Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA orang pria muda berebut naik ke panggung kecil. Sejurus, mereka lantas mengangkat kedua tangan. Terdengar teriakan kecil, namun tertelan suara riuh musik. Mereka lalu bergoyang dengan kencang, mengikuti irama musik house beraliran progresif. Puluhan orang di bawahnya ikut larut berjoget, ditimpali warna-warni permainan sinar laser yang berkedip cepat.
Suasana klub CO2 betul-betul penuh sesak Jumat malam pekan lalu. Klub musik Embassy, yang masih satu gedung di Taman Ria Senayan, juga "panas" oleh goyangan clubber. Padahal, malam itu, klub-klub musik di Jakarta tengah "bertempur" sengit. Klub musik Stadium di daerah Kota, Jakarta Barat, menampilkan disc jockey (DJ) kelas dunia dari Australia, Anthony Pappa. Begitu juga klub musik Retro di Hotel Crowne Plaza, Jalan Gatot Subroto, yang menampilkan dua joki disko top lokal. Klub-klub musik seperti tak kekurangan tamu.
Clubbing atau pergi ke klub kini melanda kalangan menengah di Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Mulanya berjalan lambat, tapi dalam tiga tahun terakhir melejit cepat. Hal ini ditandai dengan berdirinya banyak klub baru. Juga penyelenggaraan pesta, mulai dari rave party yang hanya terdiri atas puluhan orang sampai festival musik di tepi pantai Ancol yang melibatkan ribuan orang. Jumlah klub musik di Jakarta kini hampir mencapai 30 buah.
Gaya hidup clubbing didorong oleh makin populernya house music sebagai pengganti disko. Musik tekno yang berentakan di atas 120 beat per menit (bpm) itu masuk tak sengaja pada awal 1990-an, dibawa secara iseng oleh Tjong Siauw Lung atau yang sering dipanggil Alung, seorang pedagang piringan hitam. Pria 39 tahun ini memang dikenal sebagai pemasok pelat musik itu ke joki disko lokal dan berbagai diskotek.
Suatu hari, menurut ceritanya, Alung pergi ke Singapura. Oleh rekan bisnisnya ia diajak mengunjungi Zouk Club, sebuah tempat hiburan ternama di Negeri Singa. Saat itu disetel house music. Alung tertarik. "Saya tak pernah tahu musik itu," ia mengaku. Singkat cerita, ia pun membawanya ke Indonesia.
Alung memperkenalkan musik itu kepada pelanggannya. Hanya beberapa orang joki disko yang tertarik, di antaranya Anton Wirjono dan Naro. Dua nama ini belakangan menjadi DJ papan atas di genre musik itu. Beberapa diskotek mencoba memutar musik ini. Terminal One dan Atlanta di Jakarta Barat termasuk di antaranya. M-Club di Jakarta Selatan dan Music Room di Hotel Borobudur masih sepi.
Pada 1995, perkembangan clubbing masih terasa lambat. Walau begitu, musik house sudah banyak diterima. DJ Anton, misalnya, mulai memiliki program khusus tiap Sabtu malam di Diskotek Parkit di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Program bertajuk Future itu diisi musik house. Belakangan nama acara itu dipakai sebagai "bendera" kreatif Anton. Ia menamakan kelompoknya Futurevolutions.
Sedikit perkembangan terjadi pada 1996, ketika pil ekstasi atau inex mulai masuk ke Indonesia. Pil yang bisa mendorong euforia itu hanya klop dikonsumsi dengan iringan musik house. Fenomena ini mendorong makin banyak orang mendatangi diskotek, untuk mendengarkan musik house. Istilah neken, tripping, atau lagi on mulai muncul. Menurut Rani Hamid, 27 tahun, seorang clubber berpengalaman, penggunaan inex mampu menstimulasi seseorang menyatu dengan musik house. "Jika itu terjadi, yang ada hanya diri sendiri dan musik," katanya.
Perkembangan yang agak berbeda terjadi pada 1997, ketika Bengkel Kafe Jakarta mengundang Ministry of Sounds dari Inggris. Penampilan kelompok DJ kondang ini membalik anggapan orang tentang musik house. Musik yang semula hanya dianggap pasangan tripping ini ternyata sebuah musik joget yang luar biasa. "Hampir delapan ribu orang melihat pertunjukan Ministry of Sounds," Alung mengenang. Bersama Anton, saat itu Alung memang bahu-membahu mendatangkan grup itu.
Selanjutnya tren house music seakan tak terbendung. Pada Agustus 1999 sebuah radio khusus house music, Indika FM, berdiri di Jakarta. Setahun kemudian didirikanlah wadah bernama ClubHoppers. "Kegiatan utama club antara lain menyebarkan agenda-agenda acara yang menarik dan baik pada para clubber," tutur Lexy Sahertian, 29 tahun, seorang pengurus ClubHoppers. Bulan Juli 2002 klub musik Embassy berdiri. Setahun sebelumnya Retro berdiri.
Karena sejarah kehadirannya yang khas, di mata penggemar joget Jakarta peta klub hiburan jadi terbelah dua. Perbedaan ini mulai terlihat sekitar 1996, ketika gerakan rave partyistilah untuk pesta dengan sedikit pesertadari penggemar house music dan para DJ lokal terjadi. Ketika itulah mulai ada perbedaan "selera" antara tempat hiburan di daerah Kota, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan.
Di Kota, musik house yang diputar adalah musik "kacangan". Sebab, banyak tempat hiburan di daerah itu yang me-remix lagu-lagu Mandarin, dangdut, dan pop Indonesia secara asal-asalan. Daerah Selatan, sebaliknya, adalah pengusung musik house murni. "Apa pun jenis musiknya, beat-nya dibuat mirip dangdut," kata Riri Rachman, 29 tahun, atau kondang dipanggil DJ Riri. Perbedaan lain, klub hiburan di Kota sarat karakter red district, yang penuh dengan pelacur dan obat. Di Selatan relatif lebih bersih.
Menurut Riri, jika tanpa obat, tugas joki diskolah untuk membuat clubbing dengan musik house tetap nikmat. "Ya, kita harus membuat mereka joget apa adanya," kata Riri. Rahasianya lebih terletak pada kepiawaian para DJ dalam meramu musik. Berbeda dengan disko atau hiphop, misalnya, keterampilan creative mixing para DJ dalam house music tak terlalu berperan. Teknik scratching alias menggesek-gesek piringan hitam tak terlalu diperlukan. "Yang dibutuhkan adalah kemampuan menggerakkan orang untuk berjoget," kata DJ Anton. Karena itu, pengetahuan tentang lagu amat berperan.
Umat clubbing yang terus bertambah tak berarti clubber sejati ada di sini. Para clubber lokal ternyata lebih berkembang sebagai penikmat musik joget dan hiburan. Meski ada juga yang nge-drug. Ada tiga hal yang menjadi magnet para clubber, yakni tempat hiburan, DJ, dan klub. Klub pun sebenarnya hanya berisi para DJ fans. Ikatannya sangat cair. Bisa saja anggota satu klub "terbang" ke klub lain. "Clubber kita tidak bisa diajak aneh-aneh," kata Hartoyo, 28 tahun, Marketing Manager Embassy.
Pesta-pesta house dengan code dress, misalnya, hampir tak pernah berhasil. Aspek hiburan lebih menonjol. Karena itu, Embassy masih harus meramu acaranya dengan mengundang grup tari, musik, bahkan fashion show. Embassy sendiri hanya buka tiga hari dalam seminggu. "Pernah kita buka lain hari, ternyata sepi," Hartoyo menjelaskan. Waktu itu lantai dansa berkapasitas 2.500 orang hanya terisi ratusan orang. Pada hari buka, yang dimulai pukul 10 malam hingga pukul 3 pagi, sebagian clubber kerap melanjutkan mood ke klub Stadium di Kota, yang buka sampai pukul 5 pagi.
Bagi para DJ, clubber lokal tergolong pemalu. "Mereka harus dipancing dulu," kata Riri. Kiatnya, antara lain, seorang joki disko harus memutar lagu-lagu house yang ringan dan sudah dikenal. Berbeda dengan clubber di luar negeri yang akan langsung bereaksi begitu mendengar musik. "Clubber kita juga tidak bisa 'diayun'," ujar Riri, yang menjadi satu-satunya joki disko Indonesia yang pernah tampil dalam acara Zouk Out di Singapura. Maksudnya, bagi joki disko sulit membuat irama dalam pengaturan lagu. Beat harus terus dinaikkan. "Sekali kenceng harus terus kenceng."
Rani Hamid mengakui bahwa kebanyakan clubber datang ke klub karena tren. Mereka sebenarnya bukan fans fanatik DJ atau klub. Hanya sedikit dari mereka itu yang betul-betul gila DJ atau klub. Ini dilihat dari jarangnya clubber datang sendiri ke klub. "Saya sendiri clubbing lebih karena keinginan mencari relasi," kata karyawan perusahaan kosmetik ini. Hal yang sama ternyata juga menjadi alasan Adi Laksono, 32 tahun, seorang pengusaha properti dan interior. "Saya malah banyak dapat order dari relasi clubbing," ujarnya. Lewat clubbing, ia bisa bertemu dengan banyak relasi baru dari berbagai profesi. "Kalau malam saja kan mereka clubbing. Siangnya kan mereka waras," katanya sambil tertawa.
Hanya clubber yang lebih muda masih bersemangat datang karena musik dan DJ, selain mencari hiburan. Umumnya mereka punya gang yang diberi nama berbau musik. Misalnya Guntur, 19 tahun, mahasiswa Universitas Pelita Harapan, yang punya gang bernama Tune Industries. Senior-seniornya di kampus juga punya gang serupa. Namanya beraneka jenis. Ada Echosystem, Inflight. Mereka pun punya idola joki disko lokal masing-masing. "Ya, karena musiknya enak aja," kata Guntur. Ia sendiri menyukai DJ Naro, seorang DJ top lokal yang berlabel Original Naro.
Selain di Jakarta, clubbing juga sudah menyebar ke Bandung. Namun, berbeda dengan di Jakarta, klub di Bandung lebih menghargai musik ketimbang gaya hidup. Mereka pernah menggelar rave party di sebuah lorong kampus Institut Teknologi Bandung, juga di sebuah hanggar PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN). Tapi ada juga sebab lain: klub di Bandung belum sebanyak di Jakarta.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo