Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hikayat Musik yang Bikin Melayang

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irama musik itu serupa dan berulang. Tung... tung... tung.... Terus-menerus berdentam musik di lantai dansa hingga mengocok sukma dan membikin jiwa-raga melayang-layang (trance). Pada dasarnya, inilah inti sari kegiatan clubbing. Ibarat nyala api yang kian panas, musik ini membakar semangat para clubber untuk melebur bersama dalam goyangan dan liukan tubuh. Tak ada lagi bentuk, nama, masalah. Yang ada semata-mata sukacita. Dan ekstase.

Sejak dulu, musik dan tari memang telah menjadi medium raga mencapai ekstase, seperti musik-musik tradisional yang mengandalkan suara ritmis ketipung atau kendang di Afrika. Bahkan, bagi kaum sufi di Turki, musik dan tari adalah jalan menggapai Tuhan. Musik-musik modern, seperti rock atau reggae, juga punya cara sendiri mengantar penikmatnya menuju puncak kepuasan raga. Tapi pendongkrak clubbing paling jitu adalah musik joget yang bertitel house music, yang mampu mengantarkan penikmatnya ke dalam suasana melayang, trance.

Kunci rahasia trance dalam house music "ditemukan" oleh dua pemusik Jerman—yang menamai diri Kraftwerk—pada 1968. Ralf Hutter dan Florian Schneider Esleben mengeksplorasi suara dan bunyi—terutama suara drum—dari alat musik elektronik atau synthesizer berlabel Minimoog. Terobosan Kraftwerk ini berhasil dan menjadi cikal-bakal musik dansa. Lewat metode teknopop, trance bisa dimassalkan.

Kraftwerk kemudian menjadi fenomenal lewat albumnya Autobahn (1975) dan Trans-Europe Express (1977). "Kami menciptakan trance dengan cara pengulangan bunyi," kata Ralf Hutter dalam bukunya Kraftwerk: Man, Machine and Music (1991). Eksperimen Kraftwerk ini diteruskan oleh seniman musik di Amerika. Dua yang terkenal adalah kelompok Detroit Techno dan Phuture dari Chicago.

Beranggotakan empat pria kulit hitam, Carl Craig, Kevin Saunderson, Derrick May, dan Juan Atkins, Detroit Techno mengembangkan lebih jauh elektromusik. Mereka membuat adonan baru musik Kraftwerk dengan rock, disko, dan future funk, yang khas di kalangan kulit hitam Amerika. Musik mereka kemudian dikenal dengan sebutan tekno. Sedangkan Phuture, yang dilahirkan oleh seorang joki disko, mengembangkan musik acid house. Album mereka yang terkenal berjudul Acid Trax.

Nun di Kota Detroit, anak-anak muda meramu musik dan dansa dalam pesta-pesta. Gaya hidup ini muncul sebagai karakter khas Kota Detroit, yang hidup dari industri mobil Ford. Di kota itu, kaum kulit hitam memiliki kesejahteraan yang setara dengan kaum kulit putih dan melahirkan para "borjuis" hitam yang gemar menggelar pesta.

Musik dansa Detroit populer dengan sebutan house music setelah seorang joki disko radio lokal di Detroit bernama Charles Johnson—dijuluki The Electrifyin' Mojo—berhasil mempopulerkan musik dansa baru, campuran musik dansa Eropa dengan new wave Amerika dan funk pada akhir 1970-an. Versi lain menyebut istilah house music diberikan oleh para clubber gay yang menyukai musik-musik yang diramu Frankie Knuckles, joki disko tetap dari Klub Warehouse di New York. Populer dari tahun 1977 sampai 1982, musik Frankie Knuckles adalah paduan antara disko, funk, dan soul.

Dari Amerika, gaya hidup ini bergerak kembali ke daratan Eropa. Kaum gay, terutama di Inggris, memasukkan musik ini ke dalam klub-klub eksklusif. Semboyan mereka yang terkenal adalah "Saturday Night Forever!" Pada era 1980-an, gerakan pembebasan gay tengah marak, yang antara lain ditandai oleh menyuburnya klub gay.

Motor gerakan ini antara lain sejarawan dan filsuf kondang asal Prancis, Michel Foucault. Bagi kaum gay, clubbing menjadi sebuah pelepasan, gaya hidup, bahkan "agama". Tak hanya itu, mereka menjadikan clubbing, dengan techno music, sebagai gerakan sosial antidiskriminasi, antiras, dan antigender. Kala itu pendominasi musik disko dan tekno memang para gay, seperti Sylvester, Giorgio Moroder, dan Patrick Cowley. Tren ini ternyata menular ke klub-klub hiburan di Eropa dan Amerika.

Fenomena clubbing, disukai atau tidak, kian berkembang setelah ekstasi menggeser alkohol sebagai "pemancing" joget di pesta-pesta larut malam dengan suara musik keras. Para pecandu joget menjadi makin cepat "teler" setelah digoyang oleh irama house music. Zat amfetamin dalam ekstasi ditimpa suara "tung... tung... tung..." yang ajek seperti melemparkan para pejoget ke puncak ekstase.

Ditambah kemahiran joki disko mencampur musik, para pengunjung klub-klub ini mampu bertahan lebih lama di "puncak"—sebuah fenomena yang kini bisa disaksikan di berbagai kota besar Indonesia.

Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus