Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Gara-gara si tukang kompor

Untuk memperoleh gambar dramatis dan eksklusif di irlandia utara, sejumlah juru foto dan juru kamera televisi, seringkali dengan sengaja mempersilahkan kaum perusuh berpose didepan nyala api membakar.(md)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG dan sesudah Bobby Sands menemui ajalnya, Belfast dan Londonderry dilanda kerusuhan hebat. Para juru kamera televisi, juru foto dan wartawan berbagai penerbitan di dunia berlomba mengejar peristiwa besar di Ulster (Irlandia Utara) itu. Lewat hubungan satelit, hanya dalam tempo beberapa menit kerusuhan tersebut telah pindah merasuki rumah tangga orang di belahan dunia lain lewat televisi. Persaingan memperoleh berita dan gambar eksklusif dari Irlandia Utara terasa demikian sengit. Tapi peristiwa dramatis sejati rupanya tak selalu gampang diperoleh. Hingga sejumlah juru foto dan juru kamera televisi, menurut koran Sunday Express (London), acapkali sengaja mempersilahkan kaum perusuh berpose di depan nyala api yang membakar mobil dan rumah. Untuk memperoleh gambar dramatis dan eksklusif tersebut, mereka pun tak segan mengeluarkan uang. Koran Newsletter, Belfast, melaporkan betapa sejumlah awak suatu jaringan televisi memberi anak-anak œ 5 (Rp 6.300) untuk setiap peluru plastik yang ditembakkan petugas keamanan kepada anakanak itu. Seorang wartawan kantor berita Reuter juga menyaksikan sejumlah juru foto tiba-tiba memerintahkan seorang anak enam tahun berhenti di depan mobil yang dimakan api di kawasan Catholic Lower Falls Road, Belfast. Mereka kemudian menyuruh anak ingusan itu menutupi mukanya dengan topi kedoknya sambil mengacungkan tinju kanannya-hingga menyerupai gerilyawan Tentara Republik Irlandia (IRA). Upaya membuat rangkaian peristiwa tersebut yang kelihatan tragis telah dikritik sejumlah wartawan foto senior. "Saya demikian gusar melihat kelakuan kawan-kawan itu," ujar Tony McGrath juru foto koran The Observer, London. Selama 12 tahun meliput pergolakan di Irlandia, katanya, ia baru kali ini menemui pengalaman yang memalukan profesinya. Sejak Bobby Sands tewas (5 Mei) karena mogok makan di penjara Maze dekat Belfast, puluhan juru foto dan juru kamera televisi dengan menyewa mobil membanjiri kawasan Katolik di Belfast sebelah barat. Suatu jaringan televisi Amerika, misalnya, sekali datang biasanya membawa sampai tujuh awak, termasuk reporter. Dengan kesiagaan penuh, mereka tampak berharap kerusuhan berikutnya akan terjadi lagi. Kehadiran mereka sangat disenangi IRA yang menganggap bahwa publisitas media massa akan mampu melawan kekuasaan London atas Irlandia Utara. Sikap serupa juga pernah ditunjukkan janda Philips Ellis. Suaminya, seorang anggota kepolisian Inggris mati dibunuh penembak sembunyi -- diduga oknum IRA -- di London. Ketika upacara penguburan berlangsung, Ny. Ellis membiarkan puluhan kamera televisi rnerekam kesedihan dan deraian air matanya --publisitas buat Inggris. Cara pemberitaan semacam itu bersifat membakar -- jelas tak disukai Kepolisian Irlandia Utara dan Angkatan Bersenjata Inggris. Sebab setiap terjadi kerusuhan mereka merupakan tameng di muka. Dan mereka dengan pedas menuduh kehadiran ratusan juru foto, juru kamera televisi dan wartawan herbagai penerbitan, justru malah mengobarkan kerusuhan di Belfast dan kota lainnya di Irlandia Utara. Aparat keamanan jelas menganggap pers turut mengompori kerusuhan. Minta Korban Dengan pedas pula koran Sunday World (Dublin, ibukota Republik Irlandia) menyebut resimen wartawan asing tersebut sebagai kelompok burung gagak yang bertengger di atap-atap hotel menantikan munculnya perang saudara. Dan persaingan pemberitaan itu telah meminta korban. Michael Daly, 29, kolumnis koran New York Daily News, AS, mengundurkan diri garagara menulis kerusuhan di Belfast. Dalam salah satu kolomnya ia melaporkan bahwa Christopher Spell, Seorang tentara Inggris, telah menembaki sekelompok bocah dengan peluru plastik dan tajam ketika patrolinya diserang. Koran konservatif Daily Mail dan mingguan The Economist (London) menuduh laporan Daly itu tidak seimbang. Tulisan itu, demikian tuduhannya, sengaja direncanakan membentuk opini rakyat Amerika agar membenci Inggris. Daly tentu saja membantah. Ia menyatakan bahwa Spell (terpaksa memakai nama samaran demi keamanan sumber berita) sesungguhnya ada. Sedang Harvey Elliot, koresponden Mail, memperkuat penjelasan Daly bahwa seorang serdadu Inggris telah melukai seorang remaja ketika patrolinya diserbu massa. Hal di atas mengingatkan orang pada kasus pers di bagian dunia lain. Pemerintah AS dan Iran, misalnya, pernah menuduh pers turut menghasut ketegangan kedua negara itu. Di awal 1980 itu, setelah sejumlah staf Kedutaan Besar AS di Teheran disandera pengawal revolusi Iran, ratusan wartawan (terutama dari AS) membanjiri Teheran. Dari saat ke saat, mereka berlomba menyajikan berita eksklusif. Kepada Ayatullah Khomeini, para wartawan televisi sering mengajukan pertanyaan panas. Yang panas itulah berita rupanya. Tak heran jika Khomeini sampai pernah berpendapat bahwa para sandera akan diadili sebagai mata-mata, suatu hal yang tak disukai Gedung Putih. Di depan kamera wartawan televisi pula demonstran Iran sering bertambah galak mengutuki AS. Cara kerja wartawan semacam itu jelas mengobarkan ketegangan dan meluaskan kebencian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus