PARA pejabat di Pelabuhan Balawan, Medan, suatu ketika gusar.
Sebuah kapal motor tenggelam di perairan itu. Padahal kapal yang
tenggelam itu satu dari 18 boat Malaysia yang ditangkap karena
melanggar batas perairan. Dan ini berarti satu barang bukti di
pengadilan nanti telah hilang.
Beruntung, Kepala Teknik Pelabuhan Belawan, Ir. Yanuar Khudri
segera teringat kepada seorang penyelam yang sudah tersohor di
daerah ini. Penyelam tradisional itu, Senen Daeng Malewa, 60
tahun, dipanggil. Dengan menggunakan perahu bermesin, Senen
menuju perairan, ditemani seorang anak buahnya.
Laut dengan kadalaman sekitar 10 meter itu ia selami. Anak
buahnya mengawasi dari perahu. Kurang dari setengah jam, boat
Malaysia itu ia temukan -- dan beberapa hari kemudian ditarik ke
pantai. Lancar saja. Hasilnya, "saya mendapat hadiah tabung
oksigen," kata penyelam yang punya 10 anak ini di rumahnya,
Jalan Pahlawan, Belawan.
Hadiah oksigen berikut seperangkat peralatan selam itu
diserahkan Ir. Yanuar Khudri Mei yang lalu. Hadiah itu juga
dimaksudkan untuk membantu karier Senen selanjutnya. Karena,
seperti yang diakui Senen sendiri, selama hidupnya sebagai
penyelam sejak 1953, ia tak pernah menggunakan peralatan
apa-apa.
Senen Daeng Malewa pada mulanya seorang nelayan. Laki-laki
kelahiran Ujungpandang, Sulawesi Selatan ini mengaku tak pernah
mendapat pelajaran khusus menyelam. Keahliannya itu ia dapatkan
secara tak sengaja. Ketika menjadi nelayan, tuturnya, ia
tercebur ke laut. Sekuat tenaga ia berusaha menyelamatkan diri
tanpa bantuan orang lain. Dan berhasil. Secara tiba-tiba saja ia
lantas merasa, bahwa ia kuat menyelam.
Jadilah ia penyelam. Lalu mengembara dari satu kota ke kota
lain, sehingga terdampar di Belawan. Ia tak berniat pindah lagi,
selain sudah merasa tua di kota pelabuhan ini, ia juga telah
merasa terhibur oleh 17 cucunya.
April yang lalu, Senen dipanggil ke Kuala Tanjung, Asahan. Satu
ikat aluminium dengan berat sekitar 1 ton jatuh ke laut, dari
sebuah kapal. Logam ringan itu milik seorang pengusaha Jepang
dan sudah dicari penyelam-penyelam dari Tanjung Balai dengan
sia-sia.
Ketika Senen siap mencebur, pengusaha Jepang itu heran dan
bertanya: "Apa sudah membawa telur?" Senen mengaku geli dengan
pertanyaan itu. Sebab menurut si Jepang penyelam-penyelam yang
lain sebelum terjun ke laut terlebih dahulu menabur bunga dan
telur sebagai sesaji. Senen tak pernah percaya pada "adat" itu.
"Saya percaya, laut juga seperti rumah, ada penghuninya. Tetapi
saya cukup mengucapkan: assalamualaikum minta permisi dulu,"
katanya. Aluminium Jepang itu berhasil ditemukan Senen dalam
tempo kurang dari satu jam. Sampai mengangkatnya ke daratan,
Senen menerima bayaran Rp 600.000.
Lelaki yang mengaku punya kemampuan menyelam 800 detik (sekitar
13 menit) ini bernasib bagaikan harimau. "Dapat order besar,
hasilnya banyak. Tetapi kalau sedang sepi, bisa menganggur
sampai dua tiga bulan.
Akhir tahun lalu ia berhasil mengangkat mayat awak kapal KM
Alita yang terjatuh di laut berkedalaman 20 meter. Dua tahun
lalu ia mencari mayat 12 petugas PLN yang hanyut di Sungai Agul
dan berhasil. Senen tak mau menerima bayaran, kecuali untuk
makan selama pencarian. "Saya tak mau dibayar kalau mengangkat
mayat," kata Senen.
Yang menjadi kenangan sampai kini, ketika ia berhasil mengangkat
32 mayat dari kapal Permina 11 yang tenggelam di perairan
Kampung Uni-Belawan, tahun 1965. Satu persatu mayat itu
diangkatnya. "Untuk mencari mayat itu, terkadang memecahkan kaca
kamar kapal," kata Senen. Semua itu dilakukannya tanpa peralatan
menyelam.
Senen hidup dengan kecukupan. Di rumahnya ada video casette
dengan televisi 14 inci. Di hari-hari menganggur, tanpa pesanan
menyelam, ia membawa perahunya ke pantai, menerima carteran
untuk memancing. Sewanya Rp 15.000 sehari. kalau bermalam Rp
25.000. Akan halnya tabung oksigen hadiah dari penguasa
Pelabuhan Belawan, jarang sekali dipakainya. "Untuk mengisi
oksigennya di Medan, tarifnya Rp 10.000," kata Senen. Karena
dirasa mahal, ia sampai kini tetap menyelam dengan mengandalkan
kemampuan pernapasannya sendiri.
Seperti halnya Senen di Belawan, penyelam tradisional di
Pontianak juga tak menarik bayaran jika mengangkat mayat. "Itu
sudah pantangan," kata Markuat, 46 tahun.
Tahun 1979, KM Bintang Abadi tenggelam di Sukalanting, daerah
aliran Sungai Kapuas. Markuat yang ditugasi menyelam berhasil
mengangkat 16 mayat dari kapal itu. Banyak orang yang heran,
Markuat begitu lama di dalam air. Apa resepnya? "Dalam keadaan
menolong orang seperti itu, saya hanya melafaskan sebuah ayat
dari Quran yang dipakai Nabi Yunus ketika berada di perut ikan,"
tuturnya tanpa mau menyebut bunyi ayat itu. Namun ia mengakui
tak bisa terlalu lama tiap kali menyelam. "Menyelam tanpa gas
asam paling kuat 5 menit," sambungnya.
Markuat percaya adanya tempat-tempat angker di dalam air.
"Biasanya kalau menyelam di tempat angker, saya mencari petunjuk
dulu melalui mimpi," katanya. Sungai Kapuas di bagian tempat Ir.
Srihartoyo terjun bunuh diri karena terlibat kasus reboisasi
(TEMPO, 30 April 1983), termasuk daerah yang angker. Markuat
termasuk penyelam yang terjun mencari jenazah Srihartoyo.
"Sayang tak berhasil. Mayatnya malah muncul sendiri," ujarnya.
Markuat berpengalaman menyelam sejak 1961. Ia lebih banyak
menyelam di sungai. Namanya begitu populer, meskipun di
Pontianak tercatat puluhan nama penyelam seperti dia. Ia tak
menjelaskan kelebihannya dari penyelam-penyelam lain.
Berkali-kali penyelam kelahiran Tanjung Hilir, kampung di atas
air wilayah Pontianak Timur, ini mendapat order besar. Pernah
mengangkat kapal pengangkut kayu berukuran 200 ton dengan
bantuan 20 anak buahnya. Pekerjaan ini memakan waktu 2 minggu.
Memasang peralatan di bawah air untuk menarik kapal itu adalah
tugas Markuat sendiri. Anak buahnya membantu di atas air,
melalui dua buah tongkang. Markuat tak mau menyebut berapa ia
dibayar.
"Menyelam di sungai lebih berat dari menyelam di laut," kata
Markuat lagi. Air di sungai lebih gelap, berwarna kecokelatan
dan berarus kuat. Kapal yang tenggelam atau barang yang jatuh ke
sungai, pasti bergeser dari tempat jatuhnya semula. Karena itu
sebelum menyelam, Markuat meraba-raba dasar sungai dengan bandul
besi yang digantungi tali. Peralatan yang ia sebut "tali nyawa"
ini berguna untuk menentukan arah dan kekuatan arus.
Para penyelam pasti mengalami masa sepi. Markuat dengan 3
anaknya menarik sampan motor tambang di Sungai Kapuas untuk
mengisi kekosongan itu. Ia mengaku penghasilan dari sampan ini
lumayan juga.
Di Surabaya, penyelam kawakan seperti Kalap, juga tak selalu
dapat order. Selama masa sepi ia membuat kompor -- untuk
menghidupi 10 anak dan 4 istri.
Namun Mbah Kalap -- demikian ia dipanggil -- termasuk penyelam
yang laris. Bukan cuma di Surabaya. Dua bulan lalu ia dipanggil
ke Flores. Di situ ia berhasil mengangkat 7 mayat dari 8 orang
yang tenggelam di perairan Flores. Ia dielu-elukan, karena
penyelam lokal semuanya gagal. "Wah, saya kaya mendadak, saya
terima uang kontan Rp 1,8 juta," katanya.
Mbah Kalap, 52 tahun, yang nama aslinya Kahar Supardi, termasuk
penyelam yang berani menentukan tarif untuk mencari korban
manusia. Mencari korban di laut, ia pasang antara Rp 150.000
sampai Rp 250.000 per orang. Mencari mayat di sungai antara Rp
60.000 sampai Rp 100.000. "Mahal memang, tapi hidup saya
begini-begini saja," katanya polos, di depan gubuknya di pinggir
Kali Mas, Surabaya.
Ternyata, katanya, uang dari hasil menyelam mencari mayat itu
tak boleh digunakan sendirian. "Uang itu harus dibagikan untuk
fakir miskin, itu sudah kewajiban dan syarat," katanya. Ia
mengungkapkan: suatu ketika ia dalam keadaan sakit tinggal di
sebuah kubur di tengah Kota Jember. Suatu malam ia mendapat
wangsit untuk menolong kaum miskin dengan cara menjadi
penyelam. Setelah meninggalkan kubur itu ia mengembara ke
Surabaya dan tanpa jelas asal mulanya, tiba-tiba ia dikenal
sebagai penyelam. Itu terjadi pada tahun 1950.
Sejak tinggal di Surabaya, lelaki kelahiran Tasikmalaya ini,
mengaku pernah kawin 18 kali. Resminya ia masih mempunyai 8
istri, di antaranya 4 orang tinggal bersama berikut 10 anak
mereka di gubuk mirip tempat tinggal gelandangan itu. Sepuluh
lainnya sudah ia ceraikan secara resmi. "Di mana mereka tinggal,
saya sudah lupa," katanya.
Penyelam ini pernah mendapat penghargaan dari Walikota Surabaya.
Waktu itu, Agustus 1982, pipa pengisap air PAM dari Kali Mas
tersumbat lumpur. Air bersih untuk kebutuhan warga Surabaya
macet total. Seluruh langganan PAM protes, sementara teknisi PAM
tak bisa mengatasinya karena pipa yang macet berada di bawah
air.
Mbah Kalap dipanggil. Pekerjaan ia bereskan dengan mudah. "Wah,
banyak pimpinan hotel menyodori uang, tapi saya tampik?" kata
Mbah Kalap. Honor dari PAM pun ia tolak. Alasannya, "bekerja
menyelam untuk kepentingan orang banyak tak boleh menerima
upah." Walikota Surabaya lantas memberikan piagam penghargaan
dan uang Rp 50.000. Diterimanya, "karena itu uang penghargaan,
bukan upah."
Lain Mbah Kalap? lain M. Yakin Effendy penyelam tradisional di
Palembang. Effendy, 52 tahun, sudah benar-benar membisniskan
keahliannya. Bahkan ia mendirikan CV Usaha Karya Musi yang
bergerak di bidang pertolongan dan perbaikan kapal di bawah air.
Usahanya ini sesungguhnya punya peralatan menyelam modern, tapi
sering tak digunakan. Alasannya, alat itu hanya dipakai jika
proyeknya besar.
Effendy memberi contoh ketika mengangkat kapal Gunasari yang
tenggelam di Sungai Musi 16 Maret lalu. Proyek ini bernilai Rp
200 juta, dan CV Usaha Karya menggunakan penyelam-penyelam
dengan alat modern. "Tetapi kalau mencari mayat yang upahnya
hanya Rp 50.000, tak usah tabung asam segala," kata Effendy,
yang aktif menyelam sejak 1948. Kini ia menghimpun 8 penyelam di
Palembang dengan daerah operasi sampai di Bangka, Jambi,
Bengkulu, dan Lampung.
Tak ada data tentang jumlah penyelam tradisional seperti Senen,
Markuat, dan Mbah Kalap. Yang pasti jumlah mereka makin
berkurang, digantikan penyelam-penyelam yang khusus dididik
untuk pengeboran minyak lepas pantai, pengelasan di bawah laut
dan sebagainya -- dengan peralatan modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini