Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Habis manis dibuangkah mereka ?

Para eks pemain sepak bola nasional menceritakan pengalaman dan suka dukanya ketika memperkuat tim pssi, a.l: yacob sihasale, kiper judo hadijanto, kwee kiat sik, salmon nasution dan januar pribadi.(sd)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LILIK Sumarni, seorang gadis Surabaya benci setengah modar kepada tetangganya. "Sungguh mati, bencinya bukan main hati saya mendapat tetangga baru yang hitam, jelek dan acuh," ujarnya. Begitu bencinya, sampai-sampai ibunya turun tangan menegur sikap gadis itu. "Tetapi anehnya," sambung gadis itu, "kalau sehari dia tidak kelihatan, rasanya kok ada sesuatu yang hilang. Mungkin itulah yang dinamakan benci tetapi rindu." Pada tahun 1968 Lilik memutuskan nikah dengan tetangganya yang hitam itu. Malang tak dapat dihindari, dua hari sebelum tanggal pernikahan muncul kawat dari Jakarta. Calon suaminya harus memperkuat PSSI untuk pertarungan di Merdeka Games -- Kuala Lumpur--tidak bisa datang pada hari pernikahan, karena pas dengan hari final. Maka lemaslah gadis kota buaya itu. "sayangkan perkawinan yang hanya terjadi sekali seumur hidup dia tinggalkan main bola," kata Lilik kepada TEMPo. Kepala Emas Menunda pernikahan mustahil, karena undangan sudah disebar dan persiapan sudah matang. Untung adat Jawa memberikan penyelesaian bagi Lilik karena dimungkinkan pengantin pria diganti dengan keris, apabila berhalangan bersanding. Maka adatpun dihidupkan kembali dalam keadaan yang terpaksa itu. Lalu Haji Sukamto, ketua Persebaya menguslllkan, agar di samping keris juga disandingkan pula sebuah bola sebagai pengganti mempelai pria. "Idam-idaman saya untuk bisa bersanding di pelaminan ternyata hanya bisa bersanding dengan bola," keluh Lilik lagi. Sementara Lilik bersanding dengan bola, Yacob Sihasale -- mempelai yang tak hadir itu -- berlari mengejar bola di lapangan Kuala Lumpur. Dibayangi wajah isterinya, ia memusatkan perhatiannya pada gawang lawan. Dengan semangat yang luar biasa, ia mainkan kelihaian kepalanya yang diberi julukan "kepala emas". Pada detik yang menentukan saat skors 22, kepalanya itu berhasii menyundul bola merobek gawang lawan. Kedudukan menjadi 3:2 untuk kemenangan Indonesia. Yacob terharu dan melonjak, merasa pengabdian dan pengorbanannya tidak sia-sia. Dengan dedikasi tinggi plus dukungan moril dari isterinya, Yacob menjadi poros depan PSSI tak kurang dari 12 tahun. Anak Ambon yang dijuluki "Pele" kecil ini memang sudah gila pada bola. Pada awal tahun 70-an, bersama Sutjipto ia menjadi mutiara PSSI, memboyong Piala Raja (Bangkok), Merdeka Games dan Anniversary (Jakarta). Pialapiala yang belakangan ini tak pernah lagi bisa disentuh oleh PSSI. Kedua pemain itu sempat terpilih memperkuat kesebelasan Asia, tatkala dilangsungkan pertandingan antar benua. Pilihan yang mungkin tidak akan dapat dilakukan lagi sekarang terhadap pemain-pemain PSSI. "Jadi saya ini pemain Asia," kata Yacob dengan bangga. Yacob ditendang dari PSSI pada tahun 1974 -- ketika terjadi persaingan kepengurusan antara kelompok Trio Plus dan kelompok sardosono. Kedua kelompok berminat menjadi pengurus lewat Kongres Yogya yang sulit dilupakan itu. Yacob dan Abdul Kadir berkampanye untuk Trio Plus, karena merasa Sarnubi dkk dari Trio Plus lebih becus mengurus pemain. "Bayangkan, 2 bulan kita di luar negeri tanpa meninggalkan uang cukup untuk isteri, setelah pulang tahu-tahu radio yang saya pesankan untuk dijual, masih ada di rumah," kata Yacob. Rupanya diam-diam Sarnubi turun tangan, mengirim wesel untuk keperluan rumah tangganya. "Siapa tidak terharu dengan sikap begitu," kata Yacob. Tatkala kemudian Trio Plus kalah, Yacob dan Kadir-pun tersingkir. "Itu sudah saya perhitungkan," katanya. sardosono memang tidak menyebut-nyebut bahwa tidak dipanggilnya kedua pemain ini karena ketahuan mendukung lawannya. "Alasannya waktu itu, saya dianggap terlalu tinggi dan Kadir dianggap terlalu pendek," kata Yacob. Setelah kena depak, Yacob hanya main untuk Persebaya dan melatih kesebelasan Jember. Pada tahun 1975, ajalnya sebagai pemain sampai, ketika kakinya patah, setelah sepuluh menit melawan kesebelasan Ascot dari Australia. Maka selesailah karier si Kepala Emas ini."Jangankan uang, ditengokpun tidak oleh pengurus PSSI," keluh Yacob. "Untung bapak-bapak Persebaya mau menanggung obat dan kerk. " Kalau kaki sudah tak berdaya Yacob baru melihat betapa suramnya hidup seorang pemain bola. Beruntung Walikota Surabaya menolongnya menjadi pegawai bagian pajak di Kantor Kotamadya Surabaya. Awal tahun ini ia berangkat ke Lampung memulai kehidupan sebagai pelatih klub Jaka Utama dengan bayaran Rp 150 ribu sebulan, merangkap pegawai PT Jaka Utama dengan gaji Rp 50 ribu. "Setelah saya coba 6 bulan ini saya memutuskan keluar dari pegawai negeri saja dan menetap di Lampung," kata Yacob -- yang juga pernah beberapa kali gegar otak kecil lantaran keseringan menyundul bola. Nyamuk pers cepat mencium langkah Yacob, lalu cepat menulis berita yang nyaris sindiran: "Yacob bertransmigrasi ke kampung." Yacob hanya meringis: "Sialan," ujarnya. Isteri Bekas kiper nasional, Judo Hadijanto membenarkan bahwa yang terpenting dari segala tetek bengek seorang pemain bola adalah "pengertian dari isteri". Apabila seorang menjadi pemain nasional ia adalah milik masyarakat, hampir seluruh waktunya bakal tersiksa. "Kalau tidak ada pengertian dari isteri, payah. Nah kita tanamkan pengertian itu. Apa yang kita dapatkan dari sepakbola dimanfaatkan untuk keluarga,' kata Judo. Pada masa jayanya di tahun 60-70an, apabila nama Judo disebut, penonton akan keplok tangan. "Di samping isteri yang nonton, tepuk itu dorongan bagi saya," kata Judo. Tetapi hari-hari naas selalu datang. Disaksikan oleh Kepala Negara, ia terpaksa menelan racun pahit tatkala melawan kesebelasan Dynamo Tbilisi. Belum setengah main ia sudah kebobolan 4 gol. "Dua gol memang keunggulan tembakan lawan, dua lainnya blunder saya," ujar Judo mengenangkan. Hatinya tersayat dan semangatnya lumpuh. Pada waktu seperti itulah kembali muncul isterinya sebagai pendorong. "Biar penonton mengumpat, mencaci, dalam keadaan begitu, isteri tetap menjadi pendorong utama," kata Judo. seberapa bulan kemudian ia berhasil memperbaiki kembali prestasinya. Judo mengundurkan diri dari PSSI tahun 1976 karena merasa sudah tua. Sebagaimana cita-citanya semula, kini ia menjadi pelatih klub Setia (Buana) dan Arseto. Ia beranggapan sekarang ini main bola bisa menghidupi keluarga. Tapi itu tergantung dari orangnya dan pengertian sang isteri. Pada tahun 1960 honor Judo hanya Rp 5. Pada tahun 1969 ia dikontrak Pardede. Dari hasil kontrakan itu ia membeli 3000 meter tanah di Pasar Rebo. Di tanah itu sekarang berdiri sebuah rumah dengan penerangan diesel pribadi. Kekayaannya yang lain adalah sebuah rumah di Ciloto, sebuah restoran Menado bernarna "Consita", pengalaman keliling dunia main bola, seorang isteri asal Menado bernama Vera serta 4 orang anak, 2 putera, 2 puteri. Yang aneh, ketika ditanya adakah ia berharap anak-anaknya akan main bola. Judo menjawab: "Kalau bisa, biar bapaknya saja yang jadi pemain bola. " Menurut Judo tim PSSI memang termasuk nomor satu di lapangan dalam soal berantem. Julukan tersebut mendapat pengakuan di seluruh Asia. Sebagai kapten kesebelasan, selain menjaga gawang, ia terpaksa juga membagi waktu untuk menjaga kehormatan negara setiap kali nafsu berantem itu kambuh. Sekali peristiwa ia terpaksa memeluk wasit Merdeka Games ketika rekan-rekannya sudah siap hendak menghajar. "Biar kawan-kawan pukul saya, asalkan wasit itu selamat," ujarnya. Lalu bagaimana dengan cacian yang datang dari penonton? "Wah kalau mau dengerin umpatan nenonton, itu namanya gila, buat apa didengerin!" kata Judo. "Habis manis sepah dibuang pun bisa di dalam sepakbola," cerita Judo selanjutnya. "Tapi saya tetap memilih bola dan mengorbankan study." Pengorbanan anak Solo ini rupanya tidak sia-sia. Lewat bola itulah pula kemudian ia menemukan isterinya Vera. Selama TC menjelang Asian Games ke IV di Jakarta, vera mahasiswi Fakultas Sastra Ul ditunjuk menjadi penterjemah tim Hongkong. Di situlah asmara mengamuk dan berakhir dengan pernikahan. Judo pasti tidak menyesal telah mengorbankan studinya untuk bola. Juara Asia Tidak begitu halnya dengan Kwee Kiat Sik, pemain belakang PSSI tahun 50 - 60an. Orang tinggi besar yang sering bikin keder penyerang lawan ini, rertegun sesaat setelah menginjak tingkat III Kedokteran Gigi Trisakti. "Begitu ada praktikum sore, waktu tidak sinkron lagi, jadi bentrok terus," kata Kiat Sik alias Arif Kusnadi. "Saya mulai berfikir untuk kemudian hari, pilih karier arau study?" Sekarang orang ini dikenal sebagai dokter gigi Kusnadi. Ia mengundurkan diri tahun 1962, hanya sebulan sebelum skandal penyuapan Senayan (Asian Games 1962) yang memalukan itu. Ia memilih study. "Zaman dulu kita nggak terima apa-apa," katanya. "Sekali-kali dapat tapi minim sekali. Hobi dan dedikasi terhadap bangsa itulah modalnya. Tapi tidak ada yang mengeluh! " Lepas dari PSSI, seorang wartawan mengganggunya. "Wah kamu sekarang a nasional, nggak mau main untuk PSSI," kata kuli tinta itu. Kusnadi jadi penasaran. Ia kontan menjawab "Kamu jangan sembarangan ngomong! Saya kan sudah 10 tahun lebih jadi pemain PSSI. Apa 10 tahun itu masih sedikit" Wartawan itu tidak menjawab. Tapi rasa kesal masih terbenam dalam dada pemain belakang ini sampai sekarang. Yang juga gemar mengganggu adalah para penonton. Tapi terhadap bung Salmon Nasution asal Tapanuli yang sekarang berusia 34 tahun, segala gangguan itu tidak bakal mempan. Lelaki yang mengorbankan sekolah demi bola ini pernah dipanggil TC PSSI tahun 1971 untuk persiapan ke Korea. Tapi hanya 2 hari sebelum berangkat ia dinyatakan lambat. Salmon hitam dan bercambang tidak pernah keder dikoyak penonton la bermain di klub Maluku kemudian Hercules dan Warna Agung. Satu kali penonton pernah melemparinya batu, untung luput Lain waktu karena jengkel Salmon ganti meludahi penonton. "Habis dia mengejek, saya meludah dilapangan dengan dongkol," ujarnya. mengatur, cepet-cepet teriak, apa mereka bisa main bola?" Salmon terkenal sebagai tukang bikin ribut, meskipun mengaku tidak pernah berkelahi. Bujangan ini main dengan teori keras "Kalau ada lawan keras supaya dia tidak main kotor, saya balas duluan sampai ada pengertian dari wasit," katanya tenang. "Kalau wasit raguragu, pasri pemain main kotor, tapi bagi saya kalau sudah dapat kartu kuning, saya ngerem emosi." Kemudian bila penonton mulai bersorak-sorak tak karuan, Salmon juga punya resep. "segitu mereka teriak hoooo pada saya, kontan saya balas taik!" Adakah temperamen panas seperti itu yang telah membuat PSSI mundur? Phwa Sian Liong alias Januar Pribadi (47 tahun) anak Pasuruan yang memperkuat masa jaya PSSI tahun 50-60an berkata "Kita tidak mundur, tapi mereka yang maju, sementara kita statis." Pernyataan yang bernada rendah ini amat mengharukan, kalau diingat yang bersangkutan adalah pemain nasional yang berkaliber besar main sebagai kiper, penyerang tengah dan juga belakang. Ia seorag yang lugu namun memiliki dedikasi yang tinggi. Ia lari mengejar bola ke Jakarta meninggalkan Fakultas Kedokteran. Ketika saudara-saudaranya ingin mengikuti jejaknya, ibunya mencegah "Sudah, sudah, satu saja!" Lebih dari 100 tempat di Asia dijelajahi Januar bersama PSSL Hampir semuanya dengan kemenangan. Tahun 50 - 60 memang masa emas. Padahal dibandingkan sekarang, dahulu orang main bola tidak dapat apa-apa. Fasilitas sekarang lebih baik, tapi ternyata kondisi sudah berbeda. Dulu latihan didahului dengan ngenjot sepeda setengah jam, tetap dijalani, sekarang kalau tidak pakai motor, ogah. Sekarang pemain PSSI kalau tak ada TC dilihatnya, latihan juga berhenti. "Saya dulu tidak," kata Januar. "Saya tetap berlatih untuk menjaga kondisi. Rasanya malu kalau dipanggil tidak dalam keadaan siap. Kita tidak perlu dioprak-oprak latihan. Pokoknya kalau mau maju, tanamkan disiplin pada pemain!" Menurut pengalaman Januar, begitu kostum berwarna merah-putih dikenakan, begitu lagu kebangsaan diperdengarkan -- di dalam setiap pertandingan resmi -- rasa kebangsaan terasa tebal sekali. Kebanggaannya sulit dilukiskan. "Tepuk tangan gemuruh memang membantu kekuatan. Tapi merah-putih dilekatkan di tubuh rasanya bukan main. Bayangkan dari sekian juta orang hanya kita yang mengenakan .... ," katanya dengan terharu. "Saya ingin Indonesia maju. Ndak usah jadi juara dunia, cukup juara Asia, sebelum saya mati."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus