Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Upaya mengubah Siberut

Penghidupan penduduk di pulau siberut. meski mereka sudah memeluk agama kristen atau islam tapi masih juga menyembah batu. nasib mereka akan disimposiumkan universitas andalas, padang. (dh)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI-HARI jadwal kerjanya tetap. Menjelang fajar menuju ladang sagu sebelum matahari tegak lurus dengan kepalanya ia ke kandang babi ketika matahari mulai condong ke barat, ia membersihkan kandang ayam. Itulah kegiatan Koinok, Kepala Suku Sabulat, yang tinggal di sebuah gubuk berdinding kulit kayu, beratap rumbia, di pinggir Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan. Pulau Siberut di tengah gugusan Kepulauan Mentawai itu terletak di Samudra Indonesia. Jaraknya dari Pantai Padang sekitar 100-120 mil laut dan kepulauan ini masuk wilayah Kabupaten Padang Pariaman (Sum-Bar). Sepuluh hari sekali kapal perintis Babut singgah di Muara Siberut membawa sekitar 80 penumpang termasuk para pedagang dari Padang. Dengan para pedagang itu Koinok dan penduduk Siberut lainnya menukar rotan dengan tembakau atau roti. Tapi pergaulan seperti itu tak mengubah kebiasaan mereka. Ada di antaranya yang masih suka mengenakan kabit, pakaian minim, meski terbatas hanya kalau ke ladang saja. Bahkan, meskipun sudah memeluk agama Islam atau Kristen, masih banyak yang melakukan upacara menurut kepercayaan nenek-moyang, yang disebut Si Sakerei atau Sabalungan. Koinok sendiri misalnya, meskipun sudah memeluk agama Protestan, sesekali dan diam-diam, masih suka menyembah batu. Pulau Siberut yang luasnya 400 ha lebih dihuni sekitar 19 ribu jiwa. Terdiri atas dua kecamatan, Siberut Selatan dan Siberut Utara, perkampungan terletak terpencar-pencar. Satu-satunya alat penghubung hanya perahu atau kapal motor. Tidak semua perkampungan mudah dicapai. Karena masih banyak penduduk tinggal di tengah hutan perawan. Dari 10 kampung di Siberut Selatan, misalnya, hanya enam yang bisa dicapai dari Muara Siberut. Sisanya harus ditempuh selama tiga hari lewat sungai. Kampung Silaonan termasuk yang terpencil. Di sana tinggal 30-an jiwa suku Sakudai yang masih bertahan dalam kehidupan zaman batu. Mereka sudah "dibina", juga diberi alat-alat rumahtangga. Tapi begitu petugas pulang, mereka kembali menggunakan alat-alat dari kayu atau batu. Siberut tak punya gunung, kecuali perbukitan kecil (paling tinggi 334 meter dari permukaan laut) dan lebat ditumbuhi hutan. Potensi kayunya tinggi: rata-rata menghasilkan 85 meter kubik setiap hektar (dibandingkan dengan hutan Jambi yang hanya 79 meter kubik/ha). Tapi, areal hutan yang meliputi duapertiga dari seluruh luas pulau itu, ternyata bukan lagi milik penduduk asli. Harta karun emas hijau itu sudah dimiliki empat pemegang HPH: PT Jaya Sum-Bar Indah, PT Cirebon Agung, PT Kayu Siberut dan PT CPPS. Meskipun sebagian terbesar produksi kayu Sum-Bar digaruk dari Siberut, penduduk asli tidak kebagian rezeki. Sebab buruh-buruh perkayuan didatangkan dari Sum-Bar belaka. Sampai-sampai "saya sendiri sekarang tidak berani mencari kayu untuk membikin perahu," ucap Koinok. Usaha memukimkan penduduk asli bukan tak ada. Dilakukan sejak 1977, setiap tahun dimukimkan 100 kk. Dilatih bercocok-tanam, mereka juga menerima bantuan macam-macam. Tapi akibatnya tidak sedikit yang malas -- terbiasa menunggu bantuan melulu. Kebiasaan mereka juga sulit berubah. Ada kakus, tapi lebih suka melepas hajat di sungai, sementara perkampungan baru itu penuh dengan kotoran babi. Padahal, menurut Ketua Otorita Proyek Khusus Kepulauan Mentawai, B. Burhanuddin, pemukiman itu tidak dilakukan dengan paksa. Prihatin terhadap nasib orang-orang Siberut, minggu depan sebuah simposium akan dilangsungkan di Universitas Andalas (Padang). Sponsornya Survival International, badan amal yang berupaya memelihara kelangsungan hidup suku terasing dan World Wildlife Fund, yang mempertahankan kelangsungan hidup satwa liar. Tak kurang dari Prof. Kuntjaraningrat, Prof. Dr. Ir. Oto Soemarwoto dan Dr. Mochtar Naim akan hadir dalam simposium tersebut. Survival International sendiri di Siberut menyelenggarakan peternakan sederhana untuk melatih penduduk asli. Sedang yang nampaknya paling dirisaukan WWF ialah bakal punahnya empat jenis monyet Siberut: siamang kerdil, beruk, lutung dan simpai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus