Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan tanpa penonton; Empty Theatre, kata Krisna Murti. Dan pada akhirnya pertunjukan itu bukan hanya nirpenonton, juga tanpa tontonan. Sembilan tokoh wayang orang yang hadir dan bermain mendadak berpusing cepat dan berubah menjadi berjuta noktah dan lenyap. Atau, di adegan lain, Bagong, Kresna, dan Srikandi yang hadir di layar tiba-tiba meledak berkeping-keping dan hilang. Seperti sebuah bom tersimpan dalam tubuh masing-masing dan meledak bersama-sama.
Itulah suguhan karya instalasi vi deo Krisna Murti di Bentara Budaya Jakarta pekan lalu. Berbagai tafsir bisa muncul. Mungkin Krisna berbicara tentang proses semesta yang tak mungkin ditolak: yang ada akan tiada. Lalu, ketika semesta pun lenyap, apa yang tinggal? Apa pula makna keabadian? Apa pula yang disebut ”ada”?
Tapi Krisna menunda renungan tentang semesta. Ia sesungguhnya menghadirkan pameran ini dari nostalgia pada Wayang Orang Ngesti Pandawa di Semarang. Dulu, sebelum televisi hadir di Indonesia, inilah tontonan yang sekaligus menghibur, meniupkan gosip, mengkritik pemerintah dan lain-lain, serta melontarkan pepatah dan petitih. Kemudian televisi menggeser peran pertunjukan wayang orang, pelan tapi sulit dielakkan.
Maka, di pertengahan 1980-an, setelah 20-an tahun televisi menjadi ritual keseharian kita, membuat kita berat melangkah ke luar rumah, Ngesti Pandawa kehilangan sebagian besar penonton. Senjakala wayang orang, begitu Susanto Pudjomartono menulis di Tempo, 18 Februari 1984.
Dan tahun lalu, 2009, pada suatu malam Minggu, Krisna Murti menyaksikan sendiri: hanya 20-an penonton di Ngesti Pandawa, di malam yang dulu adalah prime night. Maka Krisna berniat melaporkan ”persoalan” ini. Niat itu terwujud sudah dalam pameran karya video dan cetak digital bertajuk Mute! Theater seperti diceritakan ini.
Bagi Krisna, yang terjadi di panggung berbeda dengan di kursi penonton. Di panggung, ”Gambar dekor yang masih dilukis secara manual itu tetap memicu fantasi, gamelan tetap membawa saya ke ’dunia lain’ dan seperti memijat jiwa yang lelah secara industrial.”
Namun tampaknya Krisna tetap terobsesi oleh hanya ada 20-an penonton itu. Apalagi, di tengah asyik bernostalgia serta merekam dengan kamera video, seseorang yang tak dikenalnya menghampirinya dan berkata: ”Pak, pertunjukan Jawa ini sebentar lagi punah.” Saya kira, itulah mengapa karya instalasi video Krisna tentang pertunjukan tanpa penonton.
Dan pada akhirnya, imajinasi Krisna berkembang jauh: para tokoh wayang itu pun meninggalkan panggung. Mereka, sambil tetap mempertahankan ”pribadi” masing-masing, hadir dalam hidup masa kini. Sebelas foto cetak di gital merekam pengembaraan para tokoh wayang.
Syahdan, Bagong sang bungsu puna kawan tiba-tiba nampang di depan toko kosmetik metropolitan bersama dua kerbau albino. Wajahnya sumringah, mungkin karena ia merasa tetap hadir biarpun secara virtual.
Pergiwati, istri Gatotkaca, menari di depan warung KFC, santai tanpa mempedulikan perbedaan zaman. Pergiwati ini pula yang menerawang jauh di tengah murid-murid berjilbab di sebuah sekolah.
Ah, jangan kaget bila Dewi Sinta, yang konon bertahun disekap dan bertahan dari godaan Rahwana, kini muncul di toko butik nan gemerlap. Di sam pingnya, seorang model berkacak sebelah pinggang dengan model pakaian yang memamerkan pusar.
Dan di sebuah bangunan kuno yang tak lagi utuh, kusam dikelilingi tanaman liar, Gatotkaca, Kresna, dan Srikandi bersidang. Tampak di halaman, ketiga punakawan Gareng, Pet ruk, dan Bagong santai menunggu.
Toh, pada akhirnya, kesepuluh tokoh wayang itu berkumpul, berdiri dengan komposisi membentuk segitiga, di depan lahan kosong yang dikeruk. Adakah Krisna Murti mensugestikan tanah kubur dunia pewayangan?
Bisa jadi demikian, setelah Kresna (tokoh wayang itu, bukan Krisna Murti) yang berusaha mengatur lalu lintas dengan berdiri di lajur penyeberangan jalan, tampaknya sia-sia.
Tak sulit menengarai bahwa kesepuluh tokoh wayang itu sama wajahnya: wajah Krisna Murti. Dan seniman ini bukan sekadar mewakili sang wa yang. Menurut saya, dalam diri Krisna, wa yang sebagai masa lalu telah meng endap, lalu muncul di saat-saat tertentu.
Saat tertentu itu bisa ketika seniman ini dihadapkan pada kultur dunia masa kini yang glamor, gemerlap, dan megah. Ketika ia harus berhadapan dengan baliho-baliho iklan yang seksi dan provokatif. Juga dengan proses penggerlapan yang sama sekali tidak menyenangkan: pembongkaran dan perataan lahan serta penggalian sebelum pembangunan.
Tapi mengapa wayang orang?
Itu pengalaman pribadi Krisna Murti. Nasib wayang orang menyentuh hati, naik kepikiran, kembali mengendap di bawah sadar, dan akhirnya sebuah penelitian, lalu sebuah proses kreatif sesuai dengan keahlian Krisna.
Kita, khalayak, bisa saja ”menerjemahkan” wayang itu ke ide atau konsep budaya yang lain. Randai, atau tari Dayak. Dan memang ada beberapa karya foto digital bertema itu: seseorang dengan pakaian tradisional Sumatra Barat memperbanyak diri ”menjaga” gunung batu bara. Dan seseorang berpakaian tradi sional Dayak berdiri bak dewi di depan hutan yang hangus porak-poranda.
Inilah pameran karya instalasi video dengan tiga rekaman, dan sekitar 20 karya foto cetak digital, digarap dengan cermat oleh seorang seniman dan budayawan yang bisa dikatakan pelopor seni rupa video di Indonesia, dan penulis esai yang jernih (lihat Esai tentang Seni Video dan Media Baru (kumpulan esai Krisna Murti, IVAA, Yogya, 2009). Betapa rapi segalanya tersuguhkan mencerminkan Krisna tak hendak setengah-setengah.
Kalau karya-karyanya bukan hanya rapi dipandang, juga menawarkan gagasan-gagasan dalam bahasa video dan foto digital, karena ia berangkat dari hati dan diwujudkan dengan dukungan penelitian yang cukup.
Dan penelitian bagi Krisna bukanlah penelitian berjarak. Ia masuk dan terlibat secara emosional dengan subyek penelitiannya. Ia, menurut katalog, asyik berbincang dengan sutradara Ngesti Pandawa, Mas Dayat. Dan bukankah dia sendiri yang memerankan wayang-wayang itu?
Penelitian untuk sebuah karya seni dan budaya saya kira memang seperti itulah layaknya. Ingat, misalnya, Sardono W. Kusumo sampai tinggal di Dirah, Bali, dan menjelajahi hutan Kalimantan serta mengarungi sungai di Papua untuk karya-karya koreografinya (Sardono W. Kusumo, Hanuman, Tarzan & Homo Erectus, Kubuku, 2004). Dan ia tak hanya ”berubah”, lingkungan tempat ia pernah berada pun punya pengalaman baru.
Soalnya, bagaimana mungkin seni man bisa berbagi pengalaman bila ia tak menyimpan pengalaman itu? Pengalaman yang ditimba dari keseharian atau dari mana saja, yang disadari atau tidak, tapi begitu menyentuh, menggetarkan, dan mengharu-biru seluruh kediriannya?
Sesungguhnya, seni rupa video dan seni rupa media baru merupakan alternatif seni rupa yang masih mengandalkan museum, galeri, dan pameran bienal. Teknologi media dan informasi memungkinkan para senirupawan (siapa pun yang berkarya seni rupa adalah senirupawan) merengkuh masa kini dan menggali masa lalu untuk meneropong masa depan.
Seni rupa video, misalnya, memudahkan penyuguhannya kapan saja dan di mana saja. Seniman tinggal mengirimkan keping video, bisa sekaligus beberapa kopi ke beberapa tujuan, dan pameran pun bisa dilakukan serentak di banyak tempat di sembarang waktu.
Kodrat seni rupa video dan media baru inilah yang kurang dihadirkan dalam Mute! Theater ini. Di Bentara Budaya, pameran ini disajikan seperti menyajikan pameran lukisan atau foto seperti lazimnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo