EMPAT bulan lalu Andriani Theresia, 1 1/2, seorang bocah yang lincah. Badannya gemuk. Rambutnya hitam dan tebal. Dan anak yang baru mulai lasak ini sudah bisa berceloteh memanggil ibunya atau berteriak minta makan. Malah, belakangan, ia sudah bisa pula melagak ketika dipotret ayahnya, Harijadi, 32, pengusaha interior di Jakarta. Tapi, semua keceriaan putri bungsu Harijadi itu sekarang sudah berakhir. Gadis cilik itu kini tidak seperti dulu lagi. Ia sudah tak banyak bergerak atau ngomong. Ia juga tak mengenali lagi ayah, ibu, kakaknya, serta keadaan sekitarnya. Andriani kini seperti sebuah boneka tanpa ekspresi - dengan tubuh yang tidak utuh: kaki kanannya buntung dan matanya buta. "Sudah tiga minggu ini, ia hanya terbaring saja. Kami betul-betul terpukul menerima kenyataan ini," kata Harijadi kepada Gatot Triyanto dari TEMPO, dua pekan lalu. Di rumahnya, di Jalan Petojo Barat VI, Jakarta Pusat, bersama istrinya, Shirley, 31, bapak dua anak ini mengaku tak henti-henti menyesali diri dan juga seorang dokter di Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta, yang terang-terangan dituduhnya sebagai penyebab terjadinya musibah itu. Pangkal cerita memang bermula dari RS Aini Jakarta. Oktober tahun laiu, menurut Harijadi, ia membawa Andriani ke rumah sakit yang sudah lama punya reputasi baik dalam mengobati penyakit mata itu. Mula-mula karena ia sering melihat putrinya itu mengeluarkan air mata pada saat melihat atau mengamati sesuatu. Anak itu juga sering didapatinya mendekatkan barang yang mau dilihatnya - terkadang sampai sekitar lima sentimeter - dari matanya. Setelah ia diperiksa, dokter kemudian memberi tahu, Andriani menderita penyakit mata glaukoma bawaan. Untuk itu Harijadi dianjurkan berkonsultasi kepada Dokter Srinagar M. Ardjo, ahli glaukoma yang buka praktek di RS Aini. Dokter Srinagar kemudian menganjurkan Andrian harus segera dioperasi. Saran ini dituruti Harijadi. Pada 16 Desember mata Andriani pun dioperasi, dimulai dari mata kanan. Dibantu oleh ahli anestesi Jusrafli Joenoerham, operasi yang dipimpin Srinagar ini berhasil baik. "Setelah operasi, mata Andriani tak lagi sering berair terutama kalau kena cahaya," tutur Harijadi. Sesuai dengan perjanjian, pada 27 Januari 1986, Andriani kembali menjalani operasi kedua, di mata kirinya. Dan, ketika itulah nasib malang dialami Andriani. Bocah itu terus tak sadarkan diri setelah operasi berlangsung. "Menurut Dokter Jusrafli, ada kekeliruan anestesi dalam operasi anak kami. Dan ia menganjurkan Andriani segera dirawat di Intensive Care Unit," cerita Harijadi. Anestesi, yang lazim dikenal sebagai pembiusan, sudah lama diterapkan dokter untuk setiap kali melakukan operasi. Tapi Harijadi, waktu itu, tak sempat menanyakan lebih rinci kekeliruan apa yang terjadi pada anestesi terhadap anaknya. Ia mengaku begitu bingung, dan setuju saja ketika Dokter Jusrafli mengajurkan Andriani dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Namun, sudah suratan rupanya. Gadis cilik itu, setelah operasi kedua tersebut, tak siuman hingga sekitar tiga minggu. Entah kenapa. Tapi, yang pasti, buntut kepingsanan yang lama itu amat tragis. Dokter menyatakan kaki kanan Andriani mesti diamputasi. "Menurut dokter di RSCM, kaki kanan Andriani mengalami pembusukan, akibat pembuluh darah yang tersumbat," ujar Harijadi sambil menghela napas dalam. Penderitaan Andriani ternyata tak berakhir sampai di situ. Ia juga mengalami kerusakan pada saraf otak (yang berakibat ia menderita cacat mental), kerusakan saraf optik (menyebabkan kebutaan), dan sejumlah kerusakan pada saraf lain. Akibatnya, Andriani praktis tak bisa berbicara serta menggerakkan anggota tubuhnya. Yang lebih mengharukan, gadis kecil itu masih menerima penderitaan yang lain: ada luka besar berdiameter sekitar 8 cm di bagian belakang kepalanya, yang kini digundul. Ini mungkin, kata Harijadi, karena membusuknya tempat itu akibat tersumbatnya aliran darah. Di samping itu, ada luka lain di kaki kiri dan punggung, bercak-bercak di sekujur badan. Tubuh bagian kiri lumpuh. Dan jika Andriani membuka mulut, tampak semua giginya menghitam - tak bisa dipakai mengunyah lagi. Begitu lengkap penderitaan Andriani, hingga bisa dipahami bila Harijadi lalu berniat meminta pertanggungjawaban dokter RS Aini. Khususnya pada dr. Jusrafli, sebagai ahli anestesl yang ditudingnya lalai, hingga menyebabkan anaknya jadi korban. Indikasi kelalaian itu, menurut Harijadi dan istrinya, mereka saksikan sendiri. "Ketika operasi sedang berlangsung, Jusrafli keluar dan baru kembali setelah dipanggil suster," kata Harijadi. Tindakan Jusrafli ini, menurut Harijadi, tak wajar. Karena itu, pada 26 Maret lalu, ia melayangkan surat pengaduan - yang tindasannya dikirim ke pengurus IDI Jakarta - kepada Direktur RS Aini. Sabtu pekan lalu, Harijadi sudah dipanggil pimpinan RS Aini. Pihak rumah sakit itu menyatakan, mereka sudah menjalankan prosedur yang lazim. Dengan kata lain, "Para dokter tak menyatakan bersalah apa-apa," kata Harijadi. "Padahal, anak saya sudah cacat." Soal ini bakal ramai jika betul akan dibawa ke pengadilan. Sebab, sebelumnya Dokter Srinagar, 50, direktur pertama RS Aini periode 1978-1983, yang memimpin operasi mata Andriani itu, mengakui: sebagai ketua tim, ia bertanggung jawab atas terjadinya kasus itu. Kendati demikian, ia tegas-tegas membantah musibah Andriani itu karena kegagalan operasi mata. Operasi glaukoma yang dijalani Andriani, menurut Srinagar, hanya operasi biasa. Dan itu dilakukannya, karena bocah tersebut menderita kelainan: tekanan cairan (humour aquaius) di matanya tidak normal. Pada mata anak biasa (diukur dengan tonometer) besar tekanan itu 10 hingga 20 milimeter air raksa, pada mata Andriani tekanan sudah mencapai 35,8. Untuk mengurangi tekanan itu biasanya ada dua cara yang ditempuh: memberi obat atau operasi. Yang terakhir ini biasa pula dilakukan pada pasien anak-anak. Caranya, pasien dianestesi umum dulu, baru setelah itu sudut di bagian iris dan kornea matanya dibuat lubang atau filtrasi lewat operasi. Pada Andriani, menurut Srinagar, yang sudah berpengalaman banyak dan terkenal sebagai ahli di bidang ini, operasi glaukoma tadi berhasil dengan baik. "Buktinya bisa dicek, tekanan mata anak itu sudah normal sekarang," katanya. LALU kenapa Andriani bisa cacat? Srinagar tidak membeberkannya secara rinci. Tapi, ia mengakui jika kesalahan bukan pada pelaksanaan operasi, maka kemungkinan lain adalah pada anestesi, seperti dituduhkan Harijadi. Pada kesempatan lain, Dokter Jusrafli, yang sudah praktek di RS Aini sejak 1980, menampik menjelaskan bagaimana kekeliruan anestesi itu bisa terjadi. Ia cuma mengatakan sudah membaca surat pengaduan Harijadi, dan katanya, "Ada yang tidak tepat dari pengaduan itu." Tak disebutkannya bagian mana yang tak tepat dari surat itu. Ia menolak memberikan komentar lebih panjang. Pimpinan RS Aini juga belum bersedia memberikan keterangan. "Tunggu saja, para dokter pasti akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan mereka," kata Dokter Mohamad Abdullah, direktur rumah sakit itu. Dalam praktek kedokteran, kesalahan anestesi memang bukan mustahil, dengan akibat yang bisa berat. Dokter Muhardi, Kepala Bagian Anestesi RSCM, membenarkan bahwa kesalahan anestesi - terutama jika pemberian dosis berlebihan - memang bisa menyebabkan pasien cacat mental. Ini, katanya, karena prinsip pemberian anestesi adalah untuk menekan fungsi saraf, agar pasien yang akan dioperasi tak merasakan rasa sakit. "Pokoknya, jika dosis diberikan lebih dari yang dibutuhkan, pasti berakibat fatal," kata Muhardi. Dalam kasus Andriani, belum jelas betul letak kesalahan itu. Maklum, dokter yang menanganinya belum mau bicara. RS Aini dan para dokter yang praktek di sana sudah 16 tahun dikenal memiliki teknologi dan keahlian yang tinggi. Tapi, Harijadi, yang sudah menghabiskan Rp 9 juta lebih untuk keperluan berobat anaknya itu, tetap menduga mala petaka yang melumpuhkan anaknya adalah akibat kelebihan dosis anestesi satu hal yang tidak mustahil, seperti diutarakan Dokter Muhardi. Kasus ini tampaknya segera akan diajukan ke pengadilan. Apa pun hasil pemeriksaan nanti, kasus Andriani akan menarik perhatian orang ramai. Maklum, para orangtua tak ingin melihat anaknya mengalami nasib malang seperti itu. Siapa pun yang bersalah. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini