Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kabar Baik dari Rochester

Kadar enzim Apobec-3G yang tinggi dalam tubuh manusia mampu melawan HIV. Uji praklinis pun telah dilakukan.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah kabar baik bagi para pengidap human immunodeficiency virus (HIV). Penangkal buat penyakit mematikan ini mulai ditemukan oleh para peneliti dari University of Rochester Medical Center, Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya, mereka berhasil membuktikan peran enzim bernama Apobec-3G pada sel darah putih manusia dalam melawan virus tersebut.

”Penelitian kami relevan dengan penelitian HIV di beberapa tempat yang lain,” kata Xia Jin, asisten profesor kedokteran di Rochester. Sebelumnya, Apobec-3G memang pernah diteliti sejumlah ahli, antara lain Profesor Michael Malim dari King’s College London, Inggris.

Selama dua dekade, ilmuwan Rochester telah bekerja keras untuk meneliti famili enzim pemeriksa (editing enzymes), termasuk Apobec-3G. Yang mereka amati: bagaimana si enzim membuat perubahan pada DNA (deoxyribose nucleic acid) dan RNA (ribonucleic acid). Mereka percaya, enzim tersebut mampu mengubah kode genetik HIV dengan sangat ekstensif. Buntutnya, virus ini kehilangan kemampuan untuk mengkode proteinnya sendiri sehingga tak mampu melakukan replikasi. Karena itulah, ada yang menyebut Apobec-3G sebagai enzim anti-HIV.

Cuma, usaha Apobec-3G menekuk HIV juga tak gampang. Sebab, sang virus memiliki viral infectivity factor (VIF) alias faktor infektivitas virus untuk menghadang kerja enzim. Maka, terjadilah adu kuat. Siapa yang lebih kuat, dialah yang menang.

Untuk membuktikan kekuatan Apobec-3G (Apolipoprotein B mRNA-editing enzyme, catalytic polypeptidelike 3G) dalam melawan HIV, peneliti Rochester melakukan pengujian pada manusia. Fase inilah yang membedakan mereka dengan ahli-ahli di tempat lain.

Pengujian dilakukan terhadap enam orang yang tak terinfeksi HIV dan 25 pengidap HIV. Selama beberapa tahun, mereka tak mendapat pengobatan antiretroviral apa pun. Hasilnya, seperti dilansir Journal of Virology edisi September, delapan pengidap menunjukkan perkembangan virus yang sangat lambat. Bahkan ada di antara mereka yang penyakitnya tidak berkembang menjadi AIDS. Sementara itu, pada 17 orang pengidap yang lain, perkembangan penyakitnya berjalan seperti biasa dan menjadi AIDS.

Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata responden dengan tingkat Apobec-3G tinggi memiliki lebih sedikit HIV. Temuan lain, tingginya enzim itu berkorelasi dengan tingginya limfosit penolong (T helper alias CD4). Responden dengan karakteristik inilah yang perkembangan virusnya sangat lambat, bahkan tak berkembang menjadi AIDS. Terang saja, pembuktian ini semakin membuhulkan harapan bahwa serangan HIV memang bisa dibendung.

Persoalannya, bagaimana memompa kadar enzim Apobec-3G agar lebih tinggi tapi tetap aman bagi tubuh. Ini masih menjadi pekerjaan rumah para ahli. Nathaniel Landau dari Salk Institute, Amerika, pernah menyebut hal itu bisa dilakukan dengan memberikan zat kimia tertentu. Cuma, langkah ini juga mesti dilakukan hati-hati. Jika kelewat tinggi, Apobec-3G juga bisa menjadi racun bagi sel darah putih.

Kebetulan perusahaan bioteknologi OyaGen Inc. di Rochester telah menawarkan obat terbarunya, VIF dimerization antagonist (VDA). Obat ini dipercaya bisa mengganggu kemampuan VIF dalam melumpuhkan Apobec-3G. Dalam pengujian awal, obat itu berhasil mengurangi tingkat infeksi oleh HIV. Kini, obat itu tengah diuji praklinis. Harold C. Smith, pendiri OyaGen—juga profesor biokimia dan biofisika di Rochester—percaya, ”Perlindungan terhadap Apobec-3G dari serangan VIF merupakan cara baru melawan HIV.”

Menurut dr Rahmat Soemantri dari Tim Penanggulangan HIV/AIDS Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, kerja Apobec-3G sebenarnya mirip buah merah dari Papua dan virgin coconut oil yang disebut-sebut mampu mencegah replikasi HIV. Hanya, pembuktiannya secara medis, semua masih butuh proses dan waktu lama. ”Jadi, kita harus sabar,” katanya.

Waktu yang lama juga dibutuhkan oleh para ahli untuk menemukan cara mendongkrak jumlah Apobec-3 dalam kadar yang aman bagi tubuh manusia. Kalaupun VDA telah diuji praklinis, masih perlu diuji lebih lanjut dan harus pula mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA), Amerika. Para pengidap HIV memang harus bersabar.

Dwi Wiyana (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus