SEHARI-HARI jadwal kerjanya tetap. Menjelang fajar menuju ladang
sagu sebelum matahari tegak lurus dengan kepalanya ia ke
kandang babi ketika matahari mulai condong ke barat, ia
membersihkan kandang ayam. Itulah kegiatan Koinok, Kepala Suku
Sabulat, yang tinggal di sebuah gubuk berdinding kulit kayu,
beratap rumbia, di pinggir Muara Siberut, ibukota Kecamatan
Siberut Selatan.
Pulau Siberut di tengah gugusan Kepulauan Mentawai itu terletak
di Samudra Indonesia. Jaraknya dari Pantai Padang sekitar
100-120 mil laut dan kepulauan ini masuk wilayah Kabupaten
Padang Pariaman (Sum-Bar). Sepuluh hari sekali kapal perintis
Babut singgah di Muara Siberut membawa sekitar 80 penumpang
termasuk para pedagang dari Padang.
Dengan para pedagang itu Koinok dan penduduk Siberut lainnya
menukar rotan dengan tembakau atau roti. Tapi pergaulan seperti
itu tak mengubah kebiasaan mereka. Ada di antaranya yang masih
suka mengenakan kabit, pakaian minim, meski terbatas hanya kalau
ke ladang saja.
Bahkan, meskipun sudah memeluk agama Islam atau Kristen, masih
banyak yang melakukan upacara menurut kepercayaan nenek-moyang,
yang disebut Si Sakerei atau Sabalungan. Koinok sendiri
misalnya, meskipun sudah memeluk agama Protestan, sesekali dan
diam-diam, masih suka menyembah batu.
Pulau Siberut yang luasnya 400 ha lebih dihuni sekitar 19 ribu
jiwa. Terdiri atas dua kecamatan, Siberut Selatan dan Siberut
Utara, perkampungan terletak terpencar-pencar. Satu-satunya alat
penghubung hanya perahu atau kapal motor.
Tidak semua perkampungan mudah dicapai. Karena masih banyak
penduduk tinggal di tengah hutan perawan. Dari 10 kampung di
Siberut Selatan, misalnya, hanya enam yang bisa dicapai dari
Muara Siberut. Sisanya harus ditempuh selama tiga hari lewat
sungai.
Kampung Silaonan termasuk yang terpencil. Di sana tinggal 30-an
jiwa suku Sakudai yang masih bertahan dalam kehidupan zaman
batu. Mereka sudah "dibina", juga diberi alat-alat rumahtangga.
Tapi begitu petugas pulang, mereka kembali menggunakan alat-alat
dari kayu atau batu.
Siberut tak punya gunung, kecuali perbukitan kecil (paling
tinggi 334 meter dari permukaan laut) dan lebat ditumbuhi hutan.
Potensi kayunya tinggi: rata-rata menghasilkan 85 meter kubik
setiap hektar (dibandingkan dengan hutan Jambi yang hanya 79
meter kubik/ha).
Tapi, areal hutan yang meliputi duapertiga dari seluruh luas
pulau itu, ternyata bukan lagi milik penduduk asli. Harta karun
emas hijau itu sudah dimiliki empat pemegang HPH: PT Jaya
Sum-Bar Indah, PT Cirebon Agung, PT Kayu Siberut dan PT CPPS.
Meskipun sebagian terbesar produksi kayu Sum-Bar digaruk dari
Siberut, penduduk asli tidak kebagian rezeki. Sebab buruh-buruh
perkayuan didatangkan dari Sum-Bar belaka. Sampai-sampai "saya
sendiri sekarang tidak berani mencari kayu untuk membikin
perahu," ucap Koinok.
Usaha memukimkan penduduk asli bukan tak ada. Dilakukan sejak
1977, setiap tahun dimukimkan 100 kk. Dilatih bercocok-tanam,
mereka juga menerima bantuan macam-macam. Tapi akibatnya tidak
sedikit yang malas -- terbiasa menunggu bantuan melulu.
Kebiasaan mereka juga sulit berubah. Ada kakus, tapi lebih suka
melepas hajat di sungai, sementara perkampungan baru itu penuh
dengan kotoran babi. Padahal, menurut Ketua Otorita Proyek
Khusus Kepulauan Mentawai, B. Burhanuddin, pemukiman itu tidak
dilakukan dengan paksa.
Prihatin terhadap nasib orang-orang Siberut, minggu depan sebuah
simposium akan dilangsungkan di Universitas Andalas (Padang).
Sponsornya Survival International, badan amal yang berupaya
memelihara kelangsungan hidup suku terasing dan World Wildlife
Fund, yang mempertahankan kelangsungan hidup satwa liar. Tak
kurang dari Prof. Kuntjaraningrat, Prof. Dr. Ir. Oto Soemarwoto
dan Dr. Mochtar Naim akan hadir dalam simposium tersebut.
Survival International sendiri di Siberut menyelenggarakan
peternakan sederhana untuk melatih penduduk asli.
Sedang yang nampaknya paling dirisaukan WWF ialah bakal punahnya
empat jenis monyet Siberut: siamang kerdil, beruk, lutung dan
simpai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini