Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU siang di halaman parkir Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tiba-tiba Suryadi (bukan nama sebenarnya) marah sekali karena sopirnya dilarang parkir di tempat yang ia inginkan. Pria berusia 35 tahun ini kontan turun dari mobil dan bermaksud menghajar orang yang melarangnya. Dia pun membayangkan: tangan kanannya telah mengepal, membentuk tinju, dan siap memukul.
Aksi mengepalkan tinju itu hanya ilusi, tidak mungkin terjadi, karena lengan kanan Suryadi telah diamputasi akibat kecelakaan yang pernah dialaminya. Hanya hari itu ia benar-benar lupa. Suryadi merasa lengan kanannya masih utuh sampai ke jari-jarinya dan bisa digunakan untuk meninju orang. Untunglah, amarah Suryadi segera mereda setelah sopirnya mendapat tempat parkir yang nyaman.
Tangan yang telah tiada namun terasa kembali kehadirannya seperti yang dirasakan Suryadi, dalam dunia kedokteran, dikenal dengan nama fenomena fantom.
Itulah yang diteliti oleh Dr. Widjajalaksmi Kusumaningsih dalam disertasinya berjudul Fenomena Fantom Pasca-Amputasi Anggota Gerak Akibat Trauma dan Faktor yang Mempengaruhinya. Karya yang langka ini telah dipresentasikan di depan senat akademik Universitas Indonesia pada 7 Oktober lalu.
Memahami fenomena fantom amat berguna bagi dokter untuk menangani pasien pasca-amputasi. Tak sekadar masih merasa memiliki anggota tubuh yang lengkap, kerap pula mereka merasa kesemutan atau gatal pada bagian yang sebenarnya telah diamputasi.
Widjajalaksmi, yang biasa disapa Wida, 49 tahun, meneliti 50 orang pasien. Mereka dirawat di empat rumah sakit yang berbeda, yakni RSCM, Rumah Sakit Fatmawati, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, dan Pusat Rehabilitasi Cacat Departemen Pertahanan. "Saya mengkhususkan diri pada orang-orang yang mengalami kecelakaan kerja dan para tentara yang cacat ketika sedang bertugas," kata Wida.
Setelah diamputasi, umumnya pasien masih belum sadar bahwa ia sudah kehilangan sebuah anggota tubuhnya. Ada seorang pasiennya yang baru saja diamputasi salah satu kakinya. Begitu tersadar dari pengaruh obat bius, ia langsung berdiri, karena merasa kakinya masih lengkap. Tentu saja si pasien langsung jatuh karena satu kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya. Pasien lain yang dipotong tangannya juga merasa sebelah lengannya itu masih utuh. Ketika mengambil gelas, si pasien ini mengeluh karena gelasnya itu tak bisa diangkat, padahal ia merasa sudah memegang gelas itu dengan benar.
Supangkat, 60 tahun, mengalami hal yang sama. Pada 1966, ia pernah diamputasi jari manis dan kelingkingnya lantaran kecelakaan di tempat kerjanya. Setelah dipotong, ia tetap merasa dua jarinya itu masih berada di tempatnya semula. "Misalnya jika saya sedang memegang koran atau majalah, saya merasa dua jari saya itu masih ada," katanya. Supangkat bahkan juga merasakan gatal di dua jarinya itu. "Saya ingin menggaruk, tapi saya harus menggaruk apa?" ujarnya.
Tak hanya rasa gatal, Wida juga menemukan ilusi lain pada pasien yang ditelitinya. "Bahkan ada yang merasa nyeri, panas, dan kesemutan di bagian yang hilang itu," katanya. Menurut putri Widjojo Nitisastro (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri di era Presiden Soeharto) ini, bahkan ada pasien yang merasa kaki atau tangannya yang hilang itu sakit luar biasa. "Seperti dipelintir. Si pasien sampai menjerit-jerit sambil memukul tempat tidurnya karena kesakitan," katanya.
Ilusi rasa sakit alias nyeri fantom semacam itu tidak dialami oleh semua pasien yang diamputasi. Hal ini kerap muncul pada pasien yang memiliki pengalaman buruk. Misalnya ada orang yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. Setelah kejadian, ia pergi ke dukun patah tulang untuk diurut. Tapi, karena salah urut, tulangnya justru membusuk dan harus diamputasi. "Karena mengalami rasa sakit akibat diurut, setelah diamputasi lalu timbul nyeri fantom," ujar Wida.
Sejumlah pasien yang diamati Wida juga merasakan sensasi lain, misalnya seorang perempuan yang telah diamputasi tangannya. Ketika memakai bedak atau lipstik, mereka merasa ujung jarinya terkena sapuan bedak atau lipstik, persis dengan yang terasa di wajahnya. Bahkan ketika mereka mencuci muka, ujung tangannya yang hilang itu terasa basah seperti terkena air.
Menurut Wida, itu terjadi karena sensor wajah dan tangan letaknya berdekatan. Sedangkan sensor kaki berdekatan dengan alat genital.
Itu pula yang menjelaskan sensasi yang kerap dialami pasien yang telah diamputasi kakinya. Saat buang air kecil, mereka sering merasa ada air hangat di kakinya yang telah hilang itu. Begitu juga ketika mereka berhubungan seksual. Kakinya seperti merasakan sesuatu. Tapi setelah selesai buang air kecil atau berhubungan seksual, sensasi itu akan lenyap dengan sendirinya.
Karena itu Wida menyarankan pada para pasiennya, jika mereka merasa gatal di ujung jari tangannya yang telah hilang, garuklah area sekitar bibir. Soalnya, sensor dua bagian tubuh ini berdekatan. "Tapi saya tidak bisa menyarankan hal serupa untuk daerah kaki yang gatal," kata Wida sambil tertawa.
Terjadinya fenomena fantom dan nyeri fantom berkaitan dengan daya ingat seseorang. Karena telah terbiasa dengan anggota tubuhnya selama bertahun-tahun, ketika anggota tubuhnya itu hilang, otaknya itu tetap mengatakan bahwa anggota tubuhnya itu masih ada.
Menurut Wida, anak-anak di bawah usia lima tahun tidak mengalami fenomena fantom. Sebab, mereka belum memahami dengan baik dan mampu mengingat dengan benar semua anggota tubuhnya. Begitu juga dengan penderita lepra yang mengalami amputasi secara bertahap. "Fenomena ini hanya terjadi akibat kejadian amputasi yang sifatnya tiba-tiba," ujarnya.
Cepat-lambatnya sensasi fantom menghilang bergantung pada si pasien. "Kalau dia ikhlas, sensasi ini akan cepat hilang," ujar Wida. Biasanya ini akan berlangsung hingga enam bulan. Sensasi juga akan cepat hilang jika seseorang punya kesibukan rutin sehingga tidak bengong terus. "Karena itu saya sangat menyarankan kepada mereka yang diamputasi agar punya pekerjaan lagi," katanya.
Penggunaan prostesis?kaki atau tangan palsu?secepat mungkin bisa segera menghilangkan ilusi. Wida menjelaskan, terjadinya kontak antara prostesis dan permukaan puntung mendorong pada keadaan yang normal. Otot puntung akan bekerja lebih intensif dan maksimal, dan menyebabkan ia lupa mengingatkan rasa gatal, nyeri, dan sensasi lainnya. Jadi, prostesis bukan hanya sebagai alat ganti saja, ia juga menjadi satu alat penghilang fenomena fantom.
Di mata Wida, ilusi setelah diamputasi memang sebaiknya cepat-cepat dihilangkan. Jika tidak, sensasi itu bakal menjadi beban tambahan buat pasien yang telah kehilangan anggota tubuhnya.
Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo