Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Pemicu Orang Suka Gaya Hidup Hedonis dan Foya-foya

Anak muda sekarang dikenal senang dengan gaya hidup mewah, hedonis, dan suka menghamburkan uang. Pakar sebut penyebabnya.

1 Juli 2023 | 21.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Gaya hidup hemat atau frugal living sangat berat diterapkan oleh sebagian orang di masa kini, terutama generasi muda. Padahal, nenek moyang kita telah mencontohkan gaya hidup bersahaja. Mereka hidup dengan berburu atau bertani, sangat sedikit orang di zaman itu yang menimbun harta benda dan bergaya hidup mewah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masa sekarang, konsep frugal living masih setia dianut masyarakat di sejumlah daerah. Pakar ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, Imam Prayogo, pun memberi contoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Nenek moyang kita mengajarkan frugal living dan masih dapat dijumpai di beberapa daerah. Sebut saja, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan masih banyak daerah lain,” kata Igo, sapaannya.

Masyarakat di daerah tersebut memiliki pola hidup sederhana, terlihat dari rumah sederhana, pekerjaan di ladang atau sawah, berdagang, dan lainnya yang tidak mengejar pangkat atau jabatan.

“Kehidupan sosial masih kental bersahaja. Beda hal dengan masyarakat perkotaan yang mengedepankan penampilan dan (bergaya) sosialita,” ujarnya.

Hal ini menjadi pasar empuk para pebisnis atau bankir. Maraknya pinjaman online yang mudah cair pun menjadi rebutan sebagian generasi muda perkotaan. Tak ayal, potensi resesi dapat terjadi di negeri ini. Igo melihat di negara-negara maju, gaya hidup hemat merupakan bagian dari strategi hidup.

“Hedonisme hanya bersifat semu dalam jangka panjang kehidupan. Maka, masyarakat Barat telah sadar dan perlahan meninggalkan pola hidup hedonisme,” papar ahli manajemen risiko itu.

Masalah Generasi Z
Mahasiswa Program Doktor di Fakultas Ekonomi Undip itu menyayangkan pola hidup hedonisme kini justru menjangkiti negara berkembang dan miskin. Sebagian Generasi Z, misalnya, malu terlihat miskin. Banyak kasus terungkap di media online, seperti siswa saat acara wisuda malu dihadiri ayahnya yang hanya naik sepeda motor dan sebagai buruh tani. 

Penipuan-penipuan online yang dilakukan oleh Generasi Z dengan kerugian terhitung fantastis, ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dalam konteks ini, Igo memberi contoh berita yang viral belakangan, kembar berusia di bawah 25 tahun dari keluarga kalangan bawah. Mereka menipu sampai puluhan miliar rupiah demi bisa bergaya hidup hedonistik dan belanja foya-foya ke luar negeri.

Sementara di Afrika, ada budaya La Sape, istilah untuk kaum muda yang rela hidup dengan fashion bermerek namun kesulitan untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. John White, pengajar filsafat pendidikan di Institut Pendidikan UCL London, dalam tulisannya The Frugal Life, and Why We Should Educate for It menjelaskan bahwa frugal living harus diadopsi oleh generasi masa depan. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, di negara kaya pun konsep frugal living sudah harus diadopsi sebaik-baiknya.

Jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, sumber daya yang semakin terbatas, mau tidak mau membuat manusia harus mengadopsi gaya hidup hemat, tidak menghamburkan sumber daya dengan percuma. Menurutnya, konsep frugal living secara langsung dapat berhubungan dengan upaya-upaya menyelamatkan bumi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus