnya, mudah ditebak, tekanan ekonomi. Contohnya adalah Noor Subangkoro. Ayah tujuh anak asal Kampung Kebunrejo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, itu Oktober lalu menawarkan ginjalnya ke rumah sakit Tlogorejo, Semarang. "Saya rela melepaskan salah satu ginjal saya jika mendapat imbalan 10 juta rupiah," katanya.
Penyebabnya, himpitan ekonomi. Entah bagaimana cara Subangkoro menetapkan harga. Namun, yang pasti, dengan harga ginjalnya itu, sebuah transplantasi ginjal akan bisa menelan biaya sekitar 20 juta rupiah (pembedahannya berkisar antara 5 dan 10 juta rupiah). Tapi di sisi lain, biaya sakit ginjal tanpa transplantasi sama beratnya. Yang membuat mahal bila ginjal tak diganti adalah pencucian darah (hemodialisis) yang harus dilakukan secara tetap: bisa sampai sekali seminggu.
Sekali cuci-darah, dengan peralatan khusus, biayanya bisa mencapai 200 ribu rupiah. Maka, bisa dihitung: sebulan dibutuhkan biaya sekitar 800 ribu rupiah, dan setahun saja sekitar 10 juta rupiah. Sudah sembilan bulan terakhir ini Subangkoro kehilangan pekerjaannya. Kehidupan rumah tangganya sekarang bertumpu di pundak istrinya, Sutati, seorang guru sekolah dasar. Sudah tentu, kebutuhan tidak tercukupi, karena ketujuh anak mereka semuanya masih bersekolah.
Tambahan lagi, Subangkoro sedang menyelesaikan pembangunan rumahnya. Rumah itu sudah 60% dibangun. Biaya yang sudah keluar sekitar dua juta rupiah, di antaranya pinjaman bank. Karena Subangkoro kehilangan pekerjaannya, ia tak bisa mencicil pinjaman bank itu. "Ini sudah saya perhitungkan masak-masak, demi tegaknya ekonomi keluarga saya," ucap Subangkoro. Dan istrinya, yang mendampingi suaminya dalam pembicaraan, tampaknya sepakat. "Memang itu sudah menjadi niat suami saya, saya tinggal pasrah saja," katanya.
Masih belum jelas apakah RS Tlogorejo menerima tawaran itu, tapi yang pasti, Subangkoro sudah pernah dipanggil dan menjalani tes darah. Memang para dokter agaknya masih banyak yang ragu. Perintis transplantasi ginjal, dr. Sidabutar, di Jakarta menyatakan bahwa sampai kini donor ginjal yang didapatnya masih selalu punya kaitan darah, atau hubungan psikologis seperti suami-istri. "Di luar itu, pada prinsipnya, tidak kami lakukan," katanya.
Soal pencarian donor nonkeluarga, menurut Sidabutar, perlu disusun dulu organisasinya. Dan organisasi inilah yang mengumpulkan dana untuk membantu penderita gagal ginjal. Dengan demikian, tidak terjadi transaksi langsung. Agaknya karena itu Jaya Suprana berusaha keras mencari dana bagi yayasan ginjal yang dipimpinnya. Setelah mengadakan lomba siul, Desember mendatang ia merencanakan mengadakan lomba merayu untuk mencari dana untuk kas yayasan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo