Mesin pengering rambut itu berdengung saat seorang stylish mengeringkan bulu tamunya yang basah. Bulu itu putih seluruhnya, disisir dan ditarik dengan hati-hati. Sedikit pewarna disemprotkan. Maka, jadilah si tamu itu tampil funky dengan merah dan kuning yang menghiasi bulunya. Enam pegawai lainnya berlari kian kemari melayani keperluan para klien lain yang sedang antre menunggu giliran. Ada yang ingin cuci blow, sekadar membersihkan gigi, atau mempercantik kuku kaki alias pedicure.
Jika tak sabar lagi menunggu, para tamu ini tak segan-segan menggonggong, mendengking, atau melolong. Dan para pegawai salon dengan sigap menggendong dan mengelus-ngelus untuk menenangkan mereka. Hah?
Jangan keburu curiga. Ini bukan salon kecantikan biasa. Ini Pio-Pio, sebuah salon khusus anjing di Ruko Mangga Dua, Jagir, Surabaya. Yang menjadi klien tentu saja para anjing—tepatnya anjing trah yang mahal. Ada Pomeranian, Maltese, ada pula Yorkshire Terrier. Di halaman, dua nyonya bermata sipit turun dari mobil sembari membopong pudel kesayangannya. Para nyonya ini bisa berjalan-jalan ke ruangan lain sembari menunggu, karena Pio-Pio melengkapi salonnya dengan toko makanan dan mainan anjing.
"Saya membatasi maksimum 20 anjing dalam satu hari," ujar Lusiana, 32 tahun, si pemilik salon. Menurut dia, tren membawa anjing ke salon kian meningkat sejak salon itu dibukanya dua tahun lalu. Lebih-lebih di musim show anjing—di Surabaya, kompetisi ini bisa berlangsung sebulan sekali. Di masa seperti itu, salonnya bisa kebanjiran sampai 50 anjing per hari, membuat Lusiana dan tujuh pegawainya kewalahan. "Kami bisa lembur sampai malam," ujarnya.
Salon anjing! Ini memang mainan asyik bagi para pencinta binatang berkaki empat itu. Dari Pio-Pio di Surabaya, silakan melangkah ke beberapa salon anjing di kawasan Kemang dan Pondok Indah—dua kawasan elite di Jakarta Selatan. Atau teruslah ke Pluit di Jakarta Utara. Di tempat-tempat ini bisa Anda saksikan betapa mulianya kehidupan para anjing. Naik-turun mobil mewah, mereka bisa menguras uang ratusan ribu dari kantong majikannya hanya untuk urusan tampang. "Sekali ke salon, saya menghabiskan sekitar Rp 150 ribu untuk Richard," ujar Stella Handoyo, seorang pencinta anjing di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Demi si Richard, seekor Golden Retriever berusia dua tahun, Stella harus sedia uang sekitar Rp 300 ribu dalam sebulan agar tampang Richard tetap keren dan bersih. Biaya untuk merawat anjing memang tidak murah. Satu paket perawatan standar—cuci, blow, membersihkan kuping dan merapikan kuku—di Pio-Pio, misalnya, berharga Rp 100 ribu. Di beberapa salon anjing di Jakarta, biayanya agak lebih mahal, sekitar Rp 200 ribu. Makin besar anjing atau makin lembut bulu, makin mahal.
Perawatan ekstra diperlukan jika si anjing berkutu atau telinganya korengan. Para pemilik, menurut Lusiana, ingin agar hewan itu tampil oke alias layak pamer bila ada tamu yang berkunjung ke rumah. Maka, pihak salon pun tidak berpangku tangan. Bila tuan atau nyonya tak sempat mengantarkan mereka, silakan telepon ke salon: kini ada layanan antar-jemput untuk perawatan anjing.
Merawat anjing ke salon bukan satu-satunya cara membuktikan kasih sayang. Ini pendapat Kartini Sjahrir. Istri ekonom Sjahrir itu mengatakan lebih baik memeliharanya sendiri, termasuk memandikan, mengajak jalan-jalan dua kali sehari, menyentuh mereka dan mengajaknya bercakap-cakap. "Kita bisa lebih dekat dengan mereka." Ia memelihara sembilan anjing dari jenis Chow-Chow, Buldog, dan St. Bernard.
Pemilik anjing yang juga "anti-salon" adalah Monica. Dia punya sepasang anjing dari jenis Golden Retriever dan Schnauzer, bernama Noni dan Ginger. "Berani pelihara, harus berani tanggung jawab," kata Monica. Aktivis lembaga swadaya masyarakat ini memang menyediakan betul waktu secara khusus untuk Noni dan Ginger. Hari-hari akhir pekan adalah acara jalan kaki bersama sahabat-sahabatnya itu. Di Pacuan Kuda di Jakarta Timur, mereka menghabiskan waktu jalan kaki selama dua sampai tiga jam. Bila Monica sedang berlibur ke gunung atau pantai, Noni dan Ginger sudah pasti turut bersamanya.
"Anjing juga perlu bergaul. Ada social gathering-nya," Monica menjelaskan. Jadi, bila ia kumpul bersama teman-temannya yang juga pencinta anjing, Noni dan Ginger pasti diajak. Adik Monica bahkan lebih edan lagi dalam memperlakukan anjingnya. Setiap kali belanja baju, ia selalu membelikan satu baju lain dengan corak dan gambar serupa—dalam ukuran lebih kecil, tentu saja—untuk anjing kesayangannya. "Dia lebih ekstrem. Tapi saya bisa mengerti," kata Monica.
Kedekatan pemilik dan hewan kesayangannya ini bisa pula ditandai dari pemahaman terhadap sifat-sifat mereka. Kartini, misalnya. Ia melukiskan Benji, anjing St. Bernard-nya, sebagai anjing yang ramah, kolokan, tapi takut jarum suntik dan amat menyukai es krim. Anjing berusia 12 tahun ini disebutnya raksasa karena beratnya mencapai 75 kg. Tentang kelima anjing Chow-Chow-nya, Kartini mengatakan: "Ada yang pemarah, ada yang suka pamer sebagai anjing yang paling disayang."
Bagaimana dengan soal makanan? Seminggu dua kali Kartini membuatkan sendiri "menu restoran"—ini istilah Kartini. Sedangkan Monica dan adiknya biasanya menyiapkan pepaya, apel, tomat, hati sapi dan ayam, roti, nasi, bahkan keju. "Bila ada pesta di rumah, keju satu blok bisa hilang," ujar Monica dengan terkekeh. Toh, Kartini mengaku tidak berlebihan dalam memperlakukan hewan-hewannya.
"Tidak juga," kata Kartini. Ia menuturkan, ada temannya yang lebih "gila". "Menyebut dirinya mami untuk anjingnya, sampai anaknya sendiri protes," katanya.
Contoh lain adalah Yanti Hadi Susastro. Rumahnya di Jakarta ia desain khusus sesuai dengan kebutuhan anjing: lantai pertama untuk anjing, lantai kedua untuk tuan dan nyonya. Begitu pula Lusiana, pemilik Salon Pio-Pio. Di rumahnya, ia memelihara enam ekor anjing Maltese dan Yorkshire Terrier. Lusiana sering mengajak para anjing ini makan semeja bersama anak dan suaminya. Kandang-kandang mereka ia buat indah dan ber-AC. Bahkan Lusiana sering tidur seranjang dengan keenam anjingnya. "Suami tidak pernah protes karena sudah tahu kegilaan saya," katanya sambil tergelak.
Dan cinta pun berbalas. Ketika Lusiana sakit, enam ekor anjingnya menunggu sepanjang malam, tak ada yang tidur. Bila Lusiana membenci seseorang, anjing-anjing itu juga ikut membenci orang itu. Dan salah satu Yorkshire Terrier miliknya pernah menghadiahi Lusiana sebuah kebanggaan: menjadi "Ina Champion 2001" alias pemenang kontes anjing tingkat nasional.
Apa boleh buat, cinta kepada anjing trah adalah cinta yang mahal. Tanpa pergi ke salon pun pemilik anjing harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 juta setiap bulannya. Berikut sekadar gambaran. Makanan anjing satu kantong besar berharga Rp 300 ribu-Rp 400 ribu. Harga samponya Rp 50 ribu-Rp 100 ribu per botol. Itu belum ditambah ongkos cek kesehatan dan biaya rumah sakit serta operasi jika sakit. Kartini mengaku menghabiskan minimum Rp 3 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan standar sehari-hari sembilan anjingnya. "Saya akui, memelihara anjing trah di Indonesia, saat krisis ekonomi seperti ini, bisa disebut asosial," kata Kartini. Tapi, apa daya, namanya juga cinta.
Dan cinta ini bahkan terus berlangsung setelah maut menjemput peliharaan mereka.
Di Ragunan, Jakarta Selatan, terdapat kuburan anjing yang tertata rapi lengkap dengan nisannya. Para pemiliknya—sebagian dari mereka masih terus mendatangi makam anjing-anjing itu di hari ulang tahun si hewan— rela membayar uang sewa tanah Rp 300 ribu per tahun agar makam anjing mereka tidak ditumpuk dengan yang lainnya.
Di salah satu nisan, terbacalah tulisan ini:
RIP
Our Beloved "Boo"
Born in USA 1991
Died in Indonesia 2001
Rupanya, sampai mati pun anjing-anjing ini mendapat tempat istimewa. Pokoknya, "till death do us apart"-lah.
Bina Bektiati, Hilman H. (Jakarta), Kukuh Setyo Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini