Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang mengantar seniman ke pasar

Peranan impresario dalam mengantar para seniman ke pasar komersil. rendra dengan impresario kurnia k. mempunyai nilai rp puluhan juta. juga karya guruh, dll. perkembangan dewan-dewan kesenian di daerah.

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RP 450 juta untuk biaya pementasan Guruh Sukarno selama sepekan. Dan Rp 12 juta hanya untuk honor delapan sajak yang dibaca Rendra secara nonstop selama dua jam. Itu terjadi di Senayan, pada waktu yang bersamaan. Jalanan macet. Parkir sulit. Dan calo karcis panen. Dan di belakang itu, sebuah bisnis dengan manajemen dan pemasaran - berdiri. Impresario. Tetapi usaha mengadakan pertunjukan dengan menghitung uang (bukan sekadar kepuasan hati) tidak dimulai dengan Rendra atau Guruh - dan tidak dimulai dengan , mudah. Ketika Teguh Karya, sutradara film terkemuka, dan sutradara teater keluaran Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) .... mendirikan Teater Populer di masa sulit tahun -1961, "Modal awal kami cuma Rp 5 ribu," kata Teguh. Teater yang manggung di Hotel Indonesia, gedung paling mentereng waktu itu, dan asing dari soal seni, ternyata punya penonton - sesuatu yang membahagiakan Teguh. Penonton tetap ini "ditodong" dengan membayar iuran Rp 400 - jumlahnya 400-an orang. Dari iuran ini Teater Populer bisa bermain ajek sebulan sekali. "Waktu itu 'kan belum ada sponsor," Teguh mengenang. Pemilihan tempat manggung di HI juga lantaran keterpaksaan. Gedung Kesenian di Pasar Baru, yang biasa dipakai ATNI, mau dibongkar. "Dan satu-satunya panggung yang ada lampunya, ya, di HI. Itu sebabnya namanya Teater Populer HI." Tapi tak seluruhnya gemerlap terang. Teguh ingat, misalnya, bagaimana ia menyerahkan honor kepada Mieke Wijaya waktu itu sudah bintang film terkemuka dalam bentuk uang. Jumlahnya - jangan kaget - Rp 400. "Saya sampai berkata, apa tidak lebih baik uang itu kita list saja sebagai kenang-kenangan," kata Teguh. Ketika Taman Ismail Marzuki berdiri, 10 November 1968, Teguh pun mengarahkan pandangan ke bekas kebun binatang itu. Tapi ia baru bisa menikmati TIM tahun 1971. "Begitu kami pindah main ke TIM, penonton kami sudah sembilan ribuan." Artinya, yang empat ribuan adalah penonton yang sudah dibinanya. Kini grup Teguh tak nampak di TIM lagi, tapi ia tak kecewa. Yang dilihat Teguh Karya sekarang: adanya perubahan nilai di masyarakat, di luar pekerja seni sendiri. Orang-orang bisnis mulai melempar sebagian keuntungannya untuk membiayai kesenian. "Saat ini saya kira saat yang paling subur," katanya. Kesuburan itu juga yang dinikmati Rendra. Ketika ia memecahkan rekor bayaran termahal untuk membaca sajak, Rp 3 juta, Desember tahun lalu di Taman Ismail Marzuki, di belakangnya berdiri J. Handojo, Presiden Direktur PT Mitra Adisankha. Lepas dari sini ia dipeluk cukong baru, Kurnia Kartamuhari, Presiden Direktur PT Artha Saphala, perusahaan yang bergerak di bidang angkutan pupuk. Kurnia inilah yang menerbangkan Rendra ke Yogya, Bandung, dan Semarang, sebelum mampir di Istora Senayan. "Saya melihat Rendra sebuah potensi yang layak untuk dipertahankan," kata Kurnia. Kerja sama Rendra dengan Kurnia tidak cuma dalam urusan baca sajak. Dari kontrak yang diadakan Januari lalu, Kurnia memegang dua produk drama yang akan digarap seniman itu. Produksi pertama, Panembahan Roso - yang sekarang sedang giat latihan di Depok - direncanakan pentas Juni depan. Nilai kontraknya: Rp 75 juta. Produksi kedua, tarif dan waktu pementasan belum ditentukan, lakonnya dipilih Hamlet. Tapi apa yang sudah diperoleh impresario ini? "Sampai saat ini saya belum mendapat keuntungan apa-apa. Baru kepuasan batin," jawab Kurnia. Kepuasan itu, kalau dijabarkan lagi, "merasa ikut berbuat sesuatu untuk kesenian." Dan itu tentu mahal. Pengeluaran untuk memanggungkan Rendra mencapai Rp 17,8 juta (termasuk honor si penyair), sementara pemasukan hanya Rp 5,1 juta. "Tapi saya tidak kapok," ujar orang bisnis muda ini. Ia masih mengharap keberuntungan, terutama pada pementasan Panembahan Roso nanti. Ketakutan menderita rugi juga menjadi pemikiran orang-orang di belakang Guruh. Lebih-lebih putra bungsu Sukarno dari Ibu Fatmawati ini tak bisa berkompromi untuk menekan biaya tata panggung, rekaman musik, busana pemain, tata lampu, dan segala yang menyangkut soal artistik lainnya. "Terus terang, akhirnya kami banyak dibantu artis. Camelia Malik, Euis Darliah, Warkop Prambors, mau dibayar 50% dari yang seharusnya mereka terima jika mengadakan pertunjukan komersial di tempat lain," ujar Ny. Amna Sardono. Kerja sama Guruh dengan Amna sudah dimulai 1979, ketika kelompok Swara Maharddhika mengadakan pementasan kolosal yang pertama. Amna, yang pernah menangani kedatangan berbagai grup musik luar negeri - antara lain Philharmonic Orchestra yang dipimpin Zubin Mehta - menolak disebut impresario kelompok Guruh. Ia hanya mengaku "bekerja bersama". Guruh menangani segi artistik, sementara Amna lewat Cipta Indonesia - mendatangkan investor. Investor itu, Citramedia Advertising yang dipimpin Dr. T. Lukmanul Hakim, menyediakan dana Rp 450 juta. Perinciannya: 65% untuk produksi, sisanya untuk promosi dan sewa gedung. Biaya produksi itulah yang dipegang Amna. Perkara dari mana investor mendatangkan uang, termasuk mencari sponsor iklan, Amna tak ikut pusing. Diperkirakan, kalau semua karcis terjual selama 12 pementasan (sehari dua kali pentas), investor untung Rp 100 juta. Keuntungan itu, kalau ada, dibagi dengan Cipta Indonesia. "Hasil pembagiannya itu rahasia dapur kami," ujar Amna. Ini memang awal zaman impresario, barangkali saja. Di Yogya ada kerja sama pelukis Amri Yahya dengan Ny. Taufiq Ismail. Dirintis sejak 1975, "hubungan ini antar sesama teman, tidak memakai kontrak atau aturan-aturan tertulis," ujar istri penyair ini. Amri Yahya tinggal berangkat, biarpun pameran itu jauh di negeri seberang. Pengepakan lukisan, tiket pesawat, tempat pameran, semua diurus Ny. Taufiq. "Saya biasanya bekerja sama dengan Garuda dan staf Kedubes RI kalau pameran di luar negeri," ujar ibu seorang anak ini. Amri Yahya, katanya, dengan cara itu sudah pernah berpameran di Abu Dhabi, Kairo, Jedah, Irak, Bahrain, Kuwait, biasanya untuk lukisan kaligrafi Islam. "Malah sebetulnya ada rencana ke Iran, tetapi keburu ada perang. Setahun rata-rata dua atau tiga kali pameran," ujar Ny. Taufiq lagi. Berapa keuntungan yang dipungut sang "impresario"? "Yah, sudah ada kesepakatan, sekitar 15%," katanya dengan malu-malu. Konon, tak pernah sampai rugi. "Harga lukisan Amri Yahya berkisar antara Rp 200 ribu dan Rp 10 juta. Sekitar 30% lukisan terjual di tiap pameran." Toh, katanya, "Saya terjun ke seni ini untuk memuaskan batin. Padahal, sebenarnya saya tak mengerti lukisan." Seniman yang juga tergantung impresario - sudah lama - tetapi tak menyebutkan siapa orangnya, adalah Bagong Kussudiardjo. Penari dan pelukis yang menetap di Yogya ini merasa enak dan ringan bebannya dengan kerja sama itu. Malah, Bagong mengakui, impresarionya bisa menyunat pementasannya kalau terlalu panjang. "Dia juga menyarankan, kalau pentas di negara ini harus lembut, atau keras," kata Bagong, yang juga menolak disebutkan berapa penghasilannya. Bagong kemudian menunjuk situasi kesenian di Indonesia - periode 1956-1960, yang katanya dikuasai impresario. "Orang itu Pak Samsudin. Dia sukses di dalam dan di luar negeri." Samsudin ini yang antara lain yang mendatangkan Holiday on Ice di Jakarta. Dia pula yang membawa tim kesenian Bagong ke luar negeri pada 1959. Tapi ada impresario yang jelas-jelas tidak mencari keuntungan. Yaitu Decenta (Design Centre Association), kalau perkumpulan ini bisa digolongkan ke sana. Didirikan 22 Desember 1973 di Bandung oleh tiga serangkai, yakni A.D. Pirous, Sunaryo, dan Machmud Buchari, "sejak 1975 kami mensponsori kegiatan kesenian. Dan lebih sering rugi," kata Pirous, dosen dan pelukis terkenal itu. "Ya, soalnya, yang kita sponsori bukan mereka yang kuat dan laku. Melainkan mereka yang punya harapan untuk memberi andil bagi perkembangan seni rupa Indonesia, tetapi tidak mampu berpameran sendiri." Amang Rachman - kini salah seorang dari tiga presidium yang memimpin Dewan Kesenian Surabaya - ketika belum terkenal sebagai pelukis, pamerannya disponsori Decenta pada 1983. Ia pelukis surealis yang punya kekhasan, menurut Pirous, tapi memang jarang laku. Amal Decenta bukan cuma di bidang pensponsoran. Grup ini juga aktif mengadakan diskusi seni rupa, yang pengertiannya lebih luas dari hanya sekadar kanvas. Misalnya membahas rekonstruksi Candi Borobudur. Atau mengumpulkan lukisan anakanak SD di berbagai kota, kemudian mengundang guru-gurunya, lantas memperbincangkan penanganan yang tepat agar kreativitas anak benar-benar berkembang dan bukan malah macet. Awal bulan ini kegiatan Decenta malah menjamah dunia film. "Aspek kegiatan kami memang meningkatkan apresiasi seni di dalam masyarakat," kata Pirous lagi. Untuk itu, di mana uang diperoleh? Ternyata, organisasi seniman di Bandung ini punya - atau melayani - berbagai proyek, dalam urusan desain, pembuatan relief, patung, dan sebagainya. Proyek besar yang pernah mereka hasilkan di Jakarta antara lain elemen estetika Balai Sidang, gedung MPR, Kejaksaan Agung, Gedung DKI. Juga supergrafik sejarah pada anjungan Bappenas, ketika berlangsung Pameran Produksi Indonesia (PPI) tempo hari. Dan puluhan lagi, di berbagai kota, sampai-sampai desain Masjid Raya Banda Aceh. Semua ini menghasilkan uang. Mereka juga membuka kedai. Terletak di Jalan Dipati Ukur 99, Bandung, galeri ini menjual berbagai produk seni para anggota Decenta. Jika belakangan ini "amal" Decenta terasa berkurang, carilah hubungannya dengan resesi dunia. Seperti dikeluhkan Machmud Buchari yang kini direktur organisasi ini, proyek dari pemerintah sudah tak ada lagi dari swasta juga sepi. "Penjualan barang pun. semakin sulit, apalagi pajaknya naik menjadi 7,5%," ujar tokoh yang sehari-harinya fotografer itu. Tetapi lagi-lagi hal semacam itu tak kuat dijadikan dasar untuk "mundur". Dalam kaitan dengan seni lukis seperti lahan yang dijamah Decenta - masih ada kolektor tetap yang mungkin bisa disebut impresario - dalam tanda kutip. Yaitu perorangan. Alexander Papadimitriou namanya, 62, yang punya bisnis menyewakan lukisan untuk sekitar 20 kantor di Indonesia. Sewa satu lukisan berkisar antara Rp 50 ribu dan Rp 500 ribu setahun. Bisnis ini mau tak mau membuat Alex - panggilan pendeknya - setiap kali memperbarui koleksi lukisannya. Artinya, menguntungkan seniman. Dikait-kaitkan seperti itu - bahwa impresario pada dasarnya menjual produk, sebagaimana bisnis lainnya - Dewan Kesenian Jakarta sudah sejak awalnya berfungsi seperti itu. Dengan subsidi Pemda DKI, lembaga ini merangsang munculnya bentuk-bentuk kesenian baru selain membina kesenian yang sudah ada. Ialah yang boleh dikatakan menciptakan pasar tontonan yang nantinya, oleh tangan yang cekatan, bisa digarap. Umar Kayam, budayawan yang pernah sukses memimpin DKJ, melihat bahwa munculnya impresario murni, seperti yang kini menggaet Rendra, perlu diperbanyak. "Sudah saatnya impresario seperti itu dikembangkan," ujarnya. Tetapi ia tetap mengharapkan peranan Dewan Kesenian sebagai pembina - terutama yang menyiapkan seniman yang baru muncul. Jika seniman sudah berkembang, "sebaiknya dilepas untuk mencari impresario". Tapi tugas sebagai pembina itu yang justru membuat dewan-dewan kesenian di daerah - di luar Jakarta, dan yang begitu saja meniru Jakarta tanpa konsep dan biaya yang memadai - tampak menyedihkan. Tengoklah Dewan Kesenian Medan (DKM), yang kini malah bentrok dengan Taman Pusat Kesenian dan Kebudayaan (Tapian Daya) di ibu kota Sumatera Utara itu. Ketika Tapian Daya diresmikan Presiden Soeharto, 7 Agustus 1975, DKM mendukung dan mengisi kompleks mewah itu dengan berbagai program. DKM dan Badan Pengelola Tapian Daya, menurut Arif Husin Siregar, Sekretaris DKM, pada awalnya selalu mendapat subsidi yang sama besarnya. Berapa? Masing-masing Rp 5 juta setahun. Tahun 1978 benih perpecahan muncul: wewenang kedua lembaga ternyata tidak diatur secara Jelas. Kerunyaman memuncak ketika setahun kemudian, 1979, subsidi untuk Tapian Daya dihentikan, sementara untuk DKM berlipat menjadi Rp 10 juta. Maka, gedung-gedung di Tapian Daya disewakan. Sebagian untuk gedung bioskop, sebagian lagi untuk kantor BP-7 Sum-ut. Sementara itu, program DKM tidak jalan karena kesulitan gedung. Dewan Kesenian Surabaya juga bernasib miring. Berdiri 1972, dewan ini mengandalkan sumber dana hanya pada Pemda Kota Madya. "Dapatnya Rp 1 juta sebulan. Turunnya setiap triwulan," kata Sam Abede Pareno, presidium dewan. Dalam posisi keuangan seperti itu DKS praktis hanya bisa menyumbang gedung. "Kalau ada pelukis yang mau pameran, silakan. Biaya lainnya, carilah sendiri," ujar Sam. Kenapa DKS tak membantu mencarikan sponsor buat si seniman? "Kami pernah mencoba membikin ludruk dengan sponsor. Di tengah- tengah cerita, eh, disuruh menyanyikan pesan sponsor. Lha, apa bedanya DKS dengan radio?" kata Sam. Nasib sama dengan DKS adalah Dewan Kesenian Makassar (DKM). Dengan dana Rp 5 juta setahun untuk lembaga itu, yang bisa mereka berikan kepada grup kesenian yang berpentas hanyalah ruangan. Dengan itu pun perawatan kompleks masih tekor sehingga perlu sebuah gedung dikomersialkan menjadi bioskop. Kegiatan berkesenian pun sepi. Hanya, di Padang ada kegairahan justru dari macetnya program Taman Budaya. Ketika Pusat Kesenian Padang berubah nama menjadi Taman Budaya (TB) itu, dan dengan demikian langsung berada di bawah Departemen P dan K, para seniman merasakan kesumpekan akibat birokrasi - dan ramai-ramai keluar. "Kita bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan kepada P dan K," kata Wisran Hadi, pimpinan grup Bumi Teater. Kegelisahan ini cepat ditangkap Rustam Anwar, direktur Hotel Minang. Ia membuka satu sudut ruang hotelnya, berukuran 8 - 24 meter, dan grup-grup kesenian yang keluar dari TB itu ia tampung. Jumlahnya 20 grup. Pertunjukan diatur setiap Rabu malam. Setiap grup yang pentas diberi perangsang Rp 100.000, plus dibolehkan menjual undangan. Anwar menarik untung berwujud jumlah pengunjung hotel yang bertambah terus, dan dari tamu-tamu yang makan minum. Pada akhirnya, nyatalah: kesenian membutuhkan tak cuma inspirasi, seniman, dan publik. Kesenian juga membutuhkan uang - dan sejumlah orang yang bekerja diam-diam, atau setengah diam-diam, dalam soal yang memang "tidak seni". Putu Setia, Laporan Moebanoe Moera, Gatot Tryanto (Jakarta), dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus