Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mendaras Cat Diatas Air

Agus Budiyanto menekuni seni lukis cat air selama 30 tahun. Belajar banyak tentang karakter cat dan kertas.

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Italia, musim dingin awal Desember 2007. Termometer menunjuk pada angka minus 7 derajat Celsius. Kepala Agus Budiyanto kenyut-kenyut karena lukisannya, Enigma of Color #9, tak bisa dicopot dari kayu lapis yang menjadi alasnya. Lukisan cat air di atas kertas seukuran 2 x 3 meter itu hendak digulungnya agar bisa dibawa pulang ke Jakarta.

Lukisan itu belum mengantongi surat keterangan dari Departemen Keuangan surat itu baru diterimanya setelah dia pulang sehingga bila dibawa begitu saja akan kena pajak barang impor mewah yang mencapai Rp 7 juta. Padahal isi kantongnya sudah terkuras habis untuk membiayai keikutsertaannya dalam Biennale Internazionale Dell’Arte Contemporanea di Florence.

Waktu di Jakarta, dia sudah meng uji coba cara memasang dan melepas lukisan itu berkali-kali dan berhasil. Tapi, karena suhu ekstrem di Florence tak dipertimbangkan, biar dibasuh dengan air panas pun, lukisan itu tak juga copot. ”Kalau saja saat itu saya punya kenalan di sana, saya kasih deh itu lukisan,” kata Agus, Rabu pekan lalu. Akhirnya, sambil menangis dia menghancurkan lukisan kebanggaannya itu. ”Sakit rasanya. Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya seorang seniman yang harus merusak sendiri karyanya.”

Pengalaman pahit itu mendorong dia lebih dalam mendaras cat air, seni lukis yang jarang dijamah perupa masa kini. Dia belajar mengenali kekuatan dan kekhasan kertas dan akuarel, teknik melukis transparan dengan cat air. Dia tahu ada jenis kertas yang akan meng ubah warna cat air di atasnya.

Segala penggaliannya selama 30 tahun menekuni cat air itu ia sajikan dalam pameran tunggal AquarEvolution di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, dua pekan lalu. Pada saat bersamaan, Agus juga meluncurkan buku berjudul sama yang memuat 250 lukisan pilihan. Buku setebal 300 halaman itu disusun Bruce W. Carpenter, sejarawan seni yang banyak menulis soal seni Jawa dan Bali. Di situ Carpenter menulis esai tentang posisi Agus di tengah perkembangan seni lukis cat air di Nusantara. Adapun Jean Couteau, peneliti seni asal Prancis, membahas periode abstrak sang perupa serta membandingkannya dengan Jackson Pollock dan Mark Rothko, dua pelukis abstrak legendaris Amerika Serikat.

Perkenalan pertama Agus dengan cat air terjadi ketika ia dihadiahi ayahnya sekotak cat air saat duduk di kelas II sekolah dasar. Sejak itu, pria kelahiran Jakarta pada 1960 ini mulai menggambar dengan alat tersebut. ”Pernah satu kali saya coba menggunakan cat minyak, tapi ternyata tidak cocok dan akhirnya balik ke cat air,” katanya.

Kegiatan lukis-melukis ini makin tersalurkan sejak dia bergabung dengan para seniman di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Pada masa remajanya, dia mengikuti berbagai lomba lukis dan pameran seni rupa, seperti Pameran Seni Rupa Jakarta pada 1979 dan beberapa pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Pada periode itu, hampir secara berturut-turut dia menerima beberapa penghargaan, termasuk seniman terbaik Jakarta Selatan pada 1979 dan 1980, pemenang Lomba Lukis Cat Air di Jakarta Selatan pada 1979, seniman terbaik Jakarta pada 1982, dan sketsa terbaik dalam Pameran Sketsa Bersama Sanggar Garajas dari Dewan Kesenian Jakarta.

Agus belajar melukis secara otodidak. Dia mengaku tak pernah ikut sanggar atau kursus lukis apa pun. ”Pada dasarnya, semua hal itu bisa dipela jari. Semua teknik lukis itu kan ada buku nya. Tinggal lagi usaha keras sang seniman,” katanya.

Dia sempat mendapat pendidikan desain grafis selama setahun saat masuk departemen seni di Hotel Hilton, tempatnya bekerja seusai tamat sekolah menengah atas. Di hotel itu, ia membuat berbagai perlengkapan hotel, dari dekorasi meja sampai latar panggung, hingga akhirnya memimpin departemen tersebut.

Titik perubahan terjadi ketika krisis moneter melanda pada 1998. Istrinya kehilangan pekerjaan dan Agus harus menentukan pilihan kariernya: terus bekerja di hotel atau melukis. Saat itu, dia masih melukis dan beberapa kolektor membeli lukisannya, tapi kegiatan melukis tetaplah hanya sampingan.

Agus lalu menggelar sebuah pameran tunggal di World Trade Center, Jakarta, pada 2000. ”Saya memohon kepada Tuhan agar memberikan tanda-tanda. Saya berjanji, kalau lukisan saya terjual 30 persen saja, saya akan memilih menjadi pelukis total,” katanya.

Tanda-tanda itu begitu kentara. Dari 80 lukisan yang dipamerkan, 70 persennya terjual habis. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Agus pun menceburkan diri sepenuhnya ke dalam seni lukis cat air. Dia berpameran tunggal sebanyak 14 kali sejak 2000 hingga 2008 di Jakarta, Solo, Bali, dan Singapura. Dia juga sempat bergabung dengan Persatuan Pelukis Cat Air Indonesia, tapi keluar karena perbedaan pendapat dengan anggota lain.

Seniman yang tinggal Villa Japos, Ciledug, Tangerang, ini juga memberikan pelatihan melukis melalui Agus Budiyanto Aquarelle Studio. Muridnya tak banyak, hanya sekitar 45 orang, karena dia mengaku hanya bisa mengajar sekitar delapan orang dalam satu kelas. Praktis kegiatan sehari-harinya hanya melukis. Dari Senin sampai Jumat, dia berkeliling memberikan pelatihan di beberapa kelompok lukis dan Sabtu-Minggu dia melukis di rumah.

Latihan-latihan itu mengasah kepe rajinannya. Melukis dengan cat air butuh waktu cepat, berkejaran dengan air yang cepat kering. Setelah lukisan kering, kertas biasanya jadi keriting. Masalah ini jadi lebih rumit bila melukis di kanvas besar.

Agus menemukan teknik melukis di atas media basah. Pertama-tama, kertas dibasahkan hingga mengembang maksimum, lalu ujung-ujungnya dijepit untuk menahannya agar tak mengkerut. Dalam keadaan kertas setengah basah, Agus mulai menyapukan cat airnya dengan cepat. ”Butuh waktu sekitar 50 menit untuk menyelesaikan satu lukisan,” katanya.

Kelebihan cat air adalah warnanya terserap kekertas sesuai dengan derajat kebasahan di permukaannya. Hal ini menghasilkan beragam efek transparan, termasuk perubahan warna pada lapisan-lapisan cat. Setelah kering, lukisan itu ditempel ke papan, lalu dipernis dengan cairan pelindung transparan.

Agus menggunakan kertas berteknologi tinggi yang tahan jamur dan antirayap merek Arches bikinan pabrik kertas Prancis yang sudah diakui sejak 500 tahun lalu. Kertas khusus untuk melukis dengan cat air itu jadi langganan para maestro dunia, seperti Picasso dan Dali. Dalam pamerannya ini, Agus kebanyakan menggunakan kertas seberat 300 gram dan 600 gram serta cat air merek Rembrandt dan Winsor & Newton.

Lukisan-lukisan Agus bergaya abstrak. Semuanya dilukis dengan cat air di atas kertas ukuran raksasa. Rata-rata lebih dari 1 x 1 meter. Beberapa lukisan dipecah dalam tiga hingga lima bagian. Yang terbesar adalah Musik Kota #1, di atas sehelai kertas ukuran 2,6 x 5,7 meter. Lukisan itu menggambarkan gemuruh kota besar dengan sapuan warna-warna kotor, hitam dan abu-abu, dengan sedikit bayangan rumah dan bangunan yang tersaput kabut. Gelegar ombak dia tampilkan dalam tiga seri Blue Ocean yang didominasi warna biru dan ciprat an air dalam garis-garis putih.

Agus juga bereksperimen dengan materi tambahan. Dia membuat gulungan-gulungan kertas yang disusun sejajar horizontal dan ditempel ke kertas dalam Movement. Kertas krep dia pelintir menjadi panjang dan disusun melingkar rapat seperti obat nyamuk bakar dalam tiga seri Three Movement.

Kegelisahannya terhadap nasib lingkungan dia ungkapkan dalam instalasi beberapa kecambah dari kertas yang digantung seakan melayang di atas tanah. Ada pula gantungan daun-daun kering dengan kata-kata bijak di setiap daun. ”Saya sedih melihat alam yang makin rusak dan tak ada pihak yang mau bertanggung jawab,” katanya.

Rizki A. Zaelani, kurator pameran, menyebutkan karya Agus telah berusaha menjauhkan kita dari persepsi mengenai cat air yang konvensional. ”Tak lagi re levan untuk menyebut soal identifikasi material dan obyektif karya cat air sebagai masalah ‘kekurangan’,” katanya.

Cat air selama ini dianggap hanya sebagai alat dalam latihan melukis, bukan alat utama pelukis. Akrilik dan cat minyak jelas lebih populer dalam seni lukis. Padahal cat air sempat memperoleh masa keemasannya di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di kalangan pelukis pemandangan alam di Inggris dan Prancis. Bahkan para maestro era Romantik, seperti William Blake, malah memilih cat air ketimbang cat minyak untuk menghasilkan adikaryanya.

”Saya heran, mengapa para perupa yang dulu belajar melukis dengan cat air di sekolah atau kampusnya kini malah tak pernah melukis dengan alat itu. Saya kira ada masalah kemalasan dalam mengembangkannya,” kata Agus.

Cat air cenderung dianggap sebagai alat untuk anak-anak sekolah dasar belajar menggambar. Secara artistik, warnanya tak secerlang cat minyak. Ia juga dianggap tak tahan lama dan kertas yang menjadi medianya mudah pula robek. ”Padahal, kalau mau disandingkan antara lukisan cat air dan cat minyak yang sama-sama disimpan di museum, saya yakin lukisan cat air akan sama awetnya. Bahkan banyak lukisan cat air kuno yang ditemukan di Cina sudah berusia ratusan tahun dan masih utuh,” kata Agus.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus