Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kasus "Salemba" suatu preseden

Eks pemred salemba, wikrama irjans abidin yang diadukan ke pengadilan oleh h. djalaluddin, kep. bag kantor gubernur di mataram dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh pn jak-pus.(md)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA bekas Pemimpin Redaksi Suratkabar Kampus Salemba (UI), Wikrama Irjans Abidin, menang. Ia dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (13 Mei) itu tentu menarik. Betapa tidak? Adalah karena sebuah surat pembaca di Salemba (20 Agustus 1979), H. Djalaluddin SH, Kepala Bagian Kantor Gubernur di Mataram, Nusa Tenggara Barat, merasa dicemarkan nama baiknya. Dalam surat pembaca itu, ia disebut telah menzinahi pembantu rumah tangganya hingga melahirkan anak. Pembaca itu juga meragukan kebenaran ijazahnya. Redaksi Salemba tak bersedia mengungkapkan identitas dan alamat pengirim surat itu. Maka Djalaluddin mengadukan hal ini ke pengadilan. Sidang dimulai pertengahan Mei 1980, hanya beberapa hari sesudah Salemba dibreidel. Jaksa Hariyadi Widyasa SH menuduh bahwa perbuatan terdakwa Wikrama, antara lain melanggar pasal 310 ayat 2 KUH Pidana: menista nama baik seseorang dengan tulisan. Hakim tunggal Ruwiyanto SH membenarkan bahwa terdakwa memang terbukti melakukan perbuatan itu. "Tapi karena tulisan itu dimuat demi kepentingan umum, maka menurut pasal 310 ayat 3 KUH Pidana, sifat melanggar hukum dari penistaan hilang," ujarnya. Ayat itu berbunyi: "Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum. . ." Wikrama menilai keputusan Ruwianto SH sebagai tindakan berani. "Hal itu merupakan 'preseden' yang sangat penting bagi upaya memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia," katanya. Tapi Jaksa Hariyadi SH menyatakan naik banding. Itu berarti persoalan pencemaran nama baik Djalaluddin akan semakin panjang. Mengapa pada tingkat dini ia tidak menggunakan hak jawab saja? Djalaluddin menyatakan bahwa hal itu justru akan membawa polemik berkepanjangan. Anggapan tersebut tidak selalu benar. Hak jawab tidak harus dipakai, namun pada persoalan sumir semacam itu, penggunaan akan berarti banyak. Pers bersangkutan (Salela), seperti dianjurkan Kode Etik Jurnalistik, diduga akan memberikan kesempatan luas kepada pihak yang tercemar (dirugikan) menggunakan hak jawab. Jika seseorang tidak puas, Dewan Kehormatan PWI biasanya terbuka menampung setiap pengaduan, kemudian menegur pers bersangkutan. Bila sudah mengadu ke Dewan Kehormatan, seseorang diminta tidak mengadu lagi ke pengadilan. Apa pun Keputusan Dewan Kehormatan harus diterimanya. Tapi dalam soal pemerasan, misalnya, Dewan Kehormatan cenderung menyarankan agar mereka yang merasa dirugikan langsung saja melaporkannya ke pengadilan. "Tapi pada tingkat pertama, kami menganjurkan agar yang bersangkutan menggunakan hak jawabnya dulu," kata H.M. Hamidy, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI. Yang menarik pula, Hakim Ruwiyanto SH tidak memaksa Wikrama mengungkapkan identitas dan alamat pengirim surat. Hakim ini rupanya merasa tidak perlu melakukannya. Sebab, katanya, sesuai dengan UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, pemimpin redaksilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh tulisan dalam penerbitannya. "Memang benar tertuduh bukan pelaku murni. Tapi dengan memegang rahasia identitas pengirim surat, sebagai konsekuensi yuridis pemimpin redaksi juga merupakan pelaku,"tambah Ruwiyanto SH kepada Saur Hutabarat dari TEMPO. Apakah keputusan hakim itu berarti mengakui hak tolak wartawan? "Saya ridak sampai ke sana," jawab Ruwiyanto SH. Dengan nama dari alamat diketahui redaksi (dirahasiakan) -- seperti sering dijumpai dalam koran yang menyajikan surat pembaca -- pemimpin redaksi dianggapnya telah mengambil alih tanggungjawab penulis surat. Hingga ia tak perlu mengetahui siapa penulis surat pembaca itu. Jika sebagian besar hakim berpendapat seperti Ruwiyanto SH, keamanan pembaca (sumber berita) akan terjamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus