AKHIRNYA bekas Pemimpin Redaksi Suratkabar Kampus Salemba (UI),
Wikrama Irjans Abidin, menang. Ia dibebaskan dari segala
tuntutan hukum. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (13
Mei) itu tentu menarik.
Betapa tidak? Adalah karena sebuah surat pembaca di Salemba (20
Agustus 1979), H. Djalaluddin SH, Kepala Bagian Kantor Gubernur
di Mataram, Nusa Tenggara Barat, merasa dicemarkan nama baiknya.
Dalam surat pembaca itu, ia disebut telah menzinahi pembantu
rumah tangganya hingga melahirkan anak. Pembaca itu juga
meragukan kebenaran ijazahnya.
Redaksi Salemba tak bersedia mengungkapkan identitas dan alamat
pengirim surat itu. Maka Djalaluddin mengadukan hal ini ke
pengadilan.
Sidang dimulai pertengahan Mei 1980, hanya beberapa hari sesudah
Salemba dibreidel. Jaksa Hariyadi Widyasa SH menuduh bahwa
perbuatan terdakwa Wikrama, antara lain melanggar pasal 310 ayat
2 KUH Pidana: menista nama baik seseorang dengan tulisan.
Hakim tunggal Ruwiyanto SH membenarkan bahwa terdakwa memang
terbukti melakukan perbuatan itu. "Tapi karena tulisan itu
dimuat demi kepentingan umum, maka menurut pasal 310 ayat 3 KUH
Pidana, sifat melanggar hukum dari penistaan hilang," ujarnya.
Ayat itu berbunyi: "Tidak termasuk menista atau menista dengan
tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk
kepentingan umum. . ."
Wikrama menilai keputusan Ruwianto SH sebagai tindakan berani.
"Hal itu merupakan 'preseden' yang sangat penting bagi upaya
memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia," katanya.
Tapi Jaksa Hariyadi SH menyatakan naik banding. Itu berarti
persoalan pencemaran nama baik Djalaluddin akan semakin panjang.
Mengapa pada tingkat dini ia tidak menggunakan hak jawab saja?
Djalaluddin menyatakan bahwa hal itu justru akan membawa polemik
berkepanjangan.
Anggapan tersebut tidak selalu benar. Hak jawab tidak harus
dipakai, namun pada persoalan sumir semacam itu, penggunaan akan
berarti banyak. Pers bersangkutan (Salela), seperti dianjurkan
Kode Etik Jurnalistik, diduga akan memberikan kesempatan luas
kepada pihak yang tercemar (dirugikan) menggunakan hak jawab.
Jika seseorang tidak puas, Dewan Kehormatan PWI biasanya terbuka
menampung setiap pengaduan, kemudian menegur pers bersangkutan.
Bila sudah mengadu ke Dewan Kehormatan, seseorang diminta tidak
mengadu lagi ke pengadilan. Apa pun Keputusan Dewan Kehormatan
harus diterimanya. Tapi dalam soal pemerasan, misalnya, Dewan
Kehormatan cenderung menyarankan agar mereka yang merasa
dirugikan langsung saja melaporkannya ke pengadilan. "Tapi pada
tingkat pertama, kami menganjurkan agar yang bersangkutan
menggunakan hak jawabnya dulu," kata H.M. Hamidy, Sekretaris
Dewan Kehormatan PWI.
Yang menarik pula, Hakim Ruwiyanto SH tidak memaksa Wikrama
mengungkapkan identitas dan alamat pengirim surat. Hakim ini
rupanya merasa tidak perlu melakukannya. Sebab, katanya, sesuai
dengan UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, pemimpin redaksilah yang
bertanggung jawab terhadap seluruh tulisan dalam penerbitannya.
"Memang benar tertuduh bukan pelaku murni. Tapi dengan memegang
rahasia identitas pengirim surat, sebagai konsekuensi yuridis
pemimpin redaksi juga merupakan pelaku,"tambah Ruwiyanto SH
kepada Saur Hutabarat dari TEMPO.
Apakah keputusan hakim itu berarti mengakui hak tolak wartawan?
"Saya ridak sampai ke sana," jawab Ruwiyanto SH. Dengan nama
dari alamat diketahui redaksi (dirahasiakan) -- seperti sering
dijumpai dalam koran yang menyajikan surat pembaca -- pemimpin
redaksi dianggapnya telah mengambil alih tanggungjawab penulis
surat. Hingga ia tak perlu mengetahui siapa penulis surat
pembaca itu.
Jika sebagian besar hakim berpendapat seperti Ruwiyanto SH,
keamanan pembaca (sumber berita) akan terjamin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini