Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stella Siahaya dilahirkan dua tahun silam. Dari balik bedungan kain lampin ibunya, bayi itu menatap dunia dari bawah tenda-tenda pengungsian di Halong, sebuah pangkalan Angkatan Laut di Ambon. Stella mungkin tak tahu bahwa "keluarga besar" yang dia kenal di Halong bukanlah sebuah kelaziman. Dan bahwa hanya empat kilometer dari sana, di kawasan Hative Kecil, tegak sebuah rumah batu tempat dia seharusnya dilahirkan.
Tapi Stella tak dipersemaikan di rumah itu. Benih kecil itu tumbuh di perut ibunya dalam "pelarian". Bersama ribuan warga, kedua orang tuanya meloloskan diri dari Ambon saat kota itu hangus oleh api dan kemarahan tatkala pertikaian etnis dan agama meledak di kota itu pada 1 Maret 1999.
Banjir darah dan lolong tangis yang memedihkan hati mengiringi kematian 160 orang lebih. Ada 220 orang luka-luka, ribuan rumah rata dengan tanah.
Stella tak akan pernah melihat "Amboina yang manis"begitulah Majoor Gouverneur der Molukkos, De Kock, menyebut kota itu di awal abad ke-19setelah Ambon lebur dalam kawah perseteruan yang mendidih sepanjang tahun 1999.
Pada Agustus silam, untuk pertama kalinya Welly Siahaya, neneknya, membawa Stella ke Hative Kecil untuk membersihkan puing-puing rumah yang muram dan berdebu. Di jalanan kota, lewat bola matanya, Stella merekam aneka panorama baru dalam hidupnya yang belia. Berlainan dari Halong yang suram, dia melihat jalanan riuh oleh juntaian umbai-umbai merah-putih. Seratus lebih mobil berparade di jalan-jalan utama. Di kota-kota kecamatan, orang berdansa karteji diiringi gendang, gitar, dan seruling serta menarikan poco-poco. Anak-anak muslim dan Kristen bersama-sama mengejar bola di lapangan desa. Keriangan meruap di atas langit, dan Ambon tiba-tiba kembali ke "masa yang dulu".
Para mahasiswa beriringan menuju kampus yang gundul tanpa atap. Delapan ratus kelompok gerak jalan berdefile ditonton oleh segenap warga, tua-muda, Ambon-Makassar, Islam-Kristen. Apakah tragedi yang melintas pada 1999 telah melesak pergi ke masa silam? Ataukah ini cuma euforia perayaan 17 Agustus dan Pesta Hari Jadi Kota Ambon ke-428 yang jatuh pada 7 September 2003?
Tertatih-tatih, Stella menapaki tangga rumah yang hancur. Gadis kecil ini boleh jadi tak pernah tahu mengapa perlu waktu empat tahun dari Halong ke Hative untuk menjejaki rumah batu itu. Stella tak mengenal Khalid Turuy, satu anak muda Ambon yang pernah dilanda pertanyaan yang sama. Khalid bahkan terperangah ketika pada hari-hari itu dia menyaksikan manusia tumpah-ruah keluar rumah untuk menonton perayaan.
Tanpa rasa takut, tanpa menanyakan agama dan suku, mereka berbaur, meraup setiap inci kegembiraan. Dan Khalid menggumam: "Orang bilang mungkin perlu 10 tahun sampai Ambon bisa normal lagi." Dia kembali menatap kerumuman manusia itu, lalu melanjutkan dengan wajah bahagia: "Perdamaian cepat pulih karena orang bilang akar masalahnya tidak di sini. Tidak di Ambon. Tidak di Maluku."
Tantyo Bangun dan Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo