Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGKU besi di Amsterdam Central Station terasa dingin disiram angin musim gugur. Kereta Intercity yang saya tunggu akan tiba sepuluh menit lagi. Berhenti sebentar di stasiun pusat, ia bakal meluncur selama tiga jam, melewati Duivendrecht, Utrecht, Hertogenbosch, Eindhoven, Weert, Roermond, Sittart, dan akhirnya berujung di Maastricht.
Maastricht, kota inilah yang saya tuju bersama segepok rasa ingin tahu. Sebuah kota di pinggir selatan Belanda, berbatasan langsung dengan Belgia. Kata orang, Maastricht amat unik lantaran dulu dibangun demi kepentingan militer. Karena itu, didirikan sejumlah benteng. Tapi kini ia telah berkembang menjadi kota budaya.
Perjalanan dengan kereta amat nyaman. Hanya, saya menyesal berangkat sekitar pukul 15.00 karena sampai di Maastricht sudah petang. Setiba di stasiun, saya buru-buru memanggil taksi dengan tujuan Hotel Bastion, tempat saya menginap, yang terletak di Jalan Boschstraat. Sopir taksinya sudah tua, tapi ramah. Dia mengenakan jas hitam yang rapi. Sampai di hotel yang tidak terlalu jauh dari stasiun, ia mengucapkan selamat tinggal dalam bahasa Jerman.
Saya punya waktu dua jam untuk jalan kaki berkeliling kota sebelum mengikuti pembukaan sebuah perhelatan tari, Nederlandse Dansdagen Festival, di Theater Vritjhof, pada pukul 21.00.
Hanya sedikit orang-orang di sepanjang jalan yang bercakap dengan bahasa Belanda. Sebagian besar, sekitar 70 persen, justru berbicara dengan bahasa Inggris dan Jerman. Maklum, sebagai kota perbatasan, Maastricht banyak dikunjungi wisatawan Belgia dan Jerman. Banjir turis mulai terjadi setelah kota ini menjadi tempat konferensi kota-kota Uni Eropa pada 1991. Dari pertemuan itu dibentuklah area Euregio, yang menetapkan Kota Aachen dan Liege sebagai saudara Maastricht, sekaligus menghubungkan kembali jalur Sungai Maas dan Rijn.
Memiliki populasi sekitar 120 ribu, Maastricht menyimpan sejarah panjang. Dulu, pada awal abad ke-13, pemerintah Romawi membangun benteng yang melintasi Sungai Maas yang diapit perbukitan South Limburg. Sejak itulah kota ini diberi nama Maastricht, pengembangan dari kata ”Mosae Trajectum”, yakni tempat kita menyeberangi Meuse (Sungai Maas).
Kota ini juga pernah ditutup oleh sistem fortifikasi militer. Jangan heran bila kini Maastricht menjadi anggota Association of Dutch Fortified Cities. Asosiasi ini terdiri dari 16 kota fortifikasi yang bertujuan melestarikan peninggalan monumental mereka.
Dulu, Duke of Parma, Frederik Hendrik, dan Raja Louis XIV sempat mengepung kota ini. Bahkan D’Artagnan, salah satu anggota Three Musketeers, terbunuh di luar tembok kota pada 25 Juni 1673. Buat mengenang peristiwa ini, setahun lalu Maastricht merayakan Festival D’Artagnan dari Juni sampai September.
Ada tiga benteng yang terkenal di kota ini: Fort Sint Pieter, yang dibangun pada 1701, The Linie van Du Moulin, dan The Kazematten, yang terdiri dari jaringan terowongan bawah tanah. Napoleon, yang pernah mengunjungi Maastricht pada 1803, memilih menjelajahi benteng yang diperluas ketimbang menghadiri perayaan untuknya. Barulah pada 1867 kota ini dibebaskan dari tanggung jawab panjangnya sebagai benteng militer.
Benteng-benteng peninggalan itu masih berdiri kukuh, tapi bau militernya sudah lama menguap. Menurut Usha Gopie, sekretaris bagian pers dan budaya di Kedutaan Belanda, kini Maastricht merupakan satu-satunya kota di bagian selatan Belanda yang memiliki program seni terbanyak. ”Kota itu dikenal dengan acara-acara penting budaya seperti Musica Sacra, Nederlandse Dansdagen, dan International Film Festival,” ujarnya.
Padatnya jadwal budaya bisa dilihat dari berbagai brosur yang tersebar di semua hotel dan kafe. Tahun ini saja, mereka mengadakan European Region Day, festival jazz, hingga pesta teater yang diorganisasikan oleh Toneelacademie (Akademi Teater) Maastricht pada 22-27 November nanti. Rencananya, akan tampil sekolah-sekolah drama dari Jerman, Polandia, dan Lituania.
Salah satu tempat budaya terkemuka adalah Teater Vritjhof. Di sinilah acara Nederlandse Dansdagen dibuka. Dari Boschstraat, saya harus melewati Stadhuis, alun-alun kota yang dipenuhi kafe-kafe outdoor dan digunakan sebagai tempat parkir umum. Cuaca kota ini cerah, tak seperti Amsterdam yang setiap hari terguyur gerimis.
Sampai di Jalan Vritjhof, saya mendapati keramaian pasar malam di depan gedung teater. Saya sempat membeli pita gyros, roti lipat berisi daging dan sayur, di kedai kudapan Yunani di dekat Teater Vritjhof. Sambil menunggui perempuan pemilik kedai menggoreng daging, saya bertanya sejak kapan pasar malam itu berlangsung. ”Sudah hampir sebulan,” ujarnya sambil menaburkan bawang bombai di atas roti bundar. Menurut dia, pasar malam itu rutin diadakan pemerintah kota setahun sekali.
Kulihat anak-anak muda dari berbagai ras hilir-mudik. Cukup banyak kaum imigran. Yayah Sobariah de Reyck contohnya. Perempuan asal Bogor yang tinggal di Antwerp, Belgia, ini rutin singgah ke Maastricht. ”Kalau ingin membeli ikan, saya ke sini. Soalnya di Antwerp susah mendapatkannya,” ujar wanita cantik ini. Dia telah tujuh tahun tinggal di Antwerp setelah menikah dengan lelaki Belgia.
Setelah Vritjhof, tempat budaya menarik lainnya adalah Derlon Theater. Gedung modern yang terletak di timur sungai ini dicapai dengan melalui jembatan St. Servatius, yang dibangun antara 1280 dan 1289 untuk menggantikan jembatan lama yang runtuh pada 1275. Aslinya jembatan ini memiliki delapan lengkungan dan terbuat dari kayu. Kini, besi telah menggantikannya.
Tiba di Derlon Theater, saya melihat bangunan berbentuk hanggar. Gedung ini menempel ke Centre Ceramique, pusat informasi budaya yang didesain Jo Coenen. Di sini, pengunjung bisa melihat karya keramik dan tembikar, serta pameran fotografi dan arsitektur.
Berbelok ke selatan, menyusuri Jalan Avenue Ceramique, saya melihat Bonnefanten Museum, tempat seni kontemporer terkemuka yang dibangun arsitek Italia, Aldo Rossi. Berbentuk kubah melengkung, Bonnefanten menjadi landmark terkemuka Maastricht yang mem-buktikan persetubuhan arsitektur modern dan pelestarian sejarah.
Di dalamnya, sebuah tangga setinggi 35 meter dari kayu akan menuntun pengunjung ke berbagai ruangan. Museum ini memiliki dua koleksi: seni kontemporer, yang terdiri dari lukisan, instalasi, dan proyektor multimedia, serta seni klasik dari abad ke-16 dan ke-17 antara lain karya Rubens, Van Dyck, dan Jordaens.
Sebenarnya masih ada sejumlah museum yang menarik. Di antaranya Natural History, yang memajang sejarah alam daerah South Limburg, kemudian Museum Spanish, dan Dolls Museum, yang menyimpan 400 boneka dari kayu, lilin, dan kertas. Namun, saya tak sempat memasuki tiga tempat indah ini.
Waktu yang pendek tak cukup untuk menjelajahi Maastricht yang memiliki sekitar 1.400 tempat monumental. Saya sebenarnya ingin mengunjungi Gunung St. Pieter di luar Maastricht. Di dalamnya terdapat lorong yang terbentuk dari erosi tanah liat sejak 80 juta tahun silam. Sejarawan Romawi, Pliny, membangun gua yang diteruskan hingga sekarang.
Akhirnya saya memilih menyusuri berbagai situs budaya di dalam kota, dengan bekal peta City Walk Maastricht. Penjelajahan selama setengah jam ini berakhir di Lenculenstraat. Di sinilah terletak rumah tua tempat Toneelacademie Maastricht. Pertunjukan tari yang akan saya tonton di sana digelar di ruangan bawah tanah. Inilah kekuatan Maastricht, yang berhasil menyatukan modernitas dengan peninggalan arsitektur Eropa lama.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo