Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hady Sucasah sibuk menggoreng kacang di rumahnya di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Aktivis Perhimpunan Jiwa Sehat, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk penderita skizofrenia, ini tiap hari menggoreng 20 kilogram kacang untuk dijual. Rasanya renyah. Apa resepnya? ”Rahasia, dong,” kata lelaki 28 tahun ini. ”Saya bertekad mengembangkan usaha ini,” ujar anak bungsu yang memiliki sembilan kakak itu.
Sabtu dua pekan lalu, Hady bersama 300 orang lainnya merayakan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Mereka berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, membagikan selebaran informasi tentang penyakit skizofrenia. Hady membawa poster bertulisan ”Schizo and Proud”.
Hady tampak normal, walau dia penderita skizofrenia, penyakit gangguan pada fungsi otak—orang sering menyebutnya gila. ”Saya masih minum obat sampai sekarang, tapi dosisnya hanya 0,5 miligram, sekali sehari,” ujarnya. Fungsi obat itu intinya menyeimbangkan zat-zat dalam otaknya.
Serangan pertama terjadi pada pertengahan 2005. Ketika itu sarjana manajemen informatika sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta ini tengah bekerja di sebuah kafe. ”Tiba-tiba saya merasa semua orang seperti setan, mau menerkam saya,” kisahnya. Hady disangka kesurupan, hingga didatangkan ”orang pintar”. Lalu Hady dipulangkan ke rumah. ”Di rumah masih teriak-teriak, saya merasa rumah mau makan saya,” katanya.
Untung saja, keluarganya paham. Hady dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, dan didiagnosis menderita gangguan kejiwaan. Karena tetap ”ganas”, Hady dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dia sempat disuntik agar tenang. Namun bangunan rumah sakit tetap menyeramkan bagi Hady. Dia pun pindah lagi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Setelah dirawat empat hari, penyakitnya mereda. ”Karena tempatnya lebih nyaman, ada taman, enggak melulu di ruangan,” katanya.
Enam bulan dirawat di rumah, minum obat sesuai dengan aturan, Hady pun normal. Cita-citanya menjadi penyiar radio memang kandas, tapi dia masih bisa menjual kacang goreng. Hady juga berencana mengelola isi situs Perhimpunan Jiwa Sehat.
Hady patut diacungi jempol karena dia berani terbuka. Sebab, jauh lebih banyak penderita skizofrenia yang tertutup, bahkan menolak menceritakan kisah mereka.
Romeo—bukan nama sebenarnya—bersedia bercerita, meski tidak membuka identitasnya. Sarjana antropologi perguruan tinggi negeri ternama di Depok ini dua kali jatuh dihajar skizofrenia. Pertama pada 2006, ketika Romeo ditinggalkan pacar. ”Seolah-olah semua orang berkonspirasi akan membunuh saya,” ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Keluarganya menganggap Romeo terkena guna-guna. Baru tiga bulan kemudian dia dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi, Bogor. Enam bulan dirawat di rumah sakit, Romeo kembali menekuni pekerjaannya semula: pembuat film dokumenter.
Skizofrenia kembali menyerang saat bulan puasa 2008, ketika Romeo mengedit film dokumenternya. ”Sakit kepala di bagian belakang, di dalam kepala seperti ada cairan beku yang mencair,” katanya. Dia merasa dikejar-kejar, akan dibunuh kapitalis pengusaha bibit padi—karena video dokumenternya bercerita tentang petani yang membuat bibit padi sendiri.
Sampai saat ini Romeo masih dibantu obat agar bisa lebih tenang. Tapi penyelia kompetisi film dokumenter Eagle Award ini tetap berkarya, bahkan saat kondisinya turun. Awal November mendatang film dokumenternya akan ditayangkan di Goethe-Institut, Jakarta. ”Yang sekarang saya lawan adalah kemalasan yang amat sangat,” katanya.
Hady dan Romeo hanya segelintir dari sejuta orang Indonesia yang diperkirakan menderita skizofrenia. Menurut dokter ahli jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Irmansyah, lebih dari 60 persen penyakit skizofrenia menyerang orang usia produktif.
Mengapa? Sebab, pada usia tersebut otak sedang berkembang optimal. Pada saat bersamaan terjadi perkembangan dahsyat dalam banyak hal: hormonal, lingkungan, tuntutan hidup, peran dalam masyarakat, dan sebagainya. Nah, jika ada sel tertentu di otak yang mandek, tidak berkembang seperti seharusnya, terjadilah masalah itu. ”Pada saat dia tak mampu, full blown, muncullah masalah itu,” kata Irmansyah. ”Jika segera ditangani, penderita bisa kembali menjadi produktif.”
Umumnya, gejala skizofrenia didahului dengan perubahan perilaku. Dari aktivitas sosial terganggu; penurunan mutu kegiatan; perilaku mengurung diri, mudah marah, curiga terhadap orang lain, merasa diomongin orang, mulai percaya teori konspirasi; sampai munculnya halusinasi yang bisa berakibat lebih jauh, seperti ingin membunuh orang atau bunuh diri. Semua itu, menurut Irmansyah, berasal dari otak. ”Ada sesuatu di otak yang tidak imbang, biasanya pada level neurotransmiter, level zat kimia di otak, macam-macamlah, sangat kompleks,” dia menjelaskan.
Nah, obat-obatan berfungsi mengembalikan keseimbangan. Namun penanganan di sini sering kali terlambat, karena penderita skizofrenia sering dianggap kena guna-guna, sehingga baru bisa sembuh rata-rata dalam dua tahun. ”Idealnya dua minggu sembuh, semakin cepat mendapat pengobatan semakin bagus,” katanya.
Kalau terlalu lama dibiarkan, khawatir terjadi autotoksin, yaitu kemunculan racun di otak yang memperburuk keadaan penderita. Hal itu harus dihindari.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo