LILIK Sumarni, seorang gadis Surabaya benci setengah modar
kepada tetangganya. "Sungguh mati, bencinya bukan main hati saya
mendapat tetangga baru yang hitam, jelek dan acuh," ujarnya.
Begitu bencinya, sampai-sampai ibunya turun tangan menegur sikap
gadis itu. "Tetapi anehnya," sambung gadis itu, "kalau sehari
dia tidak kelihatan, rasanya kok ada sesuatu yang hilang.
Mungkin itulah yang dinamakan benci tetapi rindu."
Pada tahun 1968 Lilik memutuskan nikah dengan tetangganya yang
hitam itu. Malang tak dapat dihindari, dua hari sebelum tanggal
pernikahan muncul kawat dari Jakarta. Calon suaminya harus
memperkuat PSSI untuk pertarungan di Merdeka Games -- Kuala
Lumpur--tidak bisa datang pada hari pernikahan, karena pas
dengan hari final. Maka lemaslah gadis kota buaya itu.
"sayangkan perkawinan yang hanya terjadi sekali seumur hidup dia
tinggalkan main bola," kata Lilik kepada TEMPo.
Kepala Emas
Menunda pernikahan mustahil, karena undangan sudah disebar dan
persiapan sudah matang. Untung adat Jawa memberikan penyelesaian
bagi Lilik karena dimungkinkan pengantin pria diganti dengan
keris, apabila berhalangan bersanding. Maka adatpun dihidupkan
kembali dalam keadaan yang terpaksa itu. Lalu Haji Sukamto,
ketua Persebaya menguslllkan, agar di samping keris juga
disandingkan pula sebuah bola sebagai pengganti mempelai pria.
"Idam-idaman saya untuk bisa bersanding di pelaminan ternyata
hanya bisa bersanding dengan bola," keluh Lilik lagi.
Sementara Lilik bersanding dengan bola, Yacob Sihasale --
mempelai yang tak hadir itu -- berlari mengejar bola di lapangan
Kuala Lumpur. Dibayangi wajah isterinya, ia memusatkan
perhatiannya pada gawang lawan. Dengan semangat yang luar biasa,
ia mainkan kelihaian kepalanya yang diberi julukan "kepala
emas". Pada detik yang menentukan saat skors 22, kepalanya itu
berhasii menyundul bola merobek gawang lawan. Kedudukan menjadi
3:2 untuk kemenangan Indonesia. Yacob terharu dan melonjak,
merasa pengabdian dan pengorbanannya tidak sia-sia.
Dengan dedikasi tinggi plus dukungan moril dari isterinya, Yacob
menjadi poros depan PSSI tak kurang dari 12 tahun. Anak Ambon
yang dijuluki "Pele" kecil ini memang sudah gila pada bola. Pada
awal tahun 70-an, bersama Sutjipto ia menjadi mutiara PSSI,
memboyong Piala Raja (Bangkok), Merdeka Games dan Anniversary
(Jakarta). Pialapiala yang belakangan ini tak pernah lagi bisa
disentuh oleh PSSI.
Kedua pemain itu sempat terpilih memperkuat kesebelasan Asia,
tatkala dilangsungkan pertandingan antar benua. Pilihan yang
mungkin tidak akan dapat dilakukan lagi sekarang terhadap
pemain-pemain PSSI. "Jadi saya ini pemain Asia," kata Yacob
dengan bangga. Yacob ditendang dari PSSI pada tahun 1974 --
ketika terjadi persaingan kepengurusan antara kelompok Trio Plus
dan kelompok sardosono. Kedua kelompok berminat menjadi pengurus
lewat Kongres Yogya yang sulit dilupakan itu. Yacob dan Abdul
Kadir berkampanye untuk Trio Plus, karena merasa Sarnubi dkk
dari Trio Plus lebih becus mengurus pemain. "Bayangkan, 2 bulan
kita di luar negeri tanpa meninggalkan uang cukup untuk isteri,
setelah pulang tahu-tahu radio yang saya pesankan untuk dijual,
masih ada di rumah," kata Yacob. Rupanya diam-diam Sarnubi turun
tangan, mengirim wesel untuk keperluan rumah tangganya. "Siapa
tidak terharu dengan sikap begitu," kata Yacob.
Tatkala kemudian Trio Plus kalah, Yacob dan Kadir-pun
tersingkir. "Itu sudah saya perhitungkan," katanya. sardosono
memang tidak menyebut-nyebut bahwa tidak dipanggilnya kedua
pemain ini karena ketahuan mendukung lawannya. "Alasannya waktu
itu, saya dianggap terlalu tinggi dan Kadir dianggap terlalu
pendek," kata Yacob.
Setelah kena depak, Yacob hanya main untuk Persebaya dan melatih
kesebelasan Jember. Pada tahun 1975, ajalnya sebagai pemain
sampai, ketika kakinya patah, setelah sepuluh menit melawan
kesebelasan Ascot dari Australia. Maka selesailah karier si
Kepala Emas ini."Jangankan uang, ditengokpun tidak oleh pengurus
PSSI," keluh Yacob. "Untung bapak-bapak Persebaya mau menanggung
obat dan kerk. "
Kalau kaki sudah tak berdaya Yacob baru melihat betapa suramnya
hidup seorang pemain bola. Beruntung Walikota Surabaya
menolongnya menjadi pegawai bagian pajak di Kantor Kotamadya
Surabaya. Awal tahun ini ia berangkat ke Lampung memulai
kehidupan sebagai pelatih klub Jaka Utama dengan bayaran Rp 150
ribu sebulan, merangkap pegawai PT Jaka Utama dengan gaji Rp 50
ribu. "Setelah saya coba 6 bulan ini saya memutuskan keluar dari
pegawai negeri saja dan menetap di Lampung," kata Yacob -- yang
juga pernah beberapa kali gegar otak kecil lantaran keseringan
menyundul bola. Nyamuk pers cepat mencium langkah Yacob, lalu
cepat menulis berita yang nyaris sindiran: "Yacob
bertransmigrasi ke kampung." Yacob hanya meringis: "Sialan,"
ujarnya.
Isteri
Bekas kiper nasional, Judo Hadijanto membenarkan bahwa yang
terpenting dari segala tetek bengek seorang pemain bola adalah
"pengertian dari isteri". Apabila seorang menjadi pemain
nasional ia adalah milik masyarakat, hampir seluruh waktunya
bakal tersiksa. "Kalau tidak ada pengertian dari isteri, payah.
Nah kita tanamkan pengertian itu. Apa yang kita dapatkan dari
sepakbola dimanfaatkan untuk keluarga,' kata Judo.
Pada masa jayanya di tahun 60-70an, apabila nama Judo disebut,
penonton akan keplok tangan. "Di samping isteri yang nonton,
tepuk itu dorongan bagi saya," kata Judo. Tetapi hari-hari naas
selalu datang. Disaksikan oleh Kepala Negara, ia terpaksa
menelan racun pahit tatkala melawan kesebelasan Dynamo Tbilisi.
Belum setengah main ia sudah kebobolan 4 gol. "Dua gol memang
keunggulan tembakan lawan, dua lainnya blunder saya," ujar Judo
mengenangkan. Hatinya tersayat dan semangatnya lumpuh. Pada
waktu seperti itulah kembali muncul isterinya sebagai pendorong.
"Biar penonton mengumpat, mencaci, dalam keadaan begitu, isteri
tetap menjadi pendorong utama," kata Judo. seberapa bulan
kemudian ia berhasil memperbaiki kembali prestasinya.
Judo mengundurkan diri dari PSSI tahun 1976 karena merasa sudah
tua. Sebagaimana cita-citanya semula, kini ia menjadi pelatih
klub Setia (Buana) dan Arseto. Ia beranggapan sekarang ini main
bola bisa menghidupi keluarga. Tapi itu tergantung dari orangnya
dan pengertian sang isteri. Pada tahun 1960 honor Judo hanya Rp
5. Pada tahun 1969 ia dikontrak Pardede. Dari hasil kontrakan
itu ia membeli 3000 meter tanah di Pasar Rebo. Di tanah itu
sekarang berdiri sebuah rumah dengan penerangan diesel pribadi.
Kekayaannya yang lain adalah sebuah rumah di Ciloto, sebuah
restoran Menado bernarna "Consita", pengalaman keliling dunia
main bola, seorang isteri asal Menado bernama Vera serta 4 orang
anak, 2 putera, 2 puteri. Yang aneh, ketika ditanya adakah ia
berharap anak-anaknya akan main bola. Judo menjawab: "Kalau
bisa, biar bapaknya saja yang jadi pemain bola. "
Menurut Judo tim PSSI memang termasuk nomor satu di lapangan
dalam soal berantem. Julukan tersebut mendapat pengakuan di
seluruh Asia. Sebagai kapten kesebelasan, selain menjaga gawang,
ia terpaksa juga membagi waktu untuk menjaga kehormatan negara
setiap kali nafsu berantem itu kambuh. Sekali peristiwa ia
terpaksa memeluk wasit Merdeka Games ketika rekan-rekannya sudah
siap hendak menghajar. "Biar kawan-kawan pukul saya, asalkan
wasit itu selamat," ujarnya. Lalu bagaimana dengan cacian yang
datang dari penonton? "Wah kalau mau dengerin umpatan nenonton,
itu namanya gila, buat apa didengerin!" kata Judo.
"Habis manis sepah dibuang pun bisa di dalam sepakbola," cerita
Judo selanjutnya. "Tapi saya tetap memilih bola dan mengorbankan
study." Pengorbanan anak Solo ini rupanya tidak sia-sia. Lewat
bola itulah pula kemudian ia menemukan isterinya Vera. Selama TC
menjelang Asian Games ke IV di Jakarta, vera mahasiswi Fakultas
Sastra Ul ditunjuk menjadi penterjemah tim Hongkong. Di situlah
asmara mengamuk dan berakhir dengan pernikahan. Judo pasti tidak
menyesal telah mengorbankan studinya untuk bola.
Juara Asia
Tidak begitu halnya dengan Kwee Kiat Sik, pemain belakang PSSI
tahun 50 - 60an. Orang tinggi besar yang sering bikin keder
penyerang lawan ini, rertegun sesaat setelah menginjak tingkat
III Kedokteran Gigi Trisakti. "Begitu ada praktikum sore, waktu
tidak sinkron lagi, jadi bentrok terus," kata Kiat Sik alias
Arif Kusnadi. "Saya mulai berfikir untuk kemudian hari, pilih
karier arau study?"
Sekarang orang ini dikenal sebagai dokter gigi Kusnadi. Ia
mengundurkan diri tahun 1962, hanya sebulan sebelum skandal
penyuapan Senayan (Asian Games 1962) yang memalukan itu. Ia
memilih study. "Zaman dulu kita nggak terima apa-apa," katanya.
"Sekali-kali dapat tapi minim sekali. Hobi dan dedikasi terhadap
bangsa itulah modalnya. Tapi tidak ada yang mengeluh! "
Lepas dari PSSI, seorang wartawan mengganggunya. "Wah kamu
sekarang a nasional, nggak mau main untuk PSSI," kata kuli tinta
itu. Kusnadi jadi penasaran. Ia kontan menjawab "Kamu jangan
sembarangan ngomong! Saya kan sudah 10 tahun lebih jadi pemain
PSSI. Apa 10 tahun itu masih sedikit" Wartawan itu tidak
menjawab. Tapi rasa kesal masih terbenam dalam dada pemain
belakang ini sampai sekarang.
Yang juga gemar mengganggu adalah para penonton. Tapi terhadap
bung Salmon Nasution asal Tapanuli yang sekarang berusia 34
tahun, segala gangguan itu tidak bakal mempan. Lelaki yang
mengorbankan sekolah demi bola ini pernah dipanggil TC PSSI
tahun 1971 untuk persiapan ke Korea. Tapi hanya 2 hari sebelum
berangkat ia dinyatakan lambat. Salmon hitam dan bercambang
tidak pernah keder dikoyak penonton la bermain di klub Maluku
kemudian Hercules dan Warna Agung. Satu kali penonton pernah
melemparinya batu, untung luput Lain waktu karena jengkel Salmon
ganti meludahi penonton. "Habis dia mengejek, saya meludah
dilapangan dengan dongkol," ujarnya. mengatur, cepet-cepet
teriak, apa mereka bisa main bola?"
Salmon terkenal sebagai tukang bikin ribut, meskipun mengaku
tidak pernah berkelahi. Bujangan ini main dengan teori keras
"Kalau ada lawan keras supaya dia tidak main kotor, saya balas
duluan sampai ada pengertian dari wasit," katanya tenang. "Kalau
wasit raguragu, pasri pemain main kotor, tapi bagi saya kalau
sudah dapat kartu kuning, saya ngerem emosi." Kemudian bila
penonton mulai bersorak-sorak tak karuan, Salmon juga punya
resep. "segitu mereka teriak hoooo pada saya, kontan saya balas
taik!"
Adakah temperamen panas seperti itu yang telah membuat PSSI
mundur? Phwa Sian Liong alias Januar Pribadi (47 tahun) anak
Pasuruan yang memperkuat masa jaya PSSI tahun 50-60an berkata
"Kita tidak mundur, tapi mereka yang maju, sementara kita
statis." Pernyataan yang bernada rendah ini amat mengharukan,
kalau diingat yang bersangkutan adalah pemain nasional yang
berkaliber besar main sebagai kiper, penyerang tengah dan juga
belakang. Ia seorag yang lugu namun memiliki dedikasi yang
tinggi. Ia lari mengejar bola ke Jakarta meninggalkan Fakultas
Kedokteran. Ketika saudara-saudaranya ingin mengikuti jejaknya,
ibunya mencegah "Sudah, sudah, satu saja!"
Lebih dari 100 tempat di Asia dijelajahi Januar bersama PSSL
Hampir semuanya dengan kemenangan. Tahun 50 - 60 memang masa
emas. Padahal dibandingkan sekarang, dahulu orang main bola
tidak dapat apa-apa. Fasilitas sekarang lebih baik, tapi
ternyata kondisi sudah berbeda. Dulu latihan didahului dengan
ngenjot sepeda setengah jam, tetap dijalani, sekarang kalau
tidak pakai motor, ogah. Sekarang pemain PSSI kalau tak ada TC
dilihatnya, latihan juga berhenti. "Saya dulu tidak," kata
Januar. "Saya tetap berlatih untuk menjaga kondisi. Rasanya malu
kalau dipanggil tidak dalam keadaan siap. Kita tidak perlu
dioprak-oprak latihan. Pokoknya kalau mau maju, tanamkan
disiplin pada pemain!"
Menurut pengalaman Januar, begitu kostum berwarna merah-putih
dikenakan, begitu lagu kebangsaan diperdengarkan -- di dalam
setiap pertandingan resmi -- rasa kebangsaan terasa tebal
sekali. Kebanggaannya sulit dilukiskan. "Tepuk tangan gemuruh
memang membantu kekuatan. Tapi merah-putih dilekatkan di tubuh
rasanya bukan main. Bayangkan dari sekian juta orang hanya kita
yang mengenakan .... ," katanya dengan terharu. "Saya ingin
Indonesia maju. Ndak usah jadi juara dunia, cukup juara Asia,
sebelum saya mati."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini