KODE etik kedokteran mungkin sudah usang. Beberapa pasal dari
kode etik itu, misalnya, larangan berpraktek di gang, di pasar
dan memberikan keterangan untuk pers, mungkin perlu
dipertanyakan kembali. Banyak dokter menganggap norma-norma itu
sudah tak sesuai lagi. "Berpraktek di gang tak bakalan
merendahkan derajat dokter, malah memudahkan pelayanan kepada
masyarakat. Memberikan penerangan mengenai kesehatan di media
massa tidak bisa dianggap mempromosikan diri, kecuali ditinjau
dengan pikiran yang sempit," kata Ketua Umum Ikatan Dokter
Indonesia, dr. Abdullah holil, MPH.
Kode Etik yang dipegang para dokter sekarang ini merupakan hasil
Musyawarah Nasional Susila Kedokteran tahun 1969. Beberapa pasal
dari kode etik itu nampaknya akan ramai diperdebatkan kembali
dalam musyawarah nasional yang direncanakan berlansung bulan
Desember mendatang.
Di negara-negara lain kode etik juga diperdebatkan orang. Di
Singapura misalnya (dokter Indonesia juga diundang) 9 Mei lalu
berlangsung diskusi besar yang dihadiri 400 dokter untuk
membicarakan: "Masalah-masalah etika kedokteran sekarang ini."
Dokter-dokter Singapura yang menghadiri pertemuan itu dengan
sengit memperdebatkan mengapa dokter spesialis dilarang
mengiklankan tentang spesialisasi mereka. Padahal pencantuman
spesialisasi itu di dalam iklan akan mempermudah pasien dalam
mencari pelayanan. Dalam buku telepon di Singapura dokter hanya
mencantumkan nama saja. Sedangkan spesialisasi mereka tidak.
Begitulah kode etiknya.
Dr. Andrew Chew, direktur pelayanan medis Singapura dalam
kesempatan itu mengemukakan kemungkinan sudah matang saatnya
untuk memperkenankan dokter mengiklankan diri mereka secara
bijaksana. Katanya tak ada alasan sama sekali untuk membiarkan
seorang pasien tertunda-tunda dalam mencari pelayanan spesialis.
"Sebab pelayanan kesehatan tak boleh menjadi mahal karena ada
orang yang jadi perantara," katanya.
Dalam buku telepon di sini pun hanya ditemukan nama dokter.
Sedang memasang iklan di media massa jelas bertentangan dengan
etika. Kecuali iklan itu hanya menyebutkan pindah tempat
praktek. Meskipun terkadang ada yang lewat pasien membiarkan
dirinya diiklankan. Umpamanya ucapan terimakasih dengan
mencantumkan nama dokter yang bersangkutan dengan huruf yang
menyolok.
Dalam pertemuan dengan pimpinan media massa bulan Maret lalu,
Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat mengajak pers untuk
tidak menerima iklan serupa itu. "Untuk. menghindari terlibatnya
pers dalam pelanggaran etika," katanya.
Boleh Tawar
Ketua IDI, dr. Abdullah Cholil, MPH menganggap masalah iklan dan
dokter yang dibicarakan di Singapura itu tidak cocok dengan
Indonesia. "Apalagi kalau ditinjau dari segi iklan dalam
pengertian luas, seperti menyebutkan spesialisasi berikut
kemampuannya menyembuhkan lewat media massa. Di Amerika Serikat
sendiri, beberapa negara bagian sudah melarang dokter
mengiklankan diri. Karena hal itu hanya akan meningkatkan ongkos
pelayanan kesehatan," katanya.
Iklan dokter, katanya, ada segi positifnya memberikan informasi
yang cukup mengenai kemampuan dan tarif seorang dokter. Tapi
negatifnya dia mengakibatkan hubungan pasien-dokter itu menjadi
hubungan dagang. "Sedang kita tetap mengharapkan hubungan itu
merupakan tempat pengabdian sosial oleh dokter," ulas Cholil.
Sebelum berhadapan dengan seorang spesialis, seorang pasien bisa
dibebani pikiran tentang berapa ongkos yang akan ditanggungnya
nanti. Tapi kata Cholil kalau seorang pasien merasa tarif yang
ditentukan dokter dirasakan mahal, pasien boleh menawar. "Ini
sudah diatur dalam standard of prufessional conduct (SOPC) yang
sudah dibuat IDI," katanya. Kalau misalnya dokter yang
bersangkutan tetap ngotot dengan tarifnya pasien boleh mengadu
ke IDI.
SOPC adalah satu usaha dari IDI untuk membuat standarisasi kode
etik kedokteran yang baku. Terutama untuk memperinci hal-hal
yang masih samar dalam kode etik, seperti tidak diperkenankannya
dokter mengenakan tarif yang tidak wajar. SOPC tadi memperjelas
apa yang dimaksud dengan "yang tidak wajar" itu. "Sehingga
semakin jelas buat masyarakat dan IDI sendiri apakah telah
terjadi pelanggaran kode etik," kata Cholil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini