Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Gerakan Jamu Ibu-ibu

Gerakan Jamu Klinik berupa edukasi untuk ibu-ibu tentang jamu, pembuatan jamu, sampai penanaman sejumlah bahan baku jamu.

 

29 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ibu-ibu warga RW 7, Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sedang mempraktikkan pembuatan jamu tradisional. Tempo/Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah tenda berukuran 3 x 5 meter, belasan ibu warga RW 007, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyimak dengan saksama cara membuat jamu tradisional, Kamis pekan lalu. Mereka begitu serius memperhatikan dan mencatat langkah-langkah pembuatan jamu yang disampaikan oleh pakar kesehatan dari Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia, Richard S.N. Siahaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memakai ekstrak jahe seberat 15 gram, 5 gram kunyit, dan 3 gram temulawak, Richard mengajarkan ibu-ibu tersebut cara membuat jamu sederhana penambah imunitas. Caranya, bahan-bahan berupa bubuk kering itu dimasak dengan 250 mililiter air di atas api kecil. "Api kecil akan membuat air mencapai suhu ideal, yakni 90 derajat Celsius. Masak hingga 15 menit," kata Richard.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima menit berjalan, Richard memasukkan potongan batang sereh ke dalam rebusan jamu. Wangi dari batang sereh akan menambah aroma nikmat dari jamu. Setelah 15 menit, air rebusan disaring hingga dua kali. Tujuannya agar air yang dihasilkan betul-betul bersih dari endapan bahan bubuk.

Sebab, menurut Richard, jamu cair yang boleh dikonsumsi hanyalah air hasil rebusan. Endapan bahan baku tidak boleh ikut dikonsumsi. Sebab, endapan itu hanyalah bahan sisa yang sudah teroksidasi. "Takutnya kalau diminum, nanti justru mengendap di ginjal. Ini berbahaya."

Karena alasan itulah, Richard mengkritik sejumlah pedagang jamu yang mengocok botol jamu sebelum melayani pembeli. Botol yang dikocok membuat air jamu dan endapan sisa kembali bercampur dan rawan terminum. "Jadi, jamu itu harus bening. Memang berwarna, tapi bening. Kalau ampasnya bisa dipakai untuk lulur kulit," tutur dia.

Pakar kesehatan dari Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia, Richard S.N. Siahaan (kiri), memberikan pelatihan pembuatan jamu kepada ibu-ibu warga RW 7, Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta, 19 Januari 2023. TEMPO/Indra Wijaya

Selain itu, Richard menyarankan ibu-ibu tersebut mengkonsumsi jamu tanpa perasa manis. Sebab, ia khawatir mereka akan berlebihan mencampurkan perasa manis untuk menyamarkan rasa pahit jamu. Sebab, seharusnya jamu itu memang pahit.

Jika tak tahan rasa pahit, Richard menyarankan penggunaan madu. Itu pun tak boleh asal-asalan. Ia menyarankan pencampuran madu dilakukan saat jamu sudah selesai dimasak dan hendak diminum. "Sebab, madu itu sejatinya tak perlu dimasak lagi. Khawatirnya khasiat madu akan berkurang jika dipanaskan," ujarnya.

Richard mengingatkan ihwal kebersihan dalam pengolahan jamu. Sebab, tujuan utama pembuatan jamu adalah membuat badan sehat dan bugar. Karena itulah bahan dan peralatan pembuatan jamu harus bersih.

Sebagai contoh, jahe yang baru dipanen atau dibeli di pasar biasanya masih menyisakan tanah dan kotoran yang menempel pada rimpang dan akar jahe. Belum lagi bahan mentah tersebut rentan terpapar bakteri hingga jamur jika disimpan dengan cara yang salah. "Jika tidak bersih, alih-alih bikin sehat, jamu itu (dari bahan tidak higienis) malah bikin diare."

Karena itu, Richard menyarankan ibu-ibu tersebut lebih memilih bahan baku jamu berupa bubuk kering. Sebab, bahan baku kering relatif lebih bersih dan tahan lama jika disimpan dengan benar.

Pembekalan pembuatan jamu ini merupakan buah kerja sama Indonesia Resilience (IRES) dan Singapore University Technology and Design bersama Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gerakan yang diberi nama Jamu Klinik itu meliputi edukasi jamu, pembuatan jamu, sampai penanaman sejumlah bahan baku jamu. Program ini dimulai tahun lalu dan diluncurkan pada 15 Februari 2022.

Richard menilai gerakan Jamu Klinik sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, penting bagi keluarga untuk bisa mengobati sendiri gejala sakit yang dialami. Terlebih gejala sakit itu tergolong ringan, seperti masuk angin, meriang, dan tidak enak badan. "Kalau cuma pusing, lalu ke dokter, dokternya yang bingung mengobati," kata Richard.

Seorang warga, Evi, 58 tahun, sepakat dengan pendapat Richard itu. Menurut dia, jamu herbal lebih aman untuk mengobati gejala sakit ringan seperti masuk angin. Sebab, mengkonsumsi jamu jauh lebih aman dan sehat dibanding mengkonsumsi obat-obatan. Evi mengaku sejauh ini sering memilih jamu sebagai obat penyakit ringan. "Apalagi cuma pegal linu atau kelelahan, konsumsi jamu jelas lebih aman," tutur Evi kepada Tempo.

Tanah milik warga yang diuji coba untuk menanam tanaman herbal. TEMPO/Indra Wijaya

Evi berharap gerakan jamu ini bisa menyebar luas di lingkungan tempat tinggalnya. Bukan cuma konsumsi jamu, ia berharap bisa lulus uji coba penanaman tanaman obat. "Keinginan kami bisa produksi sendiri bahan jamu. Jadi, bisa dijual untuk menambah pemasukan."

Harapan serupa diucapkan Ketua RW 007, Nuriam. Menurut perempuan berusia 51 tahun itu, kegiatan menanam bahan baku jamu bukanlah hal yang sulit. Sebab, sebelumnya para warga sudah terbiasa menanam beraneka sayur di kebun.  Lahan berukuran 5 x 10 meter di pinggir rel kereta api penuh sejumlah tanaman jamu, seperti kunyit, jahe, kencur, brotowali, dan sambiloto.

Menurut Nuriam, praktik penanaman itu sangat bermanfaat. Sebab, Nuriam dan ibu-ibu lain di sana  punya mimpi besar bisa membuat bubuk kering dari bahan-bahan jamu tersebut. "Jadi, tujuan kami bisa menjual bahan keringnya. Saya pikir ini lebih menguntungkan."

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus