Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN membekap Satuan Tugas Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Rabu pekan lalu. Bertumpuk-tumpuk berkas pemeriksaan disiapkan bersama segepok bukti. Di sebuah ruang di kantor Kejaksaan Agung, tim yang dipimpin oleh B.R. Pangaribuan ini dengan cermat menyiapkan dakwaan perkara Tanjung Priok. "Dakwaan itu jangan sampai salah," kata Pangaribuan kepada dua orang jaksa di depannya.
Buah kerja keras Pangaribuan akan segera terlihat. Senin pekan ini, sidang perkara Tanjung Priok mulai digelar oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia. Terdakwanya? Kapten Artileri Sutrisno Mascung, bekas Komandan Regu II Batalion Arhanudse, bersama 10 orang anak buahnya. Mereka dituduh terlibat peristiwa berdarah pada 12 September 1984 itu. Para terdakwa dianggap bertanggung jawab terhadap tewasnya 23 rakyat sipil setelah menembaki kerumunan massa yang memprotes penangkapan empat rekan mereka di depan Markas Kepolisian Resor Jakarta Utara.
Tak mudah untuk menggelandang para terdakwa. Berkas pemeriksaan yang dilakukan Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok sudah dua kali dipulangkan oleh Kejaksaan Agung. Jika kini kasus ini bergulir di meja hijau, itu berkat desakan masyarakat korban kekerasan itu, baik terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia maupun Kejaksaan Agung. Selain berunjuk rasa, keluarga korban serta para aktivis kemanusiaan melancarkan lobi-lobi dengan gencar.
Dalam pertemuan antara keluarga korban peristiwa Priok, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Jaksa Agung pada 22 Juni dua tahun lalu, terungkap kejaksaan telah memeriksa 85 orang saksi. Mereka terdiri atas korban, tentara, polisi, pihak Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, dan saksi ahli.
Pelan tapi pasti, akhirnya ditetapkanlah 14 tersangka dalam kasus pembantaian di Priok itu. Kapten Sutrisno Mascung dan anak buahnya termasuk dalam rombongan pertama yang diadili. "Kloter" selanjutnya adalah bekas Kepala Seksi 2 Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara, Mayor Jenderal Sriyanto, yang kini menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI-AD, bekas Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Mayjen (Purn.) Pranowo, dan bekas Komandan Kodim Jakarta Utara Mayjen (Purn.) Rudolf Butar Butar.
Sutrisno bersama 10 orang anak buahnya didakwa membunuh para korban Tanjung Priok. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ancaman maksimalnya hukuman mati dan minimal 10 tahun penjara. Mayjen Sriyanto, Mayjen (Purn.) Pranowo, dan Mayjen (Purn.) Rudolf Butar Butar juga dituduh ikut bertanggung jawab atas kejadian berdarah itu.
Peristiwa Tanjung Priok meletup setelah masuknya Sersan Satu Hermanu, seorang bintara pembina desa (babinsa), ke musala Assa'adah di Gang IV, Pasar Koja, 7 September 1984. Ia mencopoti selebaran yang tertempel di dinding musala soal pemakaian jilbab dan asas tunggal Pancasila. Kabar lain yang tersiar: Hermanu masuk ke musala tanpa melepas sepatu lars dan melumuri tembok dengan air got. Dua hari kemudian, sang Sersan diseret ke pos RW, dipaksa meminta maaf. Sebagai tentara, Hermanu tak mau meminta maaf. Massa yang berkumpul di depan kantor itu marah. Motor Hermanu dibakar massa, tapi pemiliknya bisa diselamatkan.
Akibat kejadian itu, empat orang pengurus musala ditahan di markas kodim. Negosiasi antara tokoh masyarakat Amir Biki dan Asisten Intel Kodam Jaya Kolonel Sampurna untuk mengeluarkan mereka gagal. Akhirnya, pada 12 September, ribuan orang dipimpin Amir Biki bergerak ke Polres Jakarta Utara. Di tengah jalan, massa dihadang pasukan di bawah komando Kapten Sriyanto. Puluhan orang tewas ditembak, termasuk Amir Biki. Ratusan lainnya luka-luka. Selebihnya ditangkap, diinterogasi, disiksa, dan diadili.
Tentara yang terlibat dalam aksi berdarah itu kini mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hanya, sejumlah petinggi yang diduga juga terlibat atau setidaknya membiarkan pembantaian itu tidak tersentuh. Saat itu yang menjabat Panglima Kodam Jaya adalah Try Sutrisno. Sedangkan Jenderal L.B. Moerdani menjadi Panglima ABRI. "Seharusnya, sebagai pemegang komando tertinggi, mereka ikut bertanggung jawab," kata Usman Hamid dari Kontras.
Kejaksaan punya alasan. Menurut Pangaribuan, Moerdani tak sempat diperiksa penyidik karena menderita stroke. Try Sutrisno? Ia dinilai tidak terlibat. "Berdasarkan penyidikan, baik saksi maupun terdakwa, tak ditemukan adanya keterkaitan Try dengan kejadian itu," kata Pangaribuan.
Kalangan keluarga korban sendiri memang tidak kompak dalam upaya menjebloskan para pejabat dan bekas petinggi militer ke penjara. Bahkan, menurut Irta Sumirta, salah seorang korban yang tertembak di kakinya, sidang tersebut diperkirakan akan ditentang oleh keluarga korban yang sudah telanjur berislah lewat pemberian ganti rugi dengan para tersangka. Bahkan, dalam catatan Kontras, dari sekitar 60 keluarga korban, kini tinggal sekitar enam orang, termasuk Muchtar Beny Biki, adik Amir Biki, yang masih setia berjuang. "Keluarga korban terombang-ambing dalam dua pilihan: mengungkap peristiwa tersebut atau memperbaiki kehidupan ekonomi mereka," ujar Muchtar.
Keraguan keluarga korban mungkin akan berlanjut. Soalnya, menjelang sidang itu digelar, dikabarkan bahwa sejumlah terdakwa menyantuni keluarga korban dengan bantuan yang cukup menggiurkan. Hanya, kabar ini dibantah oleh Ketua Tim Advokasi TNI, Kolonel Burhan. "Pihak TNI tidak pernah melakukan upaya selain upaya hukum. Saya tidak pernah mendengar hal itu," katanya.
Dalam sidang akan tampak apakah keluarga korban dan saksi telah mampu mengusir keragu-raguannya.
Ahmad Taufik, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo