Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETUSAN senapan dan jeritan kesakitan di Tanjung Priok, pada 12 September 19 tahun silam, seolah terdengar lagi. Paling tidak, rintihan itu akan terngiang di telinga para saksi dan terdakwa. Soalnya, adegan dan pemeran peristiwa yang menewaskan 23 warga sipil ini bakal sering diungkap di pengadilan.
Mereka yang menjadi terdakwa antara lain Kapten Artileri Sutrisno Mascung (bekas komandan regu), Mayjen Sriyanto (bekas Kepala Seksi 2 Kodim Jakarta Utara), Mayjen Purn. Pranowo (bekas Komandan Polisi Militer Kodam Jaya), dan Mayjen Purn. Rudolf Butar Butar (bekas Komandan Kodim Jakarta Utara). Inilah pengakuan mereka seperti yang dituangkan dalam berkas pemeriksaan yang dibuat oleh Tim Penyelidik Kasus Tanjung Priok bentukan Komite Nasional Hak Asasi Manusia.
Mayjen Sriyanto (kini Danjen Kopassus)
Pada saat kejadian, dia menjabat Kepala Seksi 2 Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara, berpangkat kapten. Sriyanto mengaku mendapat telepon dari Amir Biki, tokoh masyarakat yang akan memimpin demonstrasi, untuk membebaskan empat kawannya yang ditahan oleh aparat. Amir bilang, ia akan bergerak jika kawannya tidak dibebaskan. Karena tuntutan ini tak dipenuhi pada hari itu, 12 September 1984, demonstrasi terjadi. Kapten Sriyanto lalu membawa pasukan dengan mengendarai truk untuk menghadang mereka.
Dalam berkas pemeriksaan, Sriyanto mengaku telah mengingatkan tentang prosedur standar untuk menghadapi massa, yakni didahului dengan tiga kali tembakan peringatan. Yang terjadi, kata Danjen Kopassus ini, saat itu massa nekat. Pasukannya tak terkendali, lalu menembaki massa. Tiga puluh orang diakui Sriyanto roboh dan mereka dinaikkan ke truk tronton yang dibawanya tadi.
Mayjen (Purn.) Pranowo
Dia menjabat Komandan Polisi Militer Kodam Jaya, yang menahan 43 orang sipil dalam kasus Tanjung Priok. Dia dituduh terlibat karena menerima para tahanan sipil yang seharusnya ditahan di kepolisian. Ketika itu mereka dimasukkan ke dalam sel Rumah Tahanan Militer Cimanggis. "Kami hanya menerima mereka sebagai tahanan titipan," ujar Pranowo. Menurut dia, saat itu hal tersebut tidak melanggar hukum.
Mayjen (Purn.) Rudolf Butar Butar
Sebagai Komandan Kodim Jakarta Utara saat itu, Rudolf mengaku memerintahkan seorang Babinsa untuk mencopot pamflet yang menjelekkan Orde Baru di sebuah musala di Tanjung Priok. Inilah yang mengundang amarah warga dan menyulut konflik, apalagi kawannya ditahan gara-gara dituduh mengeroyok aparat tersebut.
Saat pasukan massa dibubarkan lewat tembakan, Rudolf berada di markas Kodim. Dia mengaku tak memberikan perintah tembak. "Saat itu pasukan membela diri," ujarnya. Rudolf mengaku melakukan pemakaman korban di Tipar Cakung, Jakarta Utara.
Kapten Sutrisno Mascung
Saat itu Sutrisno menjadi Kepala Regu III Yon Arhanudse-06 berpangkat sersan. Dengan anak buahnya, ia mendapat perintah mengamankan massa yang dipimpin Amir Biki. Sutrisno mengaku senjata yang mereka bawa berisi peluru tajam. Pada saat keributan, seorang anak buahnya melepaskan tembakan. Keadaan menjadi tidak terkendali. Puluhan orang roboh seketika akibat rentetan tembakan dari pasukannya. Tapi, "Saat itu saya tidak memerintahkan penembakan langsung," katanya.
Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo