Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Fitofarmaka Diharapkan Bisa Masuk JKN

Dokter sebenarnya ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien, tapi karena tidak dijamin sehingga menggunakan pengobatan yang lain.

4 Desember 2023 | 23.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar
DPR Dukung OMAI Fitofarmaka Masuk Formularium Nasional JKN untuk Kemandirian Farmasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. apt. Rina Mutiara mengatakan sebenarnya para dokter ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien. "Dokter sebenarnya ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien, tapi karena tidak dijamin sehingga menggunakan pengobatan yang lain," ungkap Rina dalam Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang digelar oleh Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Senin 4 Desember 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fitofarmaka merupakan Obat Bahan Alam yang telah teruji klinis khasiat dan keamanannya. Fitofarmaka sudah dikategorikan sebagai obat, yaitu obat yang berasal dari bahan alam yang sudah teruji klinis sama khasiatnya dengan obat dari sintesa kimia. Meskipun pemerintah sudah membuat Formularium Fitofarmaka, namun sayangnya Fitofarmaka belum masuk Formularium Nasional Obat untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga banyak dokter belum dapat meresepkannya untuk pasien JKN. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih parahnya lagi, karena belum adanya regulasi yang menetapkan Fifofarmaka setara dengan obat sintesa kimia, maka pihak Asuransi Kesehatan Swasta pun belum dapat menerima klaim peresepan Fitofarmaka di Rumah Sakit, Klinik maupun Apotek, karena masih dianggap sebagai golongan obat tradisional. 
 
Menurut Rina, saat ini bisa dibilang 90 persen pasien di rumah sakit pemerintah merupakan peserta BPJS Kesehatan. Dengan demikian dokter harus meresepkan obat yang terdapat di Formularium Nasional JKN. Sementara itu ketika obat tidak masuk Formularium Nasional, maka rumah sakit pun cenderung tidak akan memasukkannya ke Formularium Rumah Sakit.
 
"Jadi sebenarnya obat-obat fitofarmaka sudah mulai diresepkan oleh dokter karena sudah diuji pada hewan dan manusia, tapi pada kenyataannya di rumah sakit belum banyak diresepkan oleh para klinisi atau dokter," kata Rina.
 
Rina berharap fitofarmaka segera masuk Formularium Nasional meski saat ini Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka. Namun, Formularium Fitofarmaka belum mengakomodasi fitofarmaka untuk bisa diklaim dengan BPJS Kesehatan. "Pada saat penyusunan Fornas memang saat itu sudah ada usulan juga dari RSCM, tapi belum diterima karena Kemenkes sudah membuat Formularium Fitofarmaka," kata Rina.
 
Untuk diketahui, Komite Nasional Formularium Nasional menyusun daftar obat JKN berdasarkan usulan berbagai pihak terkait, termasuk dokter dan juga rumah sakit. Komite tersebut beranggotakan perwakilan dari pemerintah hingga organisasi profesi kedokteran.
 
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Dr. dr. Slamet Sudi Santoso juga mengungkapkan sulitnya fitofarmaka masuk JKN. Padahal, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah gencar memberikan edukasi ke para anggotanya untuk meresepkan fitofarmaka. Kendala Fifofarmaka tidak masuk dalam Fornas Obat, Fitofarmaka juga masih ditolak oleh Asuransi Kesehatan Swasta, membuat Fasilitas Kesehatan seperti Rumah Sakit juga belum mau membeli dan menyediakannya Fitofarmaka dalam pelayanan JKN karena khawatir nantinya terkendala dalam proses klaim ke pihak BPJS maupun Asuransi Swasta.  
 
Kementerian Kesehatan sudah mengintegrasikan pengobatan konvensional dengan fitofarmaka. Hal ini diungkap oleh Dirjen Farmalkes, L. Rizka Andalucia dalam forum tersebut. "Kemenkes sudah berhasil mengintegrasikan pengobatan herbal di RS Sardjito, semoga ke depannya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan konvensional lainnya," ujar Rizka.
 
Rizka yang juga Plt. Kepala Badan POM tersebut mengungkap, sebanyak 80 persen penduduk dunia menggunakan pengobatan herbal. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan kemandirian ketahanan kesehatan, salah satunya melalui Obat Bahan Alam.

Selanjutnya Staf Khusus Menteri Kesehatan, Prof Laksono Trisnantoro menyatakan bahwa fitofarmaka saat ini tidak lagi digolongkan sebagai obat tradisional. Oleh karena itu, fitofarmaka setara dengan pengobatan modern. "Dana BPJS merupakan peluang, karena Fitofarmaka tidak lagi merupakan obat tradisional," Laksono.

Salah satu dokter dari RSUP dr. Sardjito, Prof. dr. Nyoman Kertia, mengungkapkan bahwa pihaknya telah banyak meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Menurutnya, pasien sangat senang ketika mendapat resep Obat Bahan Alam. "Saat ini di RS Sardjito sekitar 50 dokter sudah meresepkan herbal. Ini bisa menjadi modal. Saya sendiri sekitar 2.000 pasien saya resepkan herbal," tutur dr. Nyoman.

Selain itu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD juga meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Dokter spesialis penyakit dalam ini juga meresepkan fitofarmaka untuk pasien yang membutuhkan alternatif dari Proton Pump Inhibitor (PPI). “Dalam clinical practice saya, saya memang menggunakan obat ini (fitofarmaka),” ungkap Ari.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus