SEORANG dokter Inggris, Edward Jenner, menyusun sebuah teori tentang vaksinasi. Ini terjadi abad ke-18, hampir 200 tahun yang lalu. Setelah mengamati klasifikasi jasad renik, ia yakin ada sejenis virus yang tidak berbahaya. Bila dimasukkan ke dalam tubuh manusia, virus ini tidak akan menimbulkan penyakit, malah sebaliknya, mampu merangsang produksi antibodi untuk melawan penyakit. Kira-kira 100 tahun kemudian, para peneliti akhirnya menemukan virus yang dimaksud Jenner. Virus itu diberi nama Vaccinia. Karena masih sekeluarga dengan virus penyebab cacar, Vaccinia diolah menjadi vaksin untuk mengatasi cacar. Berhasil. Cacar tergolong penyakit mematikan. Infeksi yang ditimbulkannya merenggut cukup banyak nyawa di berbagai epidemi. Karena itu, sejak tahun 1970, dilakukan vaksinasi secara besar-besaran di seluruh dunia. Vaccinia menang, dan pada tahun 1977 dunia dinyatakan bebas dari cacar. Setelah menghajar cacar, Vaccinia nyaris dilupakan orang. Bukan saja tidak dikembangkan, bahkan nyaris jadi veteran. Toh masih ada beberapa peneliti yang setia mempelajarinya. Di luar dugaan, malah membuahkan hasil, yang kelak mungkin akan sangat bermanfaat bagi umat manusia. Awal Agustus yang baru lalu, Dr. Bernard Moss dari National Institute of Allergy and Infectious Desease -- satu pusat peneliti penyakit infeksi di Amerika Serikat mengumumkan berbagai manfaat Vaccinia. Moss menyatakan, dua percobaan sedang dijalankan untuk mencoba keampuhannya. Pertama, menghadapi melanoma, yakni sejenis kanker kulit. Dan kedua menangkal AIDS -- Acquired Immune Deficiency Syndrome -- penyakit yang merontokkan daya tahan tubuh. Percobaan vaksinasi untuk menghadapi AIDS dlakukan di Seattle, Amerika Serikat. Sebuah perusahaan rekayasa genetik sejak Juni lalu mencobakan vaksin Vaccinia baru ini pada 25 sukarelawan. Dr. George Todaro yang memimpin percobaan itu mengatakan, antibodi yang diharapkan bisa menghadapi AIDS terbukti bisa diproduksi tubuh. Namun, sebegitu jauh, para sukarelawan tentulah tak bersedia ditulari AIDS, sekadar untuk mencoba keampuhan Vaccinia. Sementara itu, percobaan vaksinasi untuk mengatasi melanoma termasuk dalam deretan vaksinasi menghadapi penyakit lainnya. Percobaan dilakukan di enam rumah sakit besar AS dan melibatkan sekitar 200 sukarelawan. Vaksin Vaccinia memang bisa digunakan untuk membangun kekebalan terhadap beberapa penyakit, di antaranya hepatitis B, herpes, rabies, influenza, bahkan TBC. Selain ampuh, vaksin ini juga murah. Tidak sulit menyimpannya -- tak harus dalam alat pendingin -- juga mudah menggunakannya, cukup diguratkan ke kulit. Para produsen memperkirakan, vaksin ini akan sangat berguna bagi negara berkembang. Vaccinia, si virus budiman, memang punya keistimewaan. Struktur genetik virus ini sangat longgar. Artinya, spiral asam amino pada inti selnya -- disebut DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) -- mempunyai potongan-potongan yang kosong. Dalam penelitian ditemukan ada 20 sampai 25 sifat virus lain bisa dicangkokkan ke Vaccinia. Karena itu, setelah digarap, sifat Vaccinia bisa mirip dengan virus HIV penyebab AIDS, bahkan bakteri TBC. Sementara itu, sifat budimannya tidak hilang. Maka, jadilah ia penyelamat: memancing antibodi, tapi tidak menimbulkan penyakit. Mengubah-ubah sifat Vaccinia cuma bisa dilakukan dengan rekayasa genetik yang canggih, yang kini pun masih terasa sebagai dunia aneh tapi nyata. Mula-mula unsur genetik virus tertentu dicangkokkan ke inti sel Vaccinia. Lalu virus Vaccinia yang telah membawa sifat lain itu ditanamkan ke sel binatang. Dalam kultur jaringan, yaitu media yang dipakai buat membiakkan jasad renik dan jaringan sel, Vaccinia pun berkembang biak. Pada tahap akhir, Vaccinia siap ditugasi merangsang pembentukan antibodi. Jis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini