MENJELANG dan sesudah Bobby Sands menemui ajalnya, Belfast dan
Londonderry dilanda kerusuhan hebat. Para juru kamera televisi,
juru foto dan wartawan berbagai penerbitan di dunia berlomba
mengejar peristiwa besar di Ulster (Irlandia Utara) itu. Lewat
hubungan satelit, hanya dalam tempo beberapa menit kerusuhan
tersebut telah pindah merasuki rumah tangga orang di belahan
dunia lain lewat televisi.
Persaingan memperoleh berita dan gambar eksklusif dari Irlandia
Utara terasa demikian sengit. Tapi peristiwa dramatis sejati
rupanya tak selalu gampang diperoleh. Hingga sejumlah juru foto
dan juru kamera televisi, menurut koran Sunday Express
(London), acapkali sengaja mempersilahkan kaum perusuh berpose
di depan nyala api yang membakar mobil dan rumah.
Untuk memperoleh gambar dramatis dan eksklusif tersebut, mereka
pun tak segan mengeluarkan uang. Koran Newsletter, Belfast,
melaporkan betapa sejumlah awak suatu jaringan televisi memberi
anak-anak œ 5 (Rp 6.300) untuk setiap peluru plastik yang
ditembakkan petugas keamanan kepada anakanak itu.
Seorang wartawan kantor berita Reuter juga menyaksikan sejumlah
juru foto tiba-tiba memerintahkan seorang anak enam tahun
berhenti di depan mobil yang dimakan api di kawasan Catholic
Lower Falls Road, Belfast. Mereka kemudian menyuruh anak ingusan
itu menutupi mukanya dengan topi kedoknya sambil mengacungkan
tinju kanannya-hingga menyerupai gerilyawan Tentara Republik
Irlandia (IRA). Upaya membuat rangkaian peristiwa tersebut yang
kelihatan tragis telah dikritik sejumlah wartawan foto senior.
"Saya demikian gusar melihat kelakuan kawan-kawan itu," ujar
Tony McGrath juru foto koran The Observer, London. Selama 12
tahun meliput pergolakan di Irlandia, katanya, ia baru kali ini
menemui pengalaman yang memalukan profesinya.
Sejak Bobby Sands tewas (5 Mei) karena mogok makan di penjara
Maze dekat Belfast, puluhan juru foto dan juru kamera televisi
dengan menyewa mobil membanjiri kawasan Katolik di Belfast
sebelah barat. Suatu jaringan televisi Amerika, misalnya, sekali
datang biasanya membawa sampai tujuh awak, termasuk reporter.
Dengan kesiagaan penuh, mereka tampak berharap kerusuhan
berikutnya akan terjadi lagi. Kehadiran mereka sangat disenangi
IRA yang menganggap bahwa publisitas media massa akan mampu
melawan kekuasaan London atas Irlandia Utara.
Sikap serupa juga pernah ditunjukkan janda Philips Ellis.
Suaminya, seorang anggota kepolisian Inggris mati dibunuh
penembak sembunyi -- diduga oknum IRA -- di London. Ketika
upacara penguburan berlangsung, Ny. Ellis membiarkan puluhan
kamera televisi rnerekam kesedihan dan deraian air matanya
--publisitas buat Inggris.
Cara pemberitaan semacam itu bersifat membakar -- jelas tak
disukai Kepolisian Irlandia Utara dan Angkatan Bersenjata
Inggris. Sebab setiap terjadi kerusuhan mereka merupakan tameng
di muka. Dan mereka dengan pedas menuduh kehadiran ratusan juru
foto, juru kamera televisi dan wartawan herbagai penerbitan,
justru malah mengobarkan kerusuhan di Belfast dan kota lainnya
di Irlandia Utara. Aparat keamanan jelas menganggap pers turut
mengompori kerusuhan.
Minta Korban
Dengan pedas pula koran Sunday World (Dublin, ibukota Republik
Irlandia) menyebut resimen wartawan asing tersebut sebagai
kelompok burung gagak yang bertengger di atap-atap hotel
menantikan munculnya perang saudara. Dan persaingan pemberitaan
itu telah meminta korban. Michael Daly, 29, kolumnis koran New
York Daily News, AS, mengundurkan diri garagara menulis
kerusuhan di Belfast. Dalam salah satu kolomnya ia melaporkan
bahwa Christopher Spell, Seorang tentara Inggris, telah
menembaki sekelompok bocah dengan peluru plastik dan tajam
ketika patrolinya diserang. Koran konservatif Daily Mail dan
mingguan The Economist (London) menuduh laporan Daly itu tidak
seimbang. Tulisan itu, demikian tuduhannya, sengaja direncanakan
membentuk opini rakyat Amerika agar membenci Inggris.
Daly tentu saja membantah. Ia menyatakan bahwa Spell (terpaksa
memakai nama samaran demi keamanan sumber berita) sesungguhnya
ada. Sedang Harvey Elliot, koresponden Mail, memperkuat
penjelasan Daly bahwa seorang serdadu Inggris telah melukai
seorang remaja ketika patrolinya diserbu massa.
Hal di atas mengingatkan orang pada kasus pers di bagian dunia
lain. Pemerintah AS dan Iran, misalnya, pernah menuduh pers
turut menghasut ketegangan kedua negara itu. Di awal 1980 itu,
setelah sejumlah staf Kedutaan Besar AS di Teheran disandera
pengawal revolusi Iran, ratusan wartawan (terutama dari AS)
membanjiri Teheran. Dari saat ke saat, mereka berlomba
menyajikan berita eksklusif.
Kepada Ayatullah Khomeini, para wartawan televisi sering
mengajukan pertanyaan panas. Yang panas itulah berita rupanya.
Tak heran jika Khomeini sampai pernah berpendapat bahwa para
sandera akan diadili sebagai mata-mata, suatu hal yang tak
disukai Gedung Putih. Di depan kamera wartawan televisi pula
demonstran Iran sering bertambah galak mengutuki AS.
Cara kerja wartawan semacam itu jelas mengobarkan ketegangan dan
meluaskan kebencian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini