KETIKA DDT (dichloro-diphenyl-trichloro-ethane) dikembangkan tahun 1939, para ahli menyangka akan tamatlah riwayat malaria. Dengan semprotan zat kimia itu mula-mula wabah penyakit kelihatannya memang menurun. Tetapi lama-kelamaan nyamuk anopeles, pembawa parasit malaria, menjadi kebal terhadap DDT, sehingga dia berbalik menyerang dan tambah gencar. Di India misalnya, jumlah penderita sudah berhasil ditekan sampai 60.000 pada tahun 1962, namun sekarang jumlah ini terbang menjadi 4 juta. Di Sri Lanka penyakit itu hampir saja teratasi secara total, tetapi belakangan muncul kembali. Malahan negara seperti Peru yang belum pernah terkena epidemi malaria, tahun ini untuk pertama kali merasakannya. Saban tahun penyakit malaria membunuh 2 juta penduduk. Lima juta lainnya berhasil menyelamatkan diri dari penderitaan demam menggigil dan membengkaknya limpa akibat serangan parasit. Korban terbanyak justru anak-anak di bawah usia 5 tahun, karena tubuh mereka belum sempat mengembangkan sistem pertahanan terhadap penyakit. Namun orang tak perlu pesimistis menghadapi penyakit ini. Harapan baru mulai muncul. Brian Federici dan Mir Mulla, keduanya dari University of California di Amerika Serikat telah berhasil mengembangkan obat antiserangga yang amat ampuh tapi aman dengan mempergunakan Bacillus thuringiensis israelensis (atau BTI). Pionir penemuan obat serangga ini adalah sarjana Israel pada tahun 1977. Mereka berhasil menentukan sejenis kuman yang punya kemampuan membunuh larvae (jentik-jentik nyamuk malaria). Caranya, racun yang dihasilkan kuman tadi membikin lumpuh mulut dan sistem pencernaan jentik-jentik tadi. Sehingga mereka mati. Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan obat serangga yang dibuat dari kuman itu aman terhadap organisme lain. Untuk keselamatan lingkungan ia pun dianggap jauh lebih baik ketimbang zat-zat kimia antiserangga yang telah beredar. Kabarnya obat baru ini tidak memberikan kemungkinan lagi bagi nyamuk untuk mengembangkan daya tahan dan jadi kebal terhadap semprotan. Badan kesehatan dunia (WHO) menyambut penemuan itu dengan bersemangat, sekalipun hasil percobaan di daerah endemi malaria belum masuk seluruhnya. Obat ini sudah dicobakan di Afrika terhadap lalat-hitam, pembawa penyakit kebutaan di sana. "Hasilnya luar biasa," kata seorang jurubicara WHO. Di samping mengembangkan obat antiserangga untuk memberantas malaria, para peneliti juga berusaha untuk menemukan vaksin. Menurut South (majalah yang meliput berita di Dunia Ketiga terbitan Inggris) bulan Juli, sekelompok peneliti Amerika Serikat, Inggris dan Swiss sedang mencoba menemukan vaksin antimalaria. Dilaporkan dua jenis vaksin yang sekarang dikembangkan menunjukkan hasil yang memuaskan begitu dicobakan terhadap tikus percobaan. Para peneliti tadi kabarnya menemukan antigen dalam parasit malaria yang terdapat pada tikus percobaan, sama dengan jenis parasit malaria yang menyerang manusia. Sebelum menemukan obat-obat ampuh itu manusia hanya mengandalkan daya yang tersedia dalam alam. Sebelum masuknya "zaman" DDT misalnya, pernah memanfaatkan ikan dalam memberantas penyakit malaria. Ikan yang paling banyak dipergunaan adalah ikan kepala timah. Kolam-kolam sengaja dibuat untuk menampung jentik-jentik nyamuk, kemudian ikan tadi dilepaskan ke kolam itu. Menurut sebuah penelitian mengenai malaria di Indonesia yang diselenggarakan tahun 1937, tambak-tambak yang dibangun pemerintah ketika itu hanya terdapat di tempat-tempat tertentu, tetapi secara perlahan-lahan sistem ini menjalar ke daerah-daerah pedalaman. Ada kalangan yang beranggapan tambak-tambak ikan yang kini banyak ditemukan di daerah Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya erat hubungannya dengan metode pemberantasan malaria dengan ikan tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini