Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di usianya menjelang dua tahun, Arya seharusnya bisa menikmati berbagai jenis makanan. Tapi, gara-gara alergi, ia hanya bisa makan nasi dengan lauk tertentu. Bila makan daging sapi, ayam, telur, susu dan produk turunannya, bahkan tomat, dapat dipastikan dalam dua hari Arya akan terkena gangguan pernapasan, diare, dan sebagian kulit dipenuhi bintik merah. Gejala tersebut sudah dialami Arya sejak berusia dua minggu. āKalau sudah begitu, pulihnya bisa berminggu-minggu,ā kata Indah, sang ibu.
Indah tentu saja risau dengan kondisi putranya. Apalagi, karena hanya bisa mengkonsumsi jenis makanan yang terbatas, Arya walaupun tidak terlampau kurus terlihat lebih ceking di banding anak-anak seusianya yang tambun dan doyan makan. Disamping itu, gangguan alergi membuat kedua orang tua Arya harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya dokter, bolak-balik menebus obat ke apotek, hingga membeli sabun dan sampo khusus anak penderita alergi. Sebatang sabun seharga Rp 75 ribu, dan sebotol sampo Rp 150 ribu.
Perawatan alergi memang menguras uang yang tidak sedikit. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan biaya yang dikeluarkan di seluruh dunia untuk mengobati akibat alergi sekitar Rp 200 triliun per tahun. āAlergi telah menjadi beban abad ke-21,ā kata Sibylle Koletzko, pakar pencernaan anak dari Ludwig Maximilians, University Muenchen, setelah berbicara di ha dapan 60 dokter spesialis anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, tiga pekan lalu.
Alergi pada anak memang bukan fenomena baru. Tapi yang menarik adalah hipotesis termutakhir tentang alergi, yaitu semakin tinggi dan beragamnya alergi seiring dengan meningkatnya kehigienisan suatu tempat atau lingkungan. Artinya, bila si anak berasal dari golongan menengah atas, seperti Arya, dengan hidup bersih dan serba tertata, ancaman alergi malah tinggi. Koletzko mencontohkan, bayi yang dilahirkan di rumah sakit terbaik, dengan standar kebersihan yang sangat tinggi dan higienis, bisa dipastikan bayi itu terlindung dari segala infeksi mi kroba dan kuman. Itu bagus. āNamun, karena bayi tak terkena infeksi, sistem kekebalan tubuhnya lambat berkembang, sehingga mengalami kelainan sistem kekebalan yang berpotensi mengembangkan alergi,ā kata Koletzko.
Alergi merupakan gangguan terha dap sistem daya tahan anak. Pada bayi yang menderita alergi, respons daya tahan tubuhnya sangat berlebihan, bahkan terhadap zat atau substansi asing yang tidak membahayakan tubuhnya. Gejala tersebut mulai gangguan pernapasan, gangguan saluran pencernaan, hingga masalah kulit. Gejala yang paling mudah ditemui pada anak usia dini adalah infeksi kulit seperti ruam merah, diare, dan muntah-muntah. Ketika usia bertambah, gejala alergi bisa berupa asma dan sinus. Bahkan alergi dapat menyebabkan kondisi kritis hingga kematian anak.
Sampai saat ini alergi lebih banyak menyerang anak-anak di negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara ini diperkirakan salah satunya karena tingkat kebersihan dan sanitasi lingkungan yang makin baik. Di Eropa, lebih dari separuh anak menderita alergi. Sebanyak 30 persen asma dan 21 persen sinusitis. Di Indonesia, prevalensi alergi meningkat signifikan sejak 1960-an. Lima dekade lalu, tak sampai lima persen anak yang mengalami alergi, dan kini diperkirakan lebih dari 20 persen anak menderita gejala alergi.
Menurut Koletzko, munculnya alergi berkaitan dengan sel T Helper, yakni sel yang berperan mengatur fungsi kekebalan tubuh. Sel ini berfungsi mengenali benda asing yang masuk dalam tubuh. Ada dua macam sel T Helper, yaitu T Helper 1 (TH 1) dan T Helper 2 (TH 2). Jika terjadi infeksi dalam tubuh, sistem imun tubuh sibuk melawan infeksi dan tidak sempat mengembangkan alergi. Sel TH 1 meningkat bila terjadi infeksi. Sedangkan sel TH 2 meninggi bila seseorang terkena alergi, dan tak terkena infeksi.
Menurut Koletzko, dalam kondisi sehat, jumlah sel TH 1 dan TH 2 dalam tubuh seimbang. Makin sering bayi terkena infeksi, sel TH1 menjadi dominan dan menggusur sel TH 2. Akibatnya, alergi tak muncul, tapi yang berjaya adalah penyakit-penyakit infeksi. āInilah yang menjelaskan mengapa pada lingkungan yang kotor kasus alergi nya rendah,ā ujarnya. Dan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Koletzko di sejumlah negara berkembang dan miskin, terbukti bahwa tingkat alergi berada di bawah lima persen, berban ding terbalik dengan di negara-negara Eropa.
Nah, untuk menekan risiko terkena alergi, ada baiknya bila membiarkan anak-anak bermain di tempat yang tidak higienis, seperti sawah atau tanah lapang. Tak perlu takut terhadap ancaman infeksi cacing, karena anak yang pernah cacingan justru lebih aman dari risiko alergi karena minimnya sel TH2. Sedikit kotor justru lebih baik bagi tubuh. āTapi tentu jangan terlalu lama membiarkan anak bermain di tempat kotor, karena kita tidak ingin anak-anak kita menderita karena TBC atau campak,ā kata Koletzko.
Sampai saat ini, penyebab pasti alergi memang belum diketahui. Lingkungan yang bersih jauh dari infeksi itu memungkinkan daya tahan tubuh lebih rentan terhadap alergi. āSejumlah penelitian menunjukkan faktor genetika dan pola makan dapat menambah risiko anak terserang alergi,ā kata Koletzko, sekretaris asosiasi pakar kesehatan pencernaan anak Eropa. Selain itu, gaya hidup, lingkungan, dan pengaruh asap rokok selama ibu hamil dan terhadap bayi menjadi penyebabnya. Dari faktor genetika, anak yang lahir dari orang tua yang memiliki alergi berisiko mewarisinya 40-80 persen.
Makanan adalah pencetus utama alergi. Di negara-negara Asia Tenggara, susu sapi dan telur merupakan bahan yang paling sering menyebabkan alergi. Adapun di Indonesia, empat besar makanan yang memicu alergi pada bayi adalah kelompok makanan laut seperti kepiting dan udang, kacang-kacangan, telur, dan susu sapi. Orang tua tentu saja harus menghafal makanan apa saja yang menyebabkan alergi pada bayi mereka. āMenghindari makanan pencetus alergi pada bayi merupakan cara terbaik,ā kata Koletzko.
Selain makanan, alergen dapat ditim bulkan bahan lain yang ada di sekeli ling bayi,antara lain debu, bulu hewan, serbuk sari, dan tungau. Alergi yang disebabkan oleh bahan nonmakanan tentu lebih mudah dihindarkan. Bila bayi menderita alergi debu, misalnya, orang tua cukup menjaga kebersihan rumah, mengganti alas tempat tidur, gorden, membersihkan penyaring udara pada penyejuk ruangan, dan menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan tapi menumpuk di rumah.
Tentu, mencegah alergi sejak dini merupakan cara paling murah dan paling dianjurkan. Menurut dokter Zakiudin Munasir, melonjaknya kasus alergi pa da anak di Indonesia, selain disebabkan faktor genetika, dipengaruhi kondisi lingkungan dan tak kalah pen ting adalah gaya hidup orang tuanya.āAkan lebih baik bila melakukan tindakan pencegahan sejak masa kehamilan dan kelahiran,ā katanya. Ia mengatakan bayi yang terkena alergi, di masa dewasanya juga memiliki risiko lebih besar menderita alergi.
Zakiudin mengatakan alergi hanya mengenai anak yang memiliki bakat alergi, yang disebut atopik. Atopik ini warisan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Anak yang memiliki atopik, dalam kasus alergi makan, mengembangkan respons berbeda atas benda yang masuk dalam tubuh. Misalnya alergi susu. Bagi orang normal, susu dikenal sebagai minuman dan bermanfaat. Namun tubuh yang memiliki atopik mengenali susu sebagai benda asing dan berbahaya. āSehingga tubuh menjadi alergi,ā kata dia.
Adek Media, Nur Rochmi
Bila Bayi Mengalami Alergi
Mencegah alergi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo