Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hedonisme dewasa ini selalu dikaitkan dengan gaya hidup yang tidak bertanggung jawab dan hanya berorientasi kepada materi serta kesenangan hidup. Padahal jika menilik dari akarnya, nilai dari paham ini lebih sederhana dari penilaian tersebut. Berawal dari dua filsuf Yunani bernama Epicurus dan Aristippus, istilah hedonisme ini muncul. Hedone artinya kenikmatan atau kegembiraan, sedangkan hedonisme adalah gaya hidup yang menjadikan kenikmatan atau kegembiraan sebagai tujuan hidup dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak atau menyakitkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memahami hedonisme kita harus mengenali dulu apa sebenarnya kesenangan itu. Kesenangan adalah suatu hal yang subjektif dan memiliki pemahaman luas, tetapi mudah untuk kita temukan dalam keseharian. Bisa jadi kesenangan adalah pelukan hangat dari orang terkasih atau alunan musik yang memberi semangat pada hari Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, tak harus melulu soal uang berlimpah dan barang-barang mewah, pengalaman setiap orang akan kesenangan tentu saja bisa berbeda. Tidak ada jenis kesenangan dengan respons yang sama persis pada setiap orang. Berbagai hal dapat menjadi rangsangan yang mungkin akan Anda respons sebagai kesenangan. Interaksi itulah yang dicari dalam prinsip hedonisme, apa pun bentuknya selama Anda merasa senang.
Seorang psikolog bernama Warburton mengungkapkan bahwa sejatinya mengejar kesenangan bagi manusia adalah hal alami yang tidak bisa diabaikan. Pola pikir tersebut juga berpengaruh pada pandangan hedonis dalam menghadapi masalah dan tekanan dalam hidupnya. Warburton percaya bahwa hedonisme dapat mengurangi tingkat stres seseorang dan dengan begitu kesehatannya dapat lebih terjaga.
Dalam buku How to Be an Epicurean: The Ancient Art of Living Well yang ditulis oleh seorang profesor filosofi, Catherine Wilson, diungkapkan bahwa manusia modern yang mengejar kesuksesan sering melupakan kebahagiaan mereka.
Dengan menerapkan teori Epicurus akan hedonisme yang sesungguhnya, orang-orang harusnya bisa menyeimbangkan hidupnya. Contohnya, berfoya-foya menghabiskan uang dalam satu malam adalah hal yang tidak baik untuk kehidupan jangka panjang. Tapi juga terlalu khawatir akan masa depan sehingga selalu menahan diri untuk merasakan kegembiraan pun bisa berbahaya pada kesehatan. Epicurus percaya bahwa kesenangan saat ini dan di masa depan adalah hal yang sama pentingnya.
Ahli psikologi lainnya pun berpendapat bahwa memaksimalkan kesenangan di keseharian kita, dapat menjadi investasi yang baik dalam menghindari depresi. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian tentang anak-anak sekolah yang diminta untuk menuliskan peristiwa menyenangkan yang terjadi dalam keseharian mereka. Setelah menuliskan dan membacanya, hal itu terbukti dapat mengurangi kecenderungan depresi, bahkan efeknya masih terasa hingga 3 bulan kemudian.
Sementara dalam penelitian lainnya yang diterbitkan Science Direct, diungkapkan bahwa emosi yang menyenangkan dari rasa gembira yang terpenuhi diasosiasikan dengan pemikiran yang lebih luas dan kreatif serta dampak-dampak positif lainnya, seperti lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hidup, sehat secara fisik, dan berumur panjang.
Layaknya banyak hal di dunia ini yang memiliki dua sisi, hedonisme juga tak luput dari bahaya yang menyertainya. Hedonisme erat kaitannya dengan godaan dan nafsu manusia akan kesenangan semata. Meskipun begitu, Aristippus berpendapat bahwa memang benar orang harus mencari kesenangan dalam hidup, tetapi mereka tetap harus menggunakan pertimbangan akal sehat agar mampu mengendalikan nafsu yang tak selalu baik bagi dirinya.
Apabila pada praktiknya terjadi penyalahgunaan prinsip hedonisme ini, maka akan berakibat buruk baik bagi individu yang menjalaninya maupun lingkungan di sekitarnya, seperti:
1. Meningkatkan perilaku konsumtif/konsumerisme
Hedonisme yang kita kenal sekarang mungkin sangat menggambarkan konsumerisme. Bahkan hedonisme sudah bergeser maknanya dari mengejar kesenangan yang bisa bermacam bentuknya, menjadi lebih ke bentuk materi dan perilaku konsumtif. Dalam upayanya untuk memuaskan kesenangannya akan materi, seorang hedonis bisa saja menghabiskan barang dan jasa yang tersedia secara berlebihan.
2. Memiliki pandangan hidup serba instan
Seorang hedonis akan melihat suatu harta sebagai hasil akhir dan tidak terlalu menganggap proses untuk mencapai hasil akhir tersebut. Akibatnya, seseorang akan melakukan pembenaran atau rasionalisasi dalam memenuhi semua kesenangannya, meskipun tindakan yang dilakukannya salah.
3. Berorientasi pada harta
Seorang hedonis bisa saja memiliki pandangan semu bahwa memiliki barang-barang berteknologi mutakhir dan serba mewah adalah suatu kebanggaan bagi dirinya sendiri.
4. Tidak tahan hidup menderita dan berakhir tidak bahagia
Kesenangan tentunya akan memudar seiring berjalannya waktu, begitu pula dengan materi yang dimiliki. Pada hakikatnya, hidup juga memberikan kekecewaan dan rasa sakit. Dua hal tersebut berpotensi menumpulkan kepekaan akan emosi yang dirasakan dan berakhir dengan perasaan hampa.
5. Berbahaya bagi kesehatan
Hal ini dapat terjadi jika jenis kesenangan yang dipilih adalah yang berbahaya bagi kesehatan. Contohnya, seseorang mendapatkan kesenangan dari alkohol, rokok, obat-obatan, atau seks. Jika tidak dibatasi, maka semua hal tersebut tentunya dapat merugikan bagi kesehatan.
Gaya hidup hedonisme sejatinya berasal dari pemikiran yang baik, bahwa hidup memang harus dipenuhi rasa senang agar bisa bahagia dalam menjalani hidup yang lebih bermakna. Jika ingin menerapkan gaya hidup hedonisme, berpeganglah pada prinsip dasar dari pemahaman ini, yaitu untuk mendapatkan kesenangan hidup kuncinya adalah keseimbangan dan kontrol diri.
Sebagaimana prinsip Aristippus yang menciptakan paham ini, 'I possess but I am not possessed' yang berarti 'Saya memiliki (kesenangan hidup), tapi saya tidak dikuasai olehnya'.
SEHATQ