Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Etika kedokteran diguncang

Beberapa pasal dari kode etik kedokteran dianggap tidak sesuai lagi. nampaknya akan ramai diperdebat kan kembali dalam musyawarah nasional yang akan datang. (ksh)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KODE etik kedokteran mungkin sudah usang. Beberapa pasal dari kode etik itu, misalnya, larangan berpraktek di gang, di pasar dan memberikan keterangan untuk pers, mungkin perlu dipertanyakan kembali. Banyak dokter menganggap norma-norma itu sudah tak sesuai lagi. "Berpraktek di gang tak bakalan merendahkan derajat dokter, malah memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Memberikan penerangan mengenai kesehatan di media massa tidak bisa dianggap mempromosikan diri, kecuali ditinjau dengan pikiran yang sempit," kata Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, dr. Abdullah holil, MPH. Kode Etik yang dipegang para dokter sekarang ini merupakan hasil Musyawarah Nasional Susila Kedokteran tahun 1969. Beberapa pasal dari kode etik itu nampaknya akan ramai diperdebatkan kembali dalam musyawarah nasional yang direncanakan berlansung bulan Desember mendatang. Di negara-negara lain kode etik juga diperdebatkan orang. Di Singapura misalnya (dokter Indonesia juga diundang) 9 Mei lalu berlangsung diskusi besar yang dihadiri 400 dokter untuk membicarakan: "Masalah-masalah etika kedokteran sekarang ini." Dokter-dokter Singapura yang menghadiri pertemuan itu dengan sengit memperdebatkan mengapa dokter spesialis dilarang mengiklankan tentang spesialisasi mereka. Padahal pencantuman spesialisasi itu di dalam iklan akan mempermudah pasien dalam mencari pelayanan. Dalam buku telepon di Singapura dokter hanya mencantumkan nama saja. Sedangkan spesialisasi mereka tidak. Begitulah kode etiknya. Dr. Andrew Chew, direktur pelayanan medis Singapura dalam kesempatan itu mengemukakan kemungkinan sudah matang saatnya untuk memperkenankan dokter mengiklankan diri mereka secara bijaksana. Katanya tak ada alasan sama sekali untuk membiarkan seorang pasien tertunda-tunda dalam mencari pelayanan spesialis. "Sebab pelayanan kesehatan tak boleh menjadi mahal karena ada orang yang jadi perantara," katanya. Dalam buku telepon di sini pun hanya ditemukan nama dokter. Sedang memasang iklan di media massa jelas bertentangan dengan etika. Kecuali iklan itu hanya menyebutkan pindah tempat praktek. Meskipun terkadang ada yang lewat pasien membiarkan dirinya diiklankan. Umpamanya ucapan terimakasih dengan mencantumkan nama dokter yang bersangkutan dengan huruf yang menyolok. Dalam pertemuan dengan pimpinan media massa bulan Maret lalu, Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat mengajak pers untuk tidak menerima iklan serupa itu. "Untuk. menghindari terlibatnya pers dalam pelanggaran etika," katanya. Boleh Tawar Ketua IDI, dr. Abdullah Cholil, MPH menganggap masalah iklan dan dokter yang dibicarakan di Singapura itu tidak cocok dengan Indonesia. "Apalagi kalau ditinjau dari segi iklan dalam pengertian luas, seperti menyebutkan spesialisasi berikut kemampuannya menyembuhkan lewat media massa. Di Amerika Serikat sendiri, beberapa negara bagian sudah melarang dokter mengiklankan diri. Karena hal itu hanya akan meningkatkan ongkos pelayanan kesehatan," katanya. Iklan dokter, katanya, ada segi positifnya memberikan informasi yang cukup mengenai kemampuan dan tarif seorang dokter. Tapi negatifnya dia mengakibatkan hubungan pasien-dokter itu menjadi hubungan dagang. "Sedang kita tetap mengharapkan hubungan itu merupakan tempat pengabdian sosial oleh dokter," ulas Cholil. Sebelum berhadapan dengan seorang spesialis, seorang pasien bisa dibebani pikiran tentang berapa ongkos yang akan ditanggungnya nanti. Tapi kata Cholil kalau seorang pasien merasa tarif yang ditentukan dokter dirasakan mahal, pasien boleh menawar. "Ini sudah diatur dalam standard of prufessional conduct (SOPC) yang sudah dibuat IDI," katanya. Kalau misalnya dokter yang bersangkutan tetap ngotot dengan tarifnya pasien boleh mengadu ke IDI. SOPC adalah satu usaha dari IDI untuk membuat standarisasi kode etik kedokteran yang baku. Terutama untuk memperinci hal-hal yang masih samar dalam kode etik, seperti tidak diperkenankannya dokter mengenakan tarif yang tidak wajar. SOPC tadi memperjelas apa yang dimaksud dengan "yang tidak wajar" itu. "Sehingga semakin jelas buat masyarakat dan IDI sendiri apakah telah terjadi pelanggaran kode etik," kata Cholil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus