Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lapak kaki lima di kawasan Pasar Senen, Jakarta, itu sesak dikerubuti ibu-ibu. Mereka asyik memilih-milih tumpukan piring melamin. Sementara itu, Ujang, sang pedagang, terus berteriak menjajakan dagangannya dengan penuh semangat. ”Ayo Bu, melamin murah impor langsung dari Cina, hanya Rp 10 ribu dapat tiga piring.”
Rina, 42 tahun, yang ikut berkerumun di situ, mengaku hendak membeli piring melamin lantaran gambarnya lucu. ”Kalau makan, anak saya maunya pakai piring melamin bergambar Winnie The Pooh. Kalau nggak pakai piring itu, wah makannya susah,” katanya.
Apa yang tak Rina sadari, piring melamin bisa mendatangkan bencana. Setidaknya begitulah hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang diumumkan Juli lalu. Soalnya, wadah-wadah melamin itu ternyata dibuat dari campuran urea dan formalin.
Campuran yang disebut urea formaldehyde itu mudah terurai dalam keadaan panas. Jika wadah itu dipakai menampung air panas, maka uap yang terhirup dapat menyebabkan efek sesaat seperti iritasi saluran pernapasan, pusing, dan perih pada mata.
Jika terkena kulit pun, senyawa kimia itu dapat menyebabkan iritasi. Apabila tertelan dapat menyebabkan sakit tenggorokan serta gangguan pada organ tubuh lainnya. Bahkan penggunaan wadah itu dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker.
Penelitian terhadap dampak formaldehyde sudah dilakukan di beberapa negara. Sebelumnya, penelitian dilakukan terhadap tikus yang diberi paparan formaldehyde dalam jangka panjang. Hasilnya formaldehyde merusak organ tubuh tikus, seperti jantung, hati, dan alat reproduksi.
Baru-baru ini, International Research Agency for Cancer (IRAC), lembaga di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melakukan penelitian serupa pada manusia. Obyek penelitian adalah orang-orang yang sering berinteraksi dengan formaldehyde di lokasi kerja dan kawasan industri. Setelah 5 -20 tahun, ditemukan orang-orang yang sering terpapar senyawa formaldehyde terkena kanker hati dan kanker paru-paru.
Nah, Ilyani Andang dari YLKI melakukan penelitian dengan sampel 10 produk melamin berbagai merek. Semuanya produk lokal atau buatan Cina. Pengujian dilakukan dengan merebus wadah melamin dalam dua liter air selama 30 menit di dalam panci tertutup. Air rebusan lalu dibawa ke laboratorium kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA-UI).
Untuk menentukan apakah cairan itu mengandung formaldehyde, Budiawan, peneliti dari Departemen Kimia FMIPA-UI, memberi High Performance Liquid Chromatography (HPCL), suatu instrumen kimia. Setelah diekstraksi selama tiga hari, ditemukan kadar formaldehyde tinggi pada enam produk.
Produk-produk itu adalah W. Melamine CH 13, Huamei, No. 1-65 Melamine Ware, No. 1-55 Melamine Ware, Melamine Ware SA.3337, dan No. MC001 Made In Cina. Kadar formaldehyde pada enam produk itu antara 4,76 mg/liter dan 9,22 mg/liter. Adapun empat merek lainnya kadarnya kurang dari 0,05 mg/liter, sehingga masih tergolong aman.
”Melamin yang harganya murah, yakni Rp 10 ribu dapat tiga buah, kadar formaldehydenya tinggi,” kata Ilyani. Sayang, alamat pabrik pembuatnya tak jelas, apakah dibuat di dalam negeri atau didatangkan dari luar.
Di negara lain, kadar formaldehyde dibatasi dengan tegas. Di Inggris, aturan ambang batas formaldehyde maksimal malah cuma 2 part per million (ppm) atau 2 mg/liter. Di Amerika, lebih rendah lagi, yakni 1 ppm. Di kedua negara itu, setiap produk wadah makanan harus memakai label food grade.
Bambang Wispriyono, pakar Toksologi Lingkungan dari Universitas Indonesia, masih mempertanyakan hasil penelitian YLKI. Ia sangsi, benarkah jumlah formaldehyde mencapai 4–9 mg/liter? ”Sejauh ini belum pernah ada orang yang sehabis makan bakso dengan memakai mangkuk formalin lalu merasa pusing dan pernapasannya terganggu,” katanya.
Mungkin karena itu pula pemerintah tak tergesa-gesa menarik peredaran wadah melamin di pasar. Kepala Subdirektorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Sri Muharni Budiningsih, mengatakan sedang menyiapkan aturan tentang masalah ini. Menurut dia, instansinya juga tengah menguji 50 produk peralatan pangan. ”Kita tak bisa bertindak tanpa melakukan pengujian lebih dulu,” ujarnya.
Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo