Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ia hidup di dalam air

Mereka tak pernah menggunakan peralatan apa-apa, dan tak mendapat pelajaran khusus menyelam. jumlahnya makin berkurang, digantikan penyelam-penyelam yang terdidik. (sd)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pejabat di Pelabuhan Balawan, Medan, suatu ketika gusar. Sebuah kapal motor tenggelam di perairan itu. Padahal kapal yang tenggelam itu satu dari 18 boat Malaysia yang ditangkap karena melanggar batas perairan. Dan ini berarti satu barang bukti di pengadilan nanti telah hilang. Beruntung, Kepala Teknik Pelabuhan Belawan, Ir. Yanuar Khudri segera teringat kepada seorang penyelam yang sudah tersohor di daerah ini. Penyelam tradisional itu, Senen Daeng Malewa, 60 tahun, dipanggil. Dengan menggunakan perahu bermesin, Senen menuju perairan, ditemani seorang anak buahnya. Laut dengan kadalaman sekitar 10 meter itu ia selami. Anak buahnya mengawasi dari perahu. Kurang dari setengah jam, boat Malaysia itu ia temukan -- dan beberapa hari kemudian ditarik ke pantai. Lancar saja. Hasilnya, "saya mendapat hadiah tabung oksigen," kata penyelam yang punya 10 anak ini di rumahnya, Jalan Pahlawan, Belawan. Hadiah oksigen berikut seperangkat peralatan selam itu diserahkan Ir. Yanuar Khudri Mei yang lalu. Hadiah itu juga dimaksudkan untuk membantu karier Senen selanjutnya. Karena, seperti yang diakui Senen sendiri, selama hidupnya sebagai penyelam sejak 1953, ia tak pernah menggunakan peralatan apa-apa. Senen Daeng Malewa pada mulanya seorang nelayan. Laki-laki kelahiran Ujungpandang, Sulawesi Selatan ini mengaku tak pernah mendapat pelajaran khusus menyelam. Keahliannya itu ia dapatkan secara tak sengaja. Ketika menjadi nelayan, tuturnya, ia tercebur ke laut. Sekuat tenaga ia berusaha menyelamatkan diri tanpa bantuan orang lain. Dan berhasil. Secara tiba-tiba saja ia lantas merasa, bahwa ia kuat menyelam. Jadilah ia penyelam. Lalu mengembara dari satu kota ke kota lain, sehingga terdampar di Belawan. Ia tak berniat pindah lagi, selain sudah merasa tua di kota pelabuhan ini, ia juga telah merasa terhibur oleh 17 cucunya. April yang lalu, Senen dipanggil ke Kuala Tanjung, Asahan. Satu ikat aluminium dengan berat sekitar 1 ton jatuh ke laut, dari sebuah kapal. Logam ringan itu milik seorang pengusaha Jepang dan sudah dicari penyelam-penyelam dari Tanjung Balai dengan sia-sia. Ketika Senen siap mencebur, pengusaha Jepang itu heran dan bertanya: "Apa sudah membawa telur?" Senen mengaku geli dengan pertanyaan itu. Sebab menurut si Jepang penyelam-penyelam yang lain sebelum terjun ke laut terlebih dahulu menabur bunga dan telur sebagai sesaji. Senen tak pernah percaya pada "adat" itu. "Saya percaya, laut juga seperti rumah, ada penghuninya. Tetapi saya cukup mengucapkan: assalamualaikum minta permisi dulu," katanya. Aluminium Jepang itu berhasil ditemukan Senen dalam tempo kurang dari satu jam. Sampai mengangkatnya ke daratan, Senen menerima bayaran Rp 600.000. Lelaki yang mengaku punya kemampuan menyelam 800 detik (sekitar 13 menit) ini bernasib bagaikan harimau. "Dapat order besar, hasilnya banyak. Tetapi kalau sedang sepi, bisa menganggur sampai dua tiga bulan. Akhir tahun lalu ia berhasil mengangkat mayat awak kapal KM Alita yang terjatuh di laut berkedalaman 20 meter. Dua tahun lalu ia mencari mayat 12 petugas PLN yang hanyut di Sungai Agul dan berhasil. Senen tak mau menerima bayaran, kecuali untuk makan selama pencarian. "Saya tak mau dibayar kalau mengangkat mayat," kata Senen. Yang menjadi kenangan sampai kini, ketika ia berhasil mengangkat 32 mayat dari kapal Permina 11 yang tenggelam di perairan Kampung Uni-Belawan, tahun 1965. Satu persatu mayat itu diangkatnya. "Untuk mencari mayat itu, terkadang memecahkan kaca kamar kapal," kata Senen. Semua itu dilakukannya tanpa peralatan menyelam. Senen hidup dengan kecukupan. Di rumahnya ada video casette dengan televisi 14 inci. Di hari-hari menganggur, tanpa pesanan menyelam, ia membawa perahunya ke pantai, menerima carteran untuk memancing. Sewanya Rp 15.000 sehari. kalau bermalam Rp 25.000. Akan halnya tabung oksigen hadiah dari penguasa Pelabuhan Belawan, jarang sekali dipakainya. "Untuk mengisi oksigennya di Medan, tarifnya Rp 10.000," kata Senen. Karena dirasa mahal, ia sampai kini tetap menyelam dengan mengandalkan kemampuan pernapasannya sendiri. Seperti halnya Senen di Belawan, penyelam tradisional di Pontianak juga tak menarik bayaran jika mengangkat mayat. "Itu sudah pantangan," kata Markuat, 46 tahun. Tahun 1979, KM Bintang Abadi tenggelam di Sukalanting, daerah aliran Sungai Kapuas. Markuat yang ditugasi menyelam berhasil mengangkat 16 mayat dari kapal itu. Banyak orang yang heran, Markuat begitu lama di dalam air. Apa resepnya? "Dalam keadaan menolong orang seperti itu, saya hanya melafaskan sebuah ayat dari Quran yang dipakai Nabi Yunus ketika berada di perut ikan," tuturnya tanpa mau menyebut bunyi ayat itu. Namun ia mengakui tak bisa terlalu lama tiap kali menyelam. "Menyelam tanpa gas asam paling kuat 5 menit," sambungnya. Markuat percaya adanya tempat-tempat angker di dalam air. "Biasanya kalau menyelam di tempat angker, saya mencari petunjuk dulu melalui mimpi," katanya. Sungai Kapuas di bagian tempat Ir. Srihartoyo terjun bunuh diri karena terlibat kasus reboisasi (TEMPO, 30 April 1983), termasuk daerah yang angker. Markuat termasuk penyelam yang terjun mencari jenazah Srihartoyo. "Sayang tak berhasil. Mayatnya malah muncul sendiri," ujarnya. Markuat berpengalaman menyelam sejak 1961. Ia lebih banyak menyelam di sungai. Namanya begitu populer, meskipun di Pontianak tercatat puluhan nama penyelam seperti dia. Ia tak menjelaskan kelebihannya dari penyelam-penyelam lain. Berkali-kali penyelam kelahiran Tanjung Hilir, kampung di atas air wilayah Pontianak Timur, ini mendapat order besar. Pernah mengangkat kapal pengangkut kayu berukuran 200 ton dengan bantuan 20 anak buahnya. Pekerjaan ini memakan waktu 2 minggu. Memasang peralatan di bawah air untuk menarik kapal itu adalah tugas Markuat sendiri. Anak buahnya membantu di atas air, melalui dua buah tongkang. Markuat tak mau menyebut berapa ia dibayar. "Menyelam di sungai lebih berat dari menyelam di laut," kata Markuat lagi. Air di sungai lebih gelap, berwarna kecokelatan dan berarus kuat. Kapal yang tenggelam atau barang yang jatuh ke sungai, pasti bergeser dari tempat jatuhnya semula. Karena itu sebelum menyelam, Markuat meraba-raba dasar sungai dengan bandul besi yang digantungi tali. Peralatan yang ia sebut "tali nyawa" ini berguna untuk menentukan arah dan kekuatan arus. Para penyelam pasti mengalami masa sepi. Markuat dengan 3 anaknya menarik sampan motor tambang di Sungai Kapuas untuk mengisi kekosongan itu. Ia mengaku penghasilan dari sampan ini lumayan juga. Di Surabaya, penyelam kawakan seperti Kalap, juga tak selalu dapat order. Selama masa sepi ia membuat kompor -- untuk menghidupi 10 anak dan 4 istri. Namun Mbah Kalap -- demikian ia dipanggil -- termasuk penyelam yang laris. Bukan cuma di Surabaya. Dua bulan lalu ia dipanggil ke Flores. Di situ ia berhasil mengangkat 7 mayat dari 8 orang yang tenggelam di perairan Flores. Ia dielu-elukan, karena penyelam lokal semuanya gagal. "Wah, saya kaya mendadak, saya terima uang kontan Rp 1,8 juta," katanya. Mbah Kalap, 52 tahun, yang nama aslinya Kahar Supardi, termasuk penyelam yang berani menentukan tarif untuk mencari korban manusia. Mencari korban di laut, ia pasang antara Rp 150.000 sampai Rp 250.000 per orang. Mencari mayat di sungai antara Rp 60.000 sampai Rp 100.000. "Mahal memang, tapi hidup saya begini-begini saja," katanya polos, di depan gubuknya di pinggir Kali Mas, Surabaya. Ternyata, katanya, uang dari hasil menyelam mencari mayat itu tak boleh digunakan sendirian. "Uang itu harus dibagikan untuk fakir miskin, itu sudah kewajiban dan syarat," katanya. Ia mengungkapkan: suatu ketika ia dalam keadaan sakit tinggal di sebuah kubur di tengah Kota Jember. Suatu malam ia mendapat wangsit untuk menolong kaum miskin dengan cara menjadi penyelam. Setelah meninggalkan kubur itu ia mengembara ke Surabaya dan tanpa jelas asal mulanya, tiba-tiba ia dikenal sebagai penyelam. Itu terjadi pada tahun 1950. Sejak tinggal di Surabaya, lelaki kelahiran Tasikmalaya ini, mengaku pernah kawin 18 kali. Resminya ia masih mempunyai 8 istri, di antaranya 4 orang tinggal bersama berikut 10 anak mereka di gubuk mirip tempat tinggal gelandangan itu. Sepuluh lainnya sudah ia ceraikan secara resmi. "Di mana mereka tinggal, saya sudah lupa," katanya. Penyelam ini pernah mendapat penghargaan dari Walikota Surabaya. Waktu itu, Agustus 1982, pipa pengisap air PAM dari Kali Mas tersumbat lumpur. Air bersih untuk kebutuhan warga Surabaya macet total. Seluruh langganan PAM protes, sementara teknisi PAM tak bisa mengatasinya karena pipa yang macet berada di bawah air. Mbah Kalap dipanggil. Pekerjaan ia bereskan dengan mudah. "Wah, banyak pimpinan hotel menyodori uang, tapi saya tampik?" kata Mbah Kalap. Honor dari PAM pun ia tolak. Alasannya, "bekerja menyelam untuk kepentingan orang banyak tak boleh menerima upah." Walikota Surabaya lantas memberikan piagam penghargaan dan uang Rp 50.000. Diterimanya, "karena itu uang penghargaan, bukan upah." Lain Mbah Kalap? lain M. Yakin Effendy penyelam tradisional di Palembang. Effendy, 52 tahun, sudah benar-benar membisniskan keahliannya. Bahkan ia mendirikan CV Usaha Karya Musi yang bergerak di bidang pertolongan dan perbaikan kapal di bawah air. Usahanya ini sesungguhnya punya peralatan menyelam modern, tapi sering tak digunakan. Alasannya, alat itu hanya dipakai jika proyeknya besar. Effendy memberi contoh ketika mengangkat kapal Gunasari yang tenggelam di Sungai Musi 16 Maret lalu. Proyek ini bernilai Rp 200 juta, dan CV Usaha Karya menggunakan penyelam-penyelam dengan alat modern. "Tetapi kalau mencari mayat yang upahnya hanya Rp 50.000, tak usah tabung asam segala," kata Effendy, yang aktif menyelam sejak 1948. Kini ia menghimpun 8 penyelam di Palembang dengan daerah operasi sampai di Bangka, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Tak ada data tentang jumlah penyelam tradisional seperti Senen, Markuat, dan Mbah Kalap. Yang pasti jumlah mereka makin berkurang, digantikan penyelam-penyelam yang khusus dididik untuk pengeboran minyak lepas pantai, pengelasan di bawah laut dan sebagainya -- dengan peralatan modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus