Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bila Hidup Hanya Mimpi…

Sebuah film kehidupan di dalam mimpi di dalam mimpi di dalam mimpi. Batas antara mimpi dan kenyataan semakin tipis.

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inception
Sutradara: Christopher Nolan
Skenario: Christopher Nolan
Pemain: Leonardo DiCaprio, Ellen Page, Joseph Gordon-Levitt, Cillian Murphy, Marion Cotillard

Ketika penyair John Keats menggumamkan ”mungkinkah mati itu tidur, bila hidup hanya mimpi” dalam puisinya Tentang Mati, hatinya bisa membaca jauh di alam sadar manusia tergelap. Keats tahu, ada saat kita tak ingin bangun dari tidur.

Ketika sutradara Christopher Nolan bermain-main tentang persoalan realita dan mimpi dalam film terbarunya, ia tak hanya menyajikan visi penyair John Keats, tetapi dia memperlihatkan bahwa film dan puisi bisa melebur menjadi sebuah mimpi yang dahsyat. Yang membuat kita enggan bangun. Film Inception arahan Nolan yang terbaru tampaknya akan menjadi film yang paling dibicarakan dan diperdebatkan penontonnya (termasuk di Indonesia) bukan hanya tahun ini, tapi satu dekade ke depan.

Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah tokoh yang selalu dicari untuk urusan ”menyelinap” ke dalam alam pikiran orang lain. Begitu dahsyatnya, Cobb dianggap mampu mengubah cara berpikir seseorang dengan melakukan ”inception”, yaitu upaya menyelinap dan memasukkan ide di dalam mimpi yang direkayasa. Tugasnya yang terbaru kini adalah pesanan seorang pengusaha besar Saito (Ken Watanabe), yang ingin Cobb melakukan infiltrasi dan menanamkan ide ke alam pikiran Robert Fischer Jr (Cillian Murphy), pesaingnya.

Untuk melaksanakan tugas yang sulit ini, Cobb membentuk sebuah tim baru: sobatnya, Arthur (Joseph Gordon-Le vitt), yang sudah lama menjalan kan bisnis ini bersama Cobb; Ariadne (Ellen Page), yang ditugasi mendesain berbagai tingkatan dunia mimpi; dan Yusuf (Dileep Rao), ahli kimia yang bertugas meramu bahan yang akan membuat mereka tertidur dan melayang ke alam mimpi yang direkayasa sedemikian rupa hingga semua tokoh bisa bertemu dalam mimpi yang sama.

Karena mimpi itu bisa direkayasa hingga tahap tertentu dengan peraturan tertentu, setiap kali kita memasuki mimpi salah satu tokoh itu, kita seperti masuk ke sebuah ”dunia baru” dengan tata peraturannya sendiri yang hanya bisa dikendalikan oleh orang-orang yang terlibat. Problem Cobb yang paling pelik: bayang-bayang almarhum istrinya, Mal (Marion Cotillard), yang terus-menerus ”menarik” Cobb untuk tetap tinggal di dunia mimpi itu dan bujukannya agar dia tak pernah lagi kembali ke dunia nyata. Itu adalah salah satu bahaya ramuan kimia ini. Jika mereka memutuskan berlama-lama ”tidur dan mimpi”, akhirnya mimpi menjadi realita dan sebaliknya realita (yang begitu busuk) menjadi mimpi buruk.

Itulah fungsi Ariadne yang terus-menerus mengingatkan Cobb agar jangan tergoda untuk bertahan di dunia mimpi. Cerita semakin kompleks ketika kelompok infiltrator pimpinan Cobb ini memutuskan masuk ke dalam mimpi di dalam mimpi: artinya mereka menye—lam ke bagian paling dasar dan gelap dalam diri manusia.

Visualisasi dunia mimpi ciptaan Nolan mungkin belum tertandingkan oleh film-film lain yang menggunakan anggaran yang sama besarnya. Teknologi CGI yang kini menjadi pegangan populer sineas Hollywood memang sesuatu yang dianggap wajar. Asal punya duit dan visi: jadilah film besar seperti Ava tar (James Cameron). Tetapi tak semua sineas berhasil menjelajahi kedahsyatan visual—dengan CGI—sekaligus mengawinkan dengan cerita yang tepat. Nolan, yang pernah melahirkan film Memento, yang juga bermain dengan soal waktu dan ruang, kini dalam film Inception berhasil bermain dengan visual, teknologi, dan cerita yang unik.

Seperti kata-kata penyair Keats, kita berhasil tersihir dan masuk dalam dunia mimpi Nolan, dan bahkan ikut hanyut dan terombang-ambing bersama Cobb. Keputusan akhir Cobb untuk tetap bertahan dalam mimpi atau ”bangun kembali” adalah adegan yang mencabik hati. Dan emosi inilah yang jarang muncul dalam film-film dengan duit besar dan teknologi akbar. Namun Nolan, seperti juga penyair Keats, adalah para pemburu mimpi. Mereka selalu lebih mementingkan gerak hati. Itulah yang menyebabkan Inception bukan hanya sebagai film yang paling dibicarakan dekade ini, tetapi juga puisi yang bernyanyi tentang mimpi.

Lela S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum