Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA video game selalu menjadikan Marco Pangestu, 21 tahun, sebagai pemenang. Mahasiswa program profesi kedokteran di Jakarta itu jadi maniak game sejak usia sekolah dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Marco bermain bersama kakaknya, yang usianya cuma terpaut setahun. Sejak kecil, Marco merasa orang tuanya kerap membanding-bandingkannya dengan sang saudara tua. "Di sekolah dia selalu ranking satu, saya cuma tiga besar. Tapi, di game, saya yang menang, ha-ha-ha," kata Marco, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marco terus bermain, sedangkan kakaknya sudah lama berhenti. Selain bermain game di rumah, ia kerap menghabiskan hari di warung Internet. Dia rela mengurangi jajan dan pulang sekolah dengan berjalan kaki satu jam supaya bisa lebih lama bermain Seal Online, Dota, atau AyoDance, termasuk saat ada ujian nasional (UN). "Waktu UN saya pulang jam 10 malam, bilang ke orang tua ada pelajaran tambahan, padahal saya nge-game di warnet," ujarnya.
Dia berulang kali berusaha melepas adiksi terhadap game. Tapi niat tinggal niat. Marco baru bisa stop bermain saat laptopnya jebol. "Waktu itu berhenti setahun. Tapi setelah laptopnya dibetulin ya main lagi, ha-ha-ha," katanya.
Perkara kecanduan game menjadi perbincangan hangat setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis revisi kesebelas International Classification of Diseases (ICD-11), dua pekan lalu. Dalam daftar tersebut, adiksi game digolongkan sebagai penyakit. Ketagihan bermain game disebut memiliki efek yang sama dengan kecanduan judi dan seks. "Terbukti secara klinis dapat mengembangkan gangguan fungsi pribadi," kata Koordinator Departemen Kesehatan Jiwa dan Penyalahgunaan Zat WHO, Vladimir Poznyak.
Ada empat gejala yangdimasukkan WHO sebagai indikator gamingdisorder tersebut. Menurut Poznyak, prevalensi penderita gaming disorder sangat rendah. "Penggemar game di seluruh dunia berjumlah jutaan, tapi hanya sedikit yang memenuhi kriteria mengalami gaming disorder," katanya.
International Classification of Diseases adalah dasar identifikasi tren kesehatan duniadan menjadi standar dunia untukmelaporkan penyakit serta kondisi kesehatan. WHO akan mempresentasikan ICD-11, yang digodok selama satu dekade, di Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2019 dan mulai memberlakukannya pada 1 Januari 2022.
WHO masih menunggu masukan dari negara anggota. Indonesia juga akan mengirim tanggapan. "Pada dasarnya, ICD-11 mempertegas apa yang selama ini sudah kami lakukan," kata Fidiansjah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan.
Menurut Fidiansjah, dokter kesehatan jiwa menggunakan panduan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang dibuat American Psychiatric Association. DSM, selain ICD, adalah panduan para psikiater sedunia. DSM IV, yang dikeluarkan pada 2010, mengkategorikan masalah kecanduan tidak hanya disebabkan oleh benda yang dimasukkan ke badan, seperti narkotik, tapi juga oleh non-materi yang berefek sama.
Kriteria kecanduan yang disebutkan di antaranya mengulang-ulang suatu hal, hal tersebut menimbulkan ketergantungan, menuntut penambahan, dan kalau tak mendapatkannya akan menjadi gelisah. "Sedangkan zat yang menyebabkannya bisa mengikuti perkembangan zaman, seperti pornografi dan sekarang game," kata Fidiansjah, yang juga Ketua Seksi Reliji Spiritualitas dan Psikiatri Pimpinan Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa.
Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Eva Suryani, kecanduan adalah penyakit otak. Tak bisa mengendalikan keinginan adalah tanda bahwa ada bagian otak yang rusak. Adapun menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Kristiana Siste, dalam proses kecanduan, orang awalnya akan mencoba melakukan sesuatu. Ketika dia berhasil, sistem penghargaan di otak bekerja. Otak akan memproduksi dopamin sehingga timbul rasa senang. Efek kegembiraan inilah yang membuat orang cenderung mengulang terus perbuatan yang sama.
Lama-kelamaan sensitivitas reseptor dopamin menumpul sehingga membutuhkan produksi lebih banyak agar efek kesenangan itu hadir lagi. Akibatnya, makin lama orang akan makin meningkatkan frekuensi atau memperlama waktu pemakaian. "Pada pecandu putaw, misalnya, dari awalnya 1 gram nambah jadi 2-3 gram. Kalau game, bisa nambah durasi jam atau ganti-ganti permainan dengan kesulitan yang makin meningkat," ujar Kristiana. Tapi lambat-laun reseptor yang makin tak peka ini membuat nikmat yang semula didapat tersebut lenyap meski waktu bermain sudah lama atau konsumsi lebih banyak.
Selain reseptor dopamin yang baal, bagian otak di area korteks prefrontal yang terletak persis di belakang dahi menjadi rusak. Bagian ini bertugas mengontrol kita melakukan sesuatu yang impulsif. Karena pengontrol jebol, orang yang kecanduan tak bisa mengendalikan keinginan mereka. Akibatnya, meski kesenangan sudah tak didapat, banyak pecandu game yang susah berhenti karena tak bisa mengendalikan diri. "Banyak pasien yang datang bilang, 'Dok, saya sebenarnya ingin berhenti, tapi tak bisa'," kata Kristiana.
Riset Gregory West dari Universite de Montreal dan Veronique Bohbot dari McGill University, Kanada, yang dipublikasikan di jurnal Molecular Psychiatry edisi Agustus 2017, membahas soal ketagihan game tersebut. Peneliti merekrut sejumlah orang berusia 18-30 tahun yang awam game. Mereka diminta bermain game jenis first-person shooter dan diamati selama empat tahun. Hasilnya: 85 persen dari mereka yang bermain lebih dari enam jam menunjukkan kenaikan aktivitas pada bagian sistem navigasi di nucleus caudatus dibanding pada sistem navigasi bagian otakhippocampus.
Nucleus caudatus adalah bagian otak tengah yang ikut membangun struktur ganglia basalis dan berfungsi mengatur gerakan motorik sadar, memori, tidur, serta perilaku sosial. Sedangkan hippocampus adalah bagian dari sistem limbik yang bertanggung jawab dalam hal memori jangka panjang serta navigasi ruangan.Itulah bagian pertama yang rusak pada pasien alzheimer, yang ditandai dengan kesulitan mengingat dan kehilangan orientasi.
Efek kecanduan juga akan berpengaruh dalam relasi, sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan hukum. Salah satunya, perkembangan kehidupan penderita bisa berhenti. Misalnya pecandu game dipecat dari kampus sehingga gagal berkarier, menikah, dan beranjak ke fase lain. "Dia akan menjadi orang yang gagal," ujar Gregory West.
Eva Suryani menyarankan agar waspada saat mendapati diri sendiri atau orang dekat mulai mengurung diri di kamar, melupakan kegiatan rutin sehari-hari, mengalami perubahan emosi, dan larut dengan gawai sendiri. "Disarankan berkonsultasi supaya ada pencegahan dini," ucapnya.
Marco Pangestu pernah masuk situasi sakaw itu. Untungnya dia segera sadar diri. Sejak mulai kuliah, dia pelan-pelan mengurangi frekuensi bermainnya. "Sekarang kalau pusing atau enggak ada kerjaan saja saya main," katanya.
Nur Alfiyah
Beda Gamer dengan Pecandu
Tak sembarang penikmat video game bisa disebut sebagai pecandu. Ada empat kriteria yangdimasukkan WHO sebagai indikator gamingdisorder.
1. Seseorang tidak bisa mengendalikan kebiasaannya bermain game.
2. Mementingkan game di atas kegiatan lain.
3. Terus bermain meski sadar akan konsekuensi negatif, seperti dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan.
4. Tiga gejala di atas terjadi paling tidak 12 bulan sebelum didiagnosis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo