UNTUK pertama kali dalam sejarah Republik, harga obat akan diturunkan. Tapi apa mungkin? Jawabnya, ya! Memang, penurunan harga cuma berlaku buat sebagian obat yang biasa disebut obat esensial, yakni yang amat dibutuhkan rakyat banyak. Tindakan ini diambil pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 tentang Harga Patokan Obat Inpres Kesehatan, Daftar C Tahun 1988/1989, yang ditetapkan 22 Juni 1988 dan baru diumumkan pekan lalu. Berdasarkan SK itu, harga patokan tertinggi obat inpres daftar C -- yang masuk daftar obat esensial dan dipakai di puskesmas -- tahun ini turun 10 sampai 12 persen dibanding harga tahun lalu. Dengan ini, panitia tender pengadaan obat di daerah mesti menyesuaikan diri. Seperti dikemukakan Dirjen POM Drs. Slamet Soesilo, pengadaan obat inpres daftar C memang dilaksanakan melalui tender dan dengan plafon harga yang ditetapkan Menteri. Sementara itu, pengadaan obat daftar A dan daftar B dilakukan masing-masing oleh Indo Farma dan Kimia Farma, dua BUMN yang berada di bawah Depkes. Peran kedua BUMN itu sendiri cukup penting, "sebab obat esensial itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang perlu dijamin pengadaan dan mutunya," ujar Slamet. Kendati demikian Slamet mengakui bahwa keduanya perlu meningkatkan efisiensi, supaya bisa bersaing dengan pihak swasta sekalipun. "Kita memang ditugasi mengambil langkah bagi peningkatan efisiensinya," ujar Slamet. "Tapi perlu waktu, kan ?" Langkah penurunan harga jelas satu langkah maju, yang dilakukan Menteri Kesehatan dr. Adhyatma, M.P.H. Kabarnya, langkah ini akan disusul dengan derap yang lebih gemplta, untuk menurunkan harga semua jenis obat lain, termasuk yang non-esensial. "Penurunan harga itu pasti terjadi. Saat ini masih dianalisa faktor komponen produksi, promosi, dan pelayanan sosialnya," kata Adhyatma pada wartawan. "Untuk itu, bersabarlah." Menteri menyadari bahwa persoalan bisnis obat memang pelik, tapi perlu segera dibenahi. Dan tahapan yang mesti dilalui bisa panjang dan rumit. Ibarat sebuah belantara, bisnis obat tidak saja melibatkan oknum pejabat pemerintah, tapi jnga para dokter -- misalnya dengan menerima komisi dari pabrik obat, yang besarnya 15-20%. Dalam hal ini, pasienlah yang mesti membayar komisi, secara tak langsung. Banyak contohnya, termasuk obat palsu dan obat yang tidak efektif bagi pasien. Obat palsu melibatkan sekelompok oknum "pengusaha" berhati busuk. Tapi soal obat non-efektif (N-E) lebih rumit: saat ini di Indonesia beredar -- secara resmi ratusan merk obat yang sama sekali tidak ada manfaatnya (tidak efektif) bagi penderita. Sumber TEMPO menyebut beberapa contoh: obat "antiperdarahan" Adona, "antivirus" Isoprinosine, beberapa "vaso dilator serebral " (pelebar pembuluh otak), beberapa "enzim antiperadangan" dan "pelindung hati" Essentiale. Semua obat N-E ini sudah sejak masa Dirjen POM lama, Midian Sirait, diusulkan agar dicabut dari peredaran -- berhubung khasiatnya tak lebih dari kapsul plasebo, yang cuma berisi tepung. Tapi obat N-E masih saja dijual di apotek dan toko obat. Menurut sumber tadi, obat jenis ini malah tergolong mahal, juga sering dibuatkan resepnya oleh dokter. Tak dapat tidak, produsen tentu memperoleh untung yang besar sekali dari penjualan obat N-E. Omset penjualan Adona saja, menurut sumber tadi, bisa milyaran rupiah setahun. Besarnya keuntungan yang diperoleh 280 produsen obat di Indonesia -- dengan omset sekitar Rp 550 milyar setahun -- agaknya cuma satu dan sekian banyak faktor yang melonjakkan harga obat. Faktor lain adalah tingginya biaya promosi distribusi yang panjang, dan besarnya pajak yang mesti dibayar pengusaha obat. Namun, sumber TEMPO juga mengatakan, pada dasarnya semua pat gulipat itu terjadi karena besarnya selisih atau margin antara harga obat yang dibayar konsumen dan harga bahan baku plus biaya produksi. Karena selisih yang besar itulah, antara lain, banyak perusahaan berani melakukan promosi besar-besaran, termasuk juga dengan cara yang tidak etis, seperti memberi komisi pada dokter atau membuat simposium yang pseudo-ilmiah. "Malah ada produsen yang berani menitipkan obatnya, untuk dijadikan program standar pengobatan di sementara fakultas kedokteran, dengan imbalan tertentu bagi pengelolanya," ujar sumber tadi. Alhasil, kata sumber itu, satu-satunya usaha adalah political will dari pemerintah sebagai regulator harga. Sebab, "ada pameo bahwa industri obat itu sama baik atau sama jeleknya dengan sang regulator," katanya. Untuk itu, memang banyak yang mesti dibenahi dan banyak pihak mesti rela dengan lapang dada mengurangi pendapatannya dari keuntungan bisnis obat. Para dokter, misalnya, harus menolak segala macam rayuan komisi dari pabrik obat. Lalu pihak distributor juga harus berusaha menurunkan margin, yang selama ini besarnya antara 20% dan 25%, sementara apotek juga harus memotong margin yang diperkirakan bisa 35%. Selain itu, agaknya pemerintah sendiri mesti rela mengurangi pemasukan dari pajak penjualan obat, di samping membentuk badan yang mengontrol promosi obat. Semua upaya ini memang sulit. Tapi janji Menteri Adhyatma perlu disambut hangat, mengingat selama ini rasanya tak pernah ada tekad -- dan siapa pun -- untuk menurunkan harga barang di Indonesia. Usaha penurunan harga obat memang sudah lama dirintis, misalnya melalui pelarangan pemberian sampel obat pada dokter. Tapi sampai munculnya SK Menkes tersebut, harga obat belum pernah turun. Meski obat kita mungkin memang bukan yang termahal di dunia, penurunan itu adalah satu keharusan, supaya harganya terjangkau oleh lebih banyak orang. Lagi pula, bukan rahasia, obat-obat buatan Indonesia selalu jauh lebih mahal dibanding obat yang sama di luar negeri. Seorang dokter ahli bahkan mengakui bahwa sejenis obat antikencing manis bisa dibeli di India dengan harga 20% dari harga di sini. "Dan obat itu bisa masuk Indonesia melalui penyelundupan. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini