Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukum Islam, Buat Arsip

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu'bah Asa
  • Wartawan, penulis masalah Islam

    Sudah bisa dipastikan akan ditolak, toh dikerjakan juga. Itulah konsep pembaruan hukum Islam yang digarap suatu tim Departemen Agama, yang direncanakan menggantikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan hakim-hakim Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. KHI diberlakukan lewat Instruksi Presiden 1991. Konsep ini sedang diajukan agar nanti berupa Rancangan Undang-Undang Hukum Islam ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dan akan ditolak, insya Allah.

    Kita, dan khususnya DPR, sudah punya pengalaman luar biasa dengan penolakan keras terhadap RUU Perkawinan 1974, dengan serbuan besar para demonstran yang menginjak-injak meja-kursi pimpinan DPR—sebelum RUU tersebut mengalami "penggodokan ulang" dan menjelma menjadi UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan. Memang, situasi bukan tidak berubah sejak itu: pemikiran-pemikiran baru berkembang. Tapi cukupkah?

    Masalahnya karena yang ditawarkan rancangan ini bukan hal kecil: cara baru melihat Al-Quran. Dengan cara itu disusun konsep UU yang "egalitarian, demokratis, dan pluralistis". Di situ, pria dan wanita diperlakukan mutlak sama. Dalam akad, kewajiban mengucapkan ijab dan kabul diserahkan secara sama rata kepada pengantin laki-laki dan yang perempuan, terserah siapa memilih yang mana. Jadi, bukan kepada wali.

    Hak menjadi saksi juga ada pada perempuan, di samping laki-laki. Malahan juga hak menjadi wali sendiri, yang dalam upacara hanya akan mengucapkan ijab bila calon pengantin yang di bawah perwaliannya tak mampu. Begitu pula kewajiban memberi maskawin (mahar), bisa pada laki-laki maupun perempuan, tergantung "budaya setempat". Sementara nafkah ditanggung bersama, atau menurut kesepakatan.

    Dengan itu, bisa dipahami, suami tidak memonopoli status kepala keluarga. Dan dengan jalan pikiran yang sama ditentukan tidak adanya perbedaan laki-laki dan perempuan selaku ahli waris. Poligami sudah tentu tidak ada. Sedangkan perkawinan muslim ataupun muslimah dengan warga agama lain (agama apa pun) mutlak diperbolehkan, dengan status keberagamaan anak yang bebas. Semua itu dinyatakan, dalam buku yang mengantarkan konsep ini, sebagai disusun berdasarkan maqashidusy- syari'ah (tujuan-tujuan syariah) yang merupakan prinsip-prinsip dasar Al-Quran sendiri.

    Belajar dari Khalifah Umar

    Dan di situlah soalnya, bagaimana orang bisa mengklaim pernyataannya sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Quran, sementara "secara kasatmata" saja bertentangan? Tetapi, ada contoh dari Khalifah Umar bin Khaththab, yang caranya memandang Quran barangkali saja mewakili imbauan ke arah maqashidusy-syari'ah yang dimaksudkan. Pertama, Umar tidak memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri (Q. 5:38), justru di masa paceklik, ketika pemotongan tangan mestinya punya efek jera yang pada saat itu sangat diperlukan.

    Kedua, berlainan dari yang pernah dipraktekkan Nabi sehubungan dengan ayat Q. 8:41, sang khalifah—setelah perdebatan yang melibatkan emosi—memutuskan tidak membagikan 4/5 tanah taklukan di Irak kepada bala tentara Islam, melainkan, untuk pertama kalinya, membiarkannya pada pemilik aslinya (kaum Nasrani) dan memungut retribusi dari mereka. Dan ketiga, Umar memberlakukan tradisi "talak tiga", sementara yang bisa dipahami dari Q. 2:229 tidak ada talak yang jatuh sekaligus. Alasan Umar: memberikan efek jera (karena tidak ada peluang rujuk, kecuali si perempuan kawin lagi lalu cerai) kepada suami yang suka main-main dengan "talak tiga".

    Dengan itu, Umar (yang, anehnya, tidak mendapat perhatian dalam buku ini) lebih memihak kepada "tujuan-tujuan syariat" daripada hukum lahiriah. Tetapi bagaimana Ushul Fikih (teori hukum Islam) di abad-abad II-III Hijriah menghargai cara pandang khalifah tersebut?

    Pendapat-pendapat sahabat besar itu, sebagai alternatif, ditaruh di peringkat ketiga, di bawah ayat Quran dan hadis Nabi. Sementara itu, kalangan yang ingin kembali ke kemurnian Quran dan Sunah di belakang hari (di Indonesia, misalnya Muhammadiyah) sama sekali menolak, khususnya untuk butir talak itu. Dengan kata lain, tidak ada dari dua kalangan itu yang mempertimbangkan cara Umar tersebut dari segi metodologi. Tetapi bukankah konsep revisi hukum Islam Departemen Agama ini memakai metodologi Umar itu?

    Ya, dan lebih dari itu, meleber, keluar dari koridor yang ditempuh Umar. Betapapun, kesimpulan-kesimpulan mereka mengenai "prinsip-prinsip dasar Islam yang universal" kelihatan sekali sudah terbentuk lebih dulu di luar Islam. Misalnya, bagaimana bisa disimpulkan bahwa "prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogami", sementara Nabi Muhammad hidup hampir 28 tahun sebagai monogam, kemudian (setelah wafat sang istri) hampir 10 tahun sebagai poligam dengan banyak istri? Belum lagi ayat Q. 4:3 yang mengatur poligami, serta praktek, boleh dikatakan, semua sahabat Nabi dan ulama generasi demi generasi.

    Karena itu, tidakkah lebih adil melihat poligami, seperti halnya perbudakan (yang dalam Islam melahirkan istilah ummul walad, "ibu si anak", budak perempuan yang digauli dan melahirkan) sebagai bagian dari masa lampau? Bila begitu, "metode Umar" bisa dipakai: poligami boleh dilarang sewaktu-waktu, sebagaimana perbudakan untuk selamanya. Sudah pada tahun 1960 Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan itu "barang halal boleh dilarang," kaidahnya, "tetapi barang haram tidak bisa dihalalkan". Syaratnya, tentu saja, kalau bisa dibuktikan bahwa poligami memang mendatangkan mudarat atau kerusakan sosial, misalnya lewat serangkaian riset yang bertanggung jawab. Dus, bukan didorong gaya hidup dari luar. (Maryam Jameelah, tokoh ultrakonservatif Islam yang berasal dari agama Yahudi, dengan sadar menikah sehagai istri kedua dan, meskipun agak keterlaluan, membela habis semua "kekayaan tradisi Islam").

    Perkawinan Syiah

    Soal kedua: bagaimana bisa dibuktikan bahwa pembagian waris yang 2:l antara pria dan wanita, bersama pewajiban pemberian mahar dan nafkah di pundak laki-laki (di Indo-nesia ditambah panggilan Mas, Abang, Uda, Cak, Akang, dari istri kepada suami yang dianggap lebih tua, dan bukan sebaliknya), bukan dimaksudkan justru untuk membuat sebuah masyarakat Islam yang tenteram, yang "timur", berbeda dari masyarakat Barat yang gelisah dan tegang dan tanpa dimensi keakhiratan? Toh hukum waris bukan satu-satunya yang bisa dipegang dalam soal harta peninggalan. Ada sarana hibah, juga wasiat, di samping bisa ada faktor saling ikhlas dalam keluarga.

    Dengan kata lain, pendekatan tetap bisa dilakukan secara parsial, kalau memang maksudnya mendatangkan manfaat dan bukan mengganti budaya. Usulan tim Departemen Agama untuk memberikan hak waris kepada para cucu, misalnya, yang bertindak sebagai pengganti ayah atau ibu mereka yang meninggal lebih dulu (dalam keadaan mereka punya paman atau bibi, yang dalam hukum waris konvensional menjadi wajib alias penghalang hagi perolehan anak-anak ini), bagus sekali.

    Itu sebenarnya butir salah satu hasil revisi hukum waris di Mesir, yang hanya tidak disebut dalam buku. Begitu pula ketetapan memberikan hak waris kepada anak di luar nikah dari bapak biologisnya—yang sebenarnya berasal dari pandangan mazhab Hanafi tentang perkawinan. Juga, koreksi buku ini terhadap poin nusyuz (pembangkangan) yang selalu hanya dikenakan pada istri, sementara suami yang mangkir dari kewajibannya hampir-hampir tidak dicela.

    Baik. Tapi apa perlunya mengubah wajah perkawinan Islam dengan merombak seremoni ijab-kabul, di samping menggeser posisi mahar? Dan diambil dari budaya manakah pewajiban berkabung, di sini baik untuk suami maupun istri yang meninggal?

    Apa pula keuntungan kawin berjangka, yang—bersama dengan pengucapan ijab-kabul oleh kedua pengantin—merupakan masukan dari perkawinan Syiah, yang bahkan bisa diakadkan hanya untuk waktu satu-dua jam? Itu disebut nikah mut'ah—tanpa wali, saksi, maupun nafkah; hanya ada mahar. Tapi dalam nikah biasa (mereka sebut nikah daim) syarat-rukunnya sama dengan yang ingin dirombak oleh konsep ini.

    Sebuah kerja yang melelahkan, kesannya, dengan dukungan dana dari Asia Foundation pula—lembaga Amerika Serikat yang suka memberi bantuan kepada proyek-proyek semacam. lni setidak-tidaknya bagus buat arsip.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus