Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada Yang Menjerit di Hulu

Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia (HPRI) dengan APHKI dilebur menjadi asosiasi industri permebelan & kerajinan industri (AIPKI) agar jangkauannya makin panjang. Tapi status organisasinya belum jelas.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN silam Bob Hasan menarik perhatian di Hotel Bumi Hyatt, Surabaya. Dalam musyawarah nasional luar biasa HPRI (Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia) Rabu lalu, ia mempersatukan HPRI yang dipimpinnya denan Asosiasi Permebelan dan Hasil Kayu Indonesia (APHKI)."Kedua asoslasi ini sudah sepakat membentuk wadah baru, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (AIPKI)," kata Bob Hasan pada acara peresmian 100 pabrik barang jadi rotan dan 124 sentra industri kerajinan rotan yang tersebar di berbagai provinsi. AIPKI, menurut Bob, didirikan agar jangkauan organisasi menjadi panjang. Urusannya tak terbatas pada rotan dan kayu. "Asosiasi ini diharapkan mampu mengurusi masalah permebelan, mulai dari soal bahan baku seperti paku sampai urusan mencari pasar," katanya. Musyawarah itu, kabarnya, berlangsung di luar dugaan para peserta. Mereka diberi waktu sekitar setengah jam untuk membaca naskah. Lalu diminta pendapat. "Acaranya cuma satu, untuk apa berpanjang-panjang. Juga, tak ada yang bilang tidak setuju, ya sudah, dong," kata Bob Hasan kepada wartawan TEMPO Linda Djalil. Resminya, HPRI telah berubah. Tapi tampaknya status organisasi masih dipertanyakan. Misalnya, ada yang belum jelas benar buat kebanyakan anggota: apakah wadah ini hanya menampung perusahaan industri rotan ataukah semua pengusaha rotan, mulai dari para petani pengumpul di hulu sampai para pengusaha industri kerajinan rotan di hilir? Apakah HPRI itu beranggotakan perusahaan atau federasi dari asosiasi perusahaan sejenis, sebagaimana diatur dalam UU Kadin 1987? "Saya nggak mempelajari betul (UU) itu. Saya orang lapangan, yang penting, saya kerja menolong rakyat. Lagi pula, ini kan asosiasi. Boleh ikut boleh tidak. Maksud asosiasi ini mempersatukan para pengusaha besar, menengah, dan kecil," ujar Bob tenang. Buktinya? "HPRI akan membangun terminal penampungan rotan di beberapa tempat, antara lain di Surabaya, Jakarta, dan Cirebon," katanya. Terminal ini dimaksudkan sebagai wadah pertemuan antara petani pengumpul, pemasok, dan pengusaha industri yang butuh bahan baku rotan. Biaya, kabarnya, akan ditanggung 60% oleh para pengusaha industri rotan dan 40% oleh para petani pengumpul (dalam koperasi). "Ini untuk kepentingan semua kalangan. Masa, saya dibilang mendirikan monopoli," ujar Bob dengan nada tinggi. Indonesia adalah pemasok rotan terbesar di dunia, namun pajak yang masuk ke kas negara diperkirakan belum 10% dari total penerimaan yang diduga mencapai sekitar US$ 1 milyar setahun. Maka, seperti kata Presiden Soeharto pekan lalu, pemerintah perlu mengaturnya dalam bentuk kebijaksanaan, peraturan, dan perundangan. Seandainya pemerintah bisa mengumpulkan pajak sekitar US$ 600 juta, berarti bisnis rotan akan menggapai penerimaan Rp 1 trilyun setahun. Satu trilyun memang menggiurkan. Tapi beberapa pengamat ekonomi yang dihubungi TEMPO pekan silam melihat kebijaksanaan larangan ekspor rotan setengah jadi sejak 1 Juli lalu perlu dipersiapkan lebih matang. Mereka khawatir, kredit murah dari BI akan dinikmati industri hilir. Sedang yang di bagian hulu akan gigit jari. Ini setidaknya telah dirasakan oleh Nunuy, pemasok rotan dari Pekauman, Banjarmasin. "Pedagang rotan sekarang sudah ganti baju menjadi produsen barang jadi rotan. Itu terbatas pada yang bermodal di atas Rp 25 juta. Mereka tak berani lagi membeli seluruh produksi petani, kecuali untuk kebutuhan pabrik," kata Nunuy. Dengan kata lain, pemasok dan petani yang menyuplai rotan kini nasibnya bergantung bulat-bulat pada pengusaha rotan. Ekspor sudah dicoret dari kamus mereka, sedangkan alternatifnya kurang bisa diandalkan. Tapi seperti kata Bob, HPRI bukan monopoli. Namun, ada yang melihat begitu, barangkali karena para eksportir dulu dikenai sumbangan wajib Rp 30 untuk setiap dolar yang mereka terima. Sumbangan ini kemudian diturunkan menjadi hanya Rp 10, setelah ada Imbauan. Ada juga kewajiban lain: Setiap eksportir diminta memberitahukan volume dan nilai ekspornya, juga siapa pembelinya, kepada Badan Pemasaran Bersama (BPB). "Wah, sulit dong, kalau kami diminta membeberkan rahasia dapur," kata seorang pengusaha. Mereka juga khawatir, langganan mereka nantinya diambil orang. Bob Hasan tersenyum mendengar semua kritik ini. "Saya bersedia membeberkan rahasia dapur demi bersaing di luar negeri," jawabnya. Dia mengakui, sumbangan wajib merupakan semacam beban pajak. "Tapi kita 'kan perlu biaya rapat dan cetak buku untuk perajin kecil. Selama ini biaya hanya ditanggung oleh satu dua pengusaha besar. Harus merata, dong," ujarnya. Jika ada perusahaan yang enggan melaporkan kegiatan ekspornya kepada BPB, Bob Hasan menilai, pengusaha itu belum menyadari kepentingan nasional. "Kami sebisa mungkin tak akan mengenakan sanksi. Mudah-mudahan, mereka akan sadar menegakkan disiplin," tambah Bob. Tampakya, usaha untuk mempersatukan pengusaha rotan tak semudah yang terjadi dalam bisnis kayu. Bisnis rotan mencakup mata rantai yang panjang: mulai dari petani pengumpul, pedagang perantara, pengusaha kerajinan setengah jadi, produsen barang jadi, sampai eksportir rotan. Tidak seperti di industri kayu. Di sini perusahaan umumnya bergerak dari hulu (pemilik HPH), lalu langsung ke hilir (industri kayu lapis). Mengekspor rotan pun tak selancar mengekspor kayu lapis. Kayu lapis adalah barang setengah jadi, pengapalannya bisa dilakukan secara masal. Lain halnya pengapalan barang jadi rotan dalam peti kemas. PT Indo Rotan misalnya. Perusahaan dari kelompok Ika Muda ini baru tahun silam mendirikan pabrik rotan di Semarang dan Tegal. Konon, perusahaannya sudah bekerja sama dengan pengusaha Taiwan sejak tahun lalu. Menurut bos Ika Muda, Kamaludin Bakhir, perusahaannya sudah berhasil mendapatkan pasar di Amerika, Jepang, dan Eropa. September depan, orang Pekalongan ini akan mengekspor 15 kontainer. Dia berambisi melego 60 kontainer per bulan, kelak. "Itu berarti meraih devisa 1,5 sampai 2 juta dolar sebulan," kata Kamaludin. Tak boleh dilupakan peran PT Fendi Mungil di Surabaya, tuan rumah peresmian pabrik-pabrik rotan itu. Perusahaan milik Bob Hasan ini -- dia komisaris utamanya dilengkapi mesin yang paling mutakhir. Tak heran kalau pabrik itu efisien, dengan tenaga 425 orang. Sementara PT Irafun di Gresik, Jawa Timur, dengan investasi Rp 3,4 milyar, sampai sekarang mempekerjakan 4.000 karyawan. Fendi Mungil, menurut Wakil Dirut Jongki Sumarhadi, setiap bulan rata-rata sudah mengekspor 30 peti kemas, bernilai US$ 9.000 per kontainer. Pembelinya antara lain perusahaan Pier Importc, dan Wicker Works Company di San Francisco. Mungkin karena sudah memiliki pasar yang jelas, perusahaan ini bisa didirikan dengan investasi sekitar Rp 4 milyar, hampir semuanya kredit dari BDN. "Ada juga modal sendiri, tapi sedikit," kata Jongki kalem. Pier mirip sebuah shogoshosa, memiliki jaringan pemasaran rotan terbesar di dunia. Begitu kata Senior Vice President Pier Importc, Marvin J. Girouard, yang dltemui koresponden TEMPO Wahyu Muryadi di Surabaya. Perusahaan ini menurut Girouard, memiliki 410 toko eceran di 60 negara. Omset total sekitar US$ 450 juta setahun, dan 25% dari jumlah tersebut mewakili bisnis rotan mereka. "Kami berharap bisa meningkatkan pembelian produksi rotan Indonesia. Tahun lalu, dagangan kami 30% berasal dari Taiwan. Dari Indonesia baru 3%," katanya. Lain lagi pendapat Jim Wasserman, Dirut Wicker Works Company, yang mengaku baru berani membeli mebel Indonesla yang sudah lumayan kualitasnya. "Yang lain, seperti kotak almari pakaian dan rak rotan, masih kami impor dari Taiwan," katanya. Beberapa perajin rotan yang sudah berpengalaman agaknya belum yakin, buatan pabrik-pabrik baru itu akan mudah bersaing di pasaran internasional. Ekspor mebel sekalipun, menurut mereka, harus senantiasa disesuaikan dengan fashion. "Maka, untuk meraih harga yang bagus, dibutuhkan perancang yang kreatif, yang terbatas jumlahnya di Indonesia," kata seorang eksportir. Dia mengaku biasa menjual mebel rotan ke Eropa senilai 25 dolar per kursi. Sehingga, dia merasa bingung kalau ada yang berani membanting harga 10 dolar untuk sebuah kursi rotan. "Mendingan ekspor kursi plastik saja," katanya berkelakar. Max Wangkar, laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus