Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kawin emas museum yogya

Dalam merayakan hut ke-50 museum sonobudoyo, yogya, diadakan pameran berbagai jenis wayang. untuk mengajak masyarakat mengenal wayang. menyimpan koleksi buku-buku kuno tentang kebudayaan jawa. (sr)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSEUM di pinggir alun-alun kota Yogyakarta ini mendadak bersolek. Tembok jadi putih bersih, pintu, jendela, tiang-tiang bangunan, dipelitur hitam. Pendeknya, museum yang bangunannya dirancang Ir.Th. Karsten dengan arsitektur meniru masjid Kasepuhan di Cirebon, dan berpintu gerbang Semar Tinandu, itu seperti bangunan kuno yang baru dipugar. Suasana serba bersih itu ternyata untuk menyambut hari jadi museum yang memasuki usia setengah abad. Selasa pekan lalu diselenggarakan pameran wayang, berlangsung hingga 25 November nanti. Sebanyak 116 wayang dari berbagai jenis dipajang. Ada wayang Purwo, wayang Madya, wayang Wasana, wayang Potehi (wayang Cina), wayang Diponegoro (khusus untuk sejarah Pangeran Diponegoro), wayang Suluh (yang dimainkan untuk mengisahkan sejarah Proklamasi), wayang golek, dan - ini yang unik - wayang dari tangkai daun ketela pohon. Maksud pameran, seperti yang dikatakan Kepala Museum Sonobudoyo Drs. Djoko Soekiman, untuk mengajak masyarakat, terutama generasi muda, lebih mengenal wayang. Sayang, memang, pada beberapa jenis wayang, tak ada - misalnya - keterangan kapan wayang itu dibuat, siapa penciptanya, apa uniknya. Masih untung, wayang-wayang yang di hari-hari biasa ditumpuk dan sulit dilihat satu per satu itu - karena tempat tak memungkinkan - sekarang bisa dilihat lebih bebas, satu per satu. Ciri khas Sonobudoyo sebenarnya tidak terletak pada wayang, yang dalam jumlah dan ragam kalah dibanding Museum Wayang di Jakarta, misalnya. Koleksi bukunya pun, yang mencapai lebih dari 50 ribu judul, tidak menjadikannya museum besar. Sebagian besar buku itu berbahasa Belanda dan terbitan sebelum 1935. Buku-buku berbahasa Jawa dan Arab pegon (gundul) bertulis tangan, lumayan jumlahnya: sekitar 1.100. Di antara buku kuno itu ada yang berjudul Bundhel Kabar Kudusi yang ditulis tahun 1792. Buku setebal 169 halaman dengan huruf Jawa berbentuk gancaran (prosa) ini terdiri tiga bab, masing-masing: Kadis Kudusi (hadis suci atau hadis qudsi), Sedasa Perkawis (sepuluh perkara) dan Kabar Kiyamat (kabar tentang hari kiamat). Penulisnya tidak dikenal. Tapi, menurut Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, bekas wali kota Yogya yang kini jadi Rektor Universitas Janabadra, Yogyakarta, koleksi buku Sonobudoyo terlengkap mengenai sastra dan kebudayaan Jawa - dibandingkan museum yang ada di Solo, Jakarta, dan kota lainnya di Jawa. Nah, itulah ciri khasnya. "Di museum itu pula disimpan majalah Jawa terbitan Java Institut yang tak ada di perpustakaan lain", kata Soedarisman. Karkono Partokusumo, Ketua Lembaga Javanologi dan pengarang banyak buku tentang sastra Jawa, pernah pontangpanting mencari bahan studi untuk menulis buku tentang Sekaten Yogya, awal tahun 1938. Karkono mencari di berbagai perpustakaan. "Ternyata, di Sonobudoyo saya menemukan buku yang saya cari," katanya. Pengalaman lain, ketika Karkono melakukan studi tentang Ronggowarsito. "Ada buku Ronggowarsito yang saya temukan di Sonobudoyo, yang tak ada baik di Keraton Solo maupun Keraton Yogya," kata Karkono yang lupa tentang judul buku itu. Sayang, memang, jumlah orang yang bisa memanfaatkan koleksi itu belum juga dapat diperluas - sebagaimana juga kelemahan umum museum kita karena faktor bahasa itu. Dan ini diakui Banis Isma'un, Kepala Seksi Bimbingan museum itu, "Untuk menerjemahkan buku kuno itu amat sulit." Sonobudoyo mempunyai tiga penerjemah yang menurut Banis, "dengan kemampuan yang terbatas". Tak usah heran kalau di sana baru ada 25 buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Museum yang diresmikan Sultan Hamengkubuwono VIII hari Rabu Wage, 6 November 1935, ini ketika didirikan idenya "menampung koleksi karya seni budaya Jawa, Madura, dan Bali", seperti dikatakan Banis. Karena itulah, sampai sekarang di Sonobudoyo ada ruang Madura dan ruang Bali. Di ruang Bali, misalnya, dipamerkan beberapa jenis tombak, patung kuno, denah rumah - yang kesemuanya tidak jelas tahun pembuatan, penciptanya, dan manfaatnya. "Ini memang salah satu kekurangan kami", kata Djoko Soekiman mengakui. Tapi bagi Teguh Asmar, Kepala Museum Nasional, Jakarta, kekurangan yang disebutkan Djoko Soekiman bisa dipahami, karena koleksi yang tak jelas asal muasalnya itu hanyalah "koleksi pendamping", yang bisa jadi di museum lain bisa ditelusuri asal usulnya. Karena menurut Teguh Asmar, setiap museum umumnya memiliki jenis koleksi yang tidak banyak berbeda dengan museum yang lain, meski juga punya kelebihan tertentu. "Kelebihan Sonobudoyo karena koleksi buku-bukunya tentang kebudayaan Jawa itulah," katanya. "Dulu, tahun 1950-an, perpustakaan museum ini banyak dikunjungi mahasiswa UGM yang akan menyusun skripsi," kata Djoko Soekiman, yang juga dosen di Fakultas Sastra UGM ini. Sekarang dengan pengunjung rata-rata sehari seratus orang, kesibukan studi itu rupanya berkurang. Putu Setia Laporan E.H. Kartanegara (Yogya) dan Yusroni Henridewanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus