JAMUR dikenal sebagai tumbuhan yang tidak memiliki klorofil atau zat hijau daun. Karena itu, tumbuhan ini tak mampu "memasak" makanannya sendiri (dalam proses fotosintesa). Maka, jamur senantiasa hidup sebagai parasit pada benda hidup lainnya. Akan tetapi, jamur dikenal pula sebagai berguna bagi kehidupan manusia. Ia digunakan dalam pembuatan asam susu, tempe, oncom, roti, dan bir. Dan yang mengejutkan, di samping yang berguna itu, sebagian besar dari 200.000 jenis jamur, tidak mengganggu kehidupan manusia, hewan maupun tanaman - kendati menumpang sebagai parasit. Yang mengganggu, cuma sekitar 50 jenis. Tapi jenis-jenis jamur yang mengusik ini sekaligus berbahaya. Pada sejumlah hewan piaraan, beberapa jenis jamur mematikan. Dan pada manusia, beberapa jenis jamur bisa menyerang paru-paru dan dikenal pula menimbulkan berbagai infeksi. Akibatnya tentu saja fatal. Satu di antara jamur yang berbahaya itu adalah histoplasma kapsulatum. Jamur ini menyerang sel-sel jaringan tubuh manusia dan berkembang (atau menumpang hidup) di dalam sel-sel itu, khususnya pada sel-sel jaringan hati. Akibatnya, timbul pengapuran di banyak bagian tubuh dan juga infeksi. Untung, insidensi penyakit akibat jamur ini sangat kecil. Namun, jamur itulah yang menyerang Garry Fantinus Wiyana, yang tinggal bersama kedua orangtuanya di Bandung. Awal tahun, sejumlah gejala penyakit muncul padanya, tapi tak seorang dokter pun menduga ia kena histoplasma kapsulatum. Baru enam bulan kemudian ihwal penjamuran itu ketahuan, secara kebetulan pula. Ikhtiar pengobatan sebenarnya sudah agak terlambat karena Garry - akibat salah diagnosa - terlalu banyak menelan obat keras. Tapi untung tubuh bocah 10 tahun itu kuat, dan jamur belum meluas. November ini, Garry akan menjalani pemeriksaan untuk memastikan apakah jamur histoplasma kapsulatum sudah bersih sama sekali. Alkisah, antara akhir tahun lalu dan awal tahun ini, Garry sering mengeluh merasa mual. Sesudah itu, suhu badannya pun meninggi disertai batuk-batuk dan kadang-kadang juga mencret. Oleh dokter ia diberi obat panas. Tapi karena panasnya tidak turun, ia terpaksa dirawat di Rumah Sakit St. Boromeus, Bandung. Perawatan di rumah sakit itu ternyata harus berlangsung selama 35 hari. Berbagai dugaan mewarnai diagnosa, mencari penyebab mengapa panas Garry tidak turun-turun juga. Mulanya, bocah 10 tahun itu diduga tipus. "Tapi hasil laboratorium sama sekali tak menunjang untuk tifus," ujar Tisna Wiyana, ayah Garry, mengisahkan. Sesudah itu, berbagai perkiraan datang silih berganti: malaria, monokleus infeksiosa, TBC, sejenis rematik, bahkan kanker. Berbagai obat tentunya ganti-berganti pula. Tapi pada akhirnya dokter anak yang merawat Garry angkat tangan. "Semua pemeriksaan dokter tak mendukung dugaan dokter," kata Tisna lagi, "padahal tes untuk malaria saja sampai dua kali." Kesimpulan dokter akhirnya: panas yang tak diketahui sebabnya - dikenal sebagai FUO (Fever of Unknown Origin). Merasa tak mau menyerah, April tahun ini, kedua orangtua Garry membawanya ke Singapura. Lalu pemeriksaan diulang keseluruhannya di Singapore General Hospital. Kondisi Garry sendiri ketika itu sudah sangat lemah. Karena terlampau lama ia berbaring, kedua kakinya lemas tak bisa digunakan. Ke mana-mana ia harus didorong di kursi roda. Di Singapura, nasib Garry tak berubah banyak. Mula-mula ia disebut terkena sejenis penyakit otoimun, juvenil rematoid artritis (sejenis penyakit rematik akibat kekebalan tubuh, TEMPO, 9 November 85). Untuk itu, Garry mendapat obat keras kortekosteorid. Panasnya memang turun, tapi tak bisa dikatakan bocah Bandung itu sembuh. Keraguan dalam pemeriksaan mau tak mau mengharuskan penelitian dilanjutkan. Diagnosa kemudian dipindahkan ke dugaan kanker saluran cerna atau praleukemia. Ayah Garry mengisahkan, untuk pemeriksaan inl sampai-sampai ditempuh risiko biopsi jaringan hati (pengutilan sedikit untuk pemeriksaan laboratorium). Risikonya, biopsi itu akan menimbulkan perdarahan yang sulit berhenti karena sel-sel pembeku darah Garry merosot drastis jumlahnya akibat obat-obat keras. Hasil pemeriksaan menunjukkan diagnosa sekali lagi salah. Tapi kali ini, secara kebetulan ditemukan pula kelainan di sel hati Garry. Dan setelah ditelusuri secara cermat diketahuilah Garry diserang jamur histoplasma kapsulatum. Para dokter di negara tetangga itu dengan sendirinya terkejut, tak menyangka, karena memang ini termasuk penyakit jarang. Untuk mengobati jamurnya, Garry harus mendapat suntikan amfotersin-B. Tapi segera timbul reaksi: bocah malang itu muntah-muntah. Ia tak tahan karena sel-sel darah merahnya mengalami penurunan jumlah, dari sekitar 400.000 menjadi 31.000 saja. Tubuhnya pun menggigil disertai meningginya suhu badan. "Tapi para dokter sekali lagi menempuh risiko. Soalnya, itu satu-satunya obat," ujar Tisna Wiyana. Untung, tubuh Garry ternyata kuat. Penjamuran tak sampai meluas ke seluruh tubuhnya, dan pengobatan dengan amfotersin tak perlu berkepanjangan. "Kalau sudah menyebar, barangkali Garry tidak akan tertolong lagi," kata Tisna, menirukan komentar para dokter Singapura. Akhirnya, Juli yang baru lalu, Garry merasa mendingan. Ia mulai sembuh sedikit demi sedikit, dan kembali ke tanah air. Kini tubuhnya malah mengembang jadi gemuk. Mengomentari kasus Garry, dr. Ramlan Sadeli dan Bobby Prabowo, dari Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, berpendapat, sulitnya ditemukan penyakit jamur itu karena histoplasma kapsulatum tergolong penyakit asimtomatis. "Hampir 95% menimbulkan infeksi tanpa gejala," kata Ramlan. Di samping itu, penyakit jamur umumnya tidak berat hingga, menurut dua ahli mikrobiologi itu, para dokter umumnya melupakan kemungkinan ini. Kedua dokter itu menyatakan pula, sampai kini di lingkungan laboratorium mereka belum pernah ditemukan kasus histoplasma kapsulatum. "Kalau ada permintaan, pemeriksaannya sendiri sebetulnya tidak sulit," kata Ramlan. Iwan Sumara, Kepala Bidang Bakteriologi Perum Biofarma, Bandung, menyatakan pula belum pernah menemukan kasus jamur semacam punya Garry. Dokter ahli bakteriologi itu menjelaskan, penyakit itu banyak ditemukan di Amerika Selatan. Penularannya terjadi melalui burung dan sayur-sayuran yang dimakan tanpa dimasak - seperti misalnya lalap-lalapan. Pendapat Sumara ternyata cocok dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan Garry. Di rumah bocah itu kakaknya memelihara burung dara, dan Garry sendiri punya kesenangan menggigit-gigit rumput ketika bermain di lapangan bola. Jim Supangkat Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini