Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Meksiko, desah di tengah minyak

Selayang pandang negara meksiko & masalah-masalah yang dihadapinya. sebelum dan sesudah ditemukannya sumber minyak.(sel)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK waktu yang lama, Meksiko seiring dibayangkan sebagai sebuah negeri yang tertidur. Tegar melawan setiap langkah pembaruan. "Negeri yang memendam sejarah, kecantikan, daya pikat dan kemanusiaan," kata Dave De Roche dalam lulisannya di majalah Peace, Happiness and Prosperity (PHP), Juni 1982. Dengan iklim yang dibuai kesegaran dataran tinggi dan kehangatan khatulistiwa, gunung dan gurun pasir melindungi pedesaan tempat tradisi dan adat-istiadat pribumi dipertahankan sama seperti dua ribu tahun lampau. Di mana-mana berserakan monumen abadi Maya, Olmec, dan pelbagai peninggalan peradaban purba. Di pasar-pasar, para pedagang memajang hasil kerajinan tangan yang serba elok. Makanan lokal menjanjikan pelbagai pilihan, semuanya segar. Arsitektur, irama hidup, dan kebiasaan Dunia Lama, masih bergayut pada era kolonisasi Spanyol, bahkan di tengah kota besar modern dengan bangunan-bangunan yang mengacu ke masa depan. Aneka warna fiesta -- sebagian besar berpangkal pada upacara keagamaan -- berlangsung setiap hari, seluruhnya lima ribu dalam setahun. Ada permainan tradisional seperti adu banteng, jai alai (hailai), sabung ayam dan rodeo. Semuanya serasi saja bergandengan dengan rupa-rupa perlombaan atletik kontemporer, dan olahraga memancing di perairan dalam. "Namun yang paling mempesona tetaplah manusianya," kata De Roche: "baik budi, ramah-tamah, penuh semangat, perasa, saleh, spontan, dan tabah." Maka di penghujung 1978, sebuah pekik kemenangan terdengar dari pantai Teluk Meksiko sebelah selatan. "Minyak!" Dan negeri itu seperti terjaga dari siesta (tidur siang)-nya yang panjang. Berbagai kescmpatan baru terbuka. Sejumlah jalan keluar terhampar bagi aneka problem yang selama ini tak teratasi. Tapi tak sedikit juga masalah yang timbul dari "mabuk minyak" yang tiba-tiba merasuk negeri ini. Selama ini, inflasi merupakan penyakit lama Meksiko. Angkanya cukup mengesankan: rata-rata 30% per tahun. Kini, problem itu ditambah dengan pinjaman luar negeri yang berlebihan, bahkan untuk mengembangkan penggalian minyak. Kemampuan pengangkutan komersial sudah dirasakan tak memadai dalam mengimbangi kebutuhan ekonomi yang berkembang 8% setahun. Masalah lingkungan yang selama ini tak mendapat perhatian cukup, baik dari pemerintah maupun rakyat, menuntut penanganan segera. Rakyat jelata kemudian dilanda keresahan yang kian mencemaskan. Dan sistem politik negeri itu, yang boleh dikatakan tak berkembang sejak Perang Dunia II, mulai diutak-atik. "Penemuan minyak ternyata tidak langsung menyembuhkan penyakit lama Meksiko," kata Dave DeRoche. Pengangguran, yang mencapai angka setengah jumlah penduduk, tetap saja tak teratasi. Soalnya: kilang minyak lebih membutuhkan ketrampilan kctimbang sekedar otot. Dan ketrampilan adalah barang yang mahal di kalangan penduduk. PRODUKSI pangan, yang selama ini tak pernah mencukupi, bahkan bertambah parah. Bukan saja danapemerintah. Bahkan daml para (bekas) petani akhirnya lebih banyak ditanamkan dalam usaha minyak ketimbang cocok tanam. Ledakan penduduk dalam pada itu memusingkan para pengambil keputusan di kursi pemerintahan. Kota Mexico, salah satu kota terbesar di dunia, kini juga sekaligus salah satu kota terburuk. "Korupsi yang sudah melembaga itu menjadi way of life, dan berkembang tak semena-mena mendahului pertumbuhan ekonomi." Dan ke dalam daftar panjang sumber keresahan itu bekas presiden Meksiko Jose Lopez Portillo terus terang menambahkan: pertentangan-pertentangan yang merugikan, salah urus, egotisme, dan sukarnya membina saling pengertian. Secara ironis ia berkata: "Di dunia internasional hari depan kita diketahui cerah ceria. Namun di sini, di dalam negeri sendiri, kita penuh ketidakpastian." Meski demikian, lapangan pekerjaan baru terbuka dalam jumlah yang cukup banyak. Dana yang lebih besar kemudian dicadangkan untuk kebutuhan pangan. Angka kelahiran, sekaldng, juga mulai menurun. "Kota Mexico punya rencana besar," kata DeRoche. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah sana, konupsi tampak agak surut -- di atas jerit-pekik rakyat. Memang minyak serta-merta menjadikan Meksiko negeri kaya -- setidak-tidaknya di atas kertas -- dewasa ini. Dengan 72 milyar barel cadangan minyak dan gas bumi, Meksiko hanya berada di bawah Arab Saudi, Kuwait dan Uni Soviet. Ia juga negeri penghasil minyak keempat terbesar di dunia. Tiap hari memompa dari perutnya 2,72 juta barrel, dengan pendapatan US$ 14 milyar setahun. Semua kekayaan itu masuk ke dalam kas Pemex (Petroleos Mexicanos), kongsi minyak pemerintah yang memegang hak monopoli. Di samping itu, Meksiko diperkirakan masih menyimpan cadangan 60 milyar barrel, plus 250 milyar barrel "cadangan potensial." "Kami ibarat gadis manis dalam sebuah pesta," ujar seorang pemilik kongsi petrokimia. "Semua pria ingin berdansa dengan kami." Betul juga. Pelbagai perusahaan AS, Jepang dan negeri-negeri Eropa menanamkan modal lebih US$ 3 milyar setahun di Meksiko. Dua pertiga pendapatan ekspor dan seperempat penghasilan pemerintah datang dari ladang-ladang minyak. "Namun rezeki yang mengalir dari penemuan minyak tak merata mencapai seluruh kawula," kata Dave DeRoche dalam tulisan. Ia, misalnya, sempat bertemu dengan seorang pencari kerja yang masygul di sebuah cantina sebuah kota minyak. "Jika tak ada lowongan dalam waktu dekat," kata pencari kerja itu, "aku akan kembali bertani. Penemuan minyak di negeri ini tak menolong sama sekali." Tapi di bar yang sama pula seorang pribumi lain tampak bangga minum-minum dengan mengenakan helm Pemex. Ia bekerja di ladang minyak -- dengan upah US$ 1.260 sebulan. Tingkat hidupnya berubah drastis. Pemex bahkan membangun rumah yang akan menampung keluarganya. Hanya saja, cuma karyawan Pemex berpenghasilan tinggi boleh tinggal di "zona minyak." Lalu bagaimana nasib penduduk, yang sejak zaman nenek moyang sudah bermukim di sana? "Penyakit sosial yang sepanjang sejarah menghantui Mcxico, tetap saja tak tersembuhkan," kata Dave DeRoche. Jurang antara si kaya dan si miskin dalam kenyataan semakin lebar. Duapuluh persen penduduk Meksiko menerima 57,7% pendapatan nasional, sementara 20% yang lain mendapat hanya 3%. Elite terdidik bekerja di kantor pemerintah, Pemex, atau kongsi besar lain. Semua mereka memiliki saham di berbagai perusahaan. Tahun lalu kongsi-kongsi besar itu mengaut kenaikan keuntungan 50%. Itu lapisan atas. Di lapisan bawah, merangkaklah rakyat yang tak memiliki pendidikan, latihan, ketrampilan, apalagi modal. Bahkan tak punya koneksi famili, justru di negeri tempat faktor koneksi dan relasi memegang peranan menentukan. Barisan panjang underdog ini sudah tak punya harapan untuk mempertahankan diri dari pukulan laju inflasi. Sungguh ironis, sukses sekelompok kecil anggota masyarakat telah menaikkan biaya hidup, yang pada gilirannya menekan standar hidup gelombang massa yang lebih luas. Satu di antara problem klasik Meksiko adalah urbanisasi. Desa mengirimkan orangnya berbondong ke kota-kota untuk mencari kerja. Sebagian besar datang dari perkampungan Indian yang sederhana dan jauh terpencil. Tatkala meninggalkan ladang jagung yang terserak-serak, menuju Kota Mexico, Guadalajara, Monterrey -- tiga kota industri terbesar -- atau kota-kota minyak Villahermosa dan Veracruz, mereka dibuai harapan sangat indah. Apalagi dalam dua tahun terakhir, ketika janji sukses dan kekayaan muncul bagdi pelangi di kaki langit. Indah mempesona -- namun tak pernah benar-benar dapat dijamah. Setelah diumbang-ambingkan kenyataan, para petani yang kehilangan desa itu pun dirasuk rasa putus asa. Mereka segera menjadi penghuni sudut-sudut kota yang paling busuk, tempat kejahatan dan keputusasaan menemukan tanah persemaian. Pemerintah Meksiko bukan tak berusaha sama sekali. Mereka mencarikan pekerjaan, meski dengan upah yang jauh dari harapan. Setiap tahun pemerintahan Lopez Portillo rata-rata membuka 700 ribu lowongan baru. Pada 1980 angka itu bahkan mencapai satu juta kepala. Pemerintah mafhum, proses perubahan sosial melalui pembukaan lapangan kerja saja akan memakan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin ukuran generasi. Karena itu mereka juga menyediakan US$ 4 milyar untuk meningkatkan pelayanan pangan, air minum dan kesehatan di sebagian besar perkampungan Indian yang terpencil, yang diperkirakan belum akan dijamah lapangan kerja. Hampir sepertiga anggaran Meksiko mengalir untuk pelayanan sosial. Sepertiga berikutnya pertanian dan transportasi. Dan sepertiga yang terakhir untuk pengembangan industri minyak. Karena pertanian telantar selama tiga tahun terakhir (tatkala semua dana dipusatkan mengembangkan penambangan minyak), pemerintah kini mengambil langkah drastis untuk mencukupi kebutuhan pangan. Setelah masa impor yang panjang, mereka berusaha memproduksi bahan pangan di dalam negeri. Maklum, tak enak juga terus-menerus membeli makanan dari Amerika Serikat. Mereka khawatir dengan cara itu pengaruh penemuan minyak lambat laun tak bisa lagi dinikmati. Lopez Portillo pernah berjanji: pada akhir 1982 Meksiko sudah bisa mencukupi sendiri kebutuhannya akan kacang dan jagung, dua bahan makanan pokok mereka. Ia menyusun rencana mengembangkan usaha pertanian untuk mengimbangi defisit di lapangan perdagangan. Tapi sejak semula banyak pihak menyangsikan rencana bagus ini. Pemerintah dianggap bekerja kurang efisien, dan tanah Meksiko tak bisa diharap terlalu banyak. Menurut sebuah perkiraan 1980, tiga dari setiap lima penduduk Meksiko menderita kurang makan. Dan, ada kenyataan menarik. Ternak yang mereka pelihara untuk dijual kepada perusahaan daging, AS ternyata menghabiskan lebih banyak makanan daripada manusianya. Dalam pada itu, inflasi telah "berhasil" menggerogoti industri, menaikkan harga dan menghajar siapa saja. Pemecahan temporal yang dilakukan pemerintah, dengan mengontrol upah, memukul lapisan bawah lebih keras dan menimbulkan keresahan sosial. Pada 1980 inflasi melampaui angka 30%, sementara upah hanya naik kurang dari 18%. Pertambahan penduduk menunjukkan angka 3%. Karena setengah jumlah penduduk berusia di bawah 16 tahun, masalah pendidikan dan kesehatan lalu menuntut perhatian luar biasa. Pemerintah memang mulai menggalakkan program KB. Tapi tantangan datang dari kiri dan kanan. Gereja Katolik, ini faktor pertama. Penjaga rohani yang sangat berpengaruh tak begitu gembira menyambut program KB. Kaum pria dalam pada itu berlomba-lomba menjadi ayah, sebagai semacam lambang kejantanan. Keluarga miskin menilai anak sebagai cadangan tenaga kerja dan jaminan hari tua, seperti umumnya di dunia Timur. MASALAH lingkungan tak begitu menarik perhatian. Kebocoran minyak di Teluk Meksiko, pembuangan limbah pabrik ke sungai-sungai, pencemaran daerah pedesaan dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan, ditanggapi secara sambil lalu saja. Kemudian melimpahnya persediaan minyak dunia akhir-akhir ini turut memperburuk keadaan. Soalnya, Pemex tak siap. Bahkan terlambat menyediakan tangki-tangki cadangan untuk menampung kelebihan produksi. Sementara itu pelayanan Pemex kepada langganannya juga sulit dipujikan. Mutu minyaknya nomor dua. Tanggal pengirimannya serba tak menentu. Para pembeli kemudian banyak yang jengkel, dan pindah ke negeri minyak yang lain. Angka penjualan Pemex kemudian turun 25%: 700 ribu barrel per hari. Direktur Pemex yang baru memang brusaha mengklaim beberapa langganan yang mengingkari kontrak. Malah Pemex juga menjual minyaknya US$ 4 lebih murah, per barrel. Memang, minyak, ebagai kekuatan ekonomi dan politik, masih tetap bisa diandalkan Meksiko. Namun begitulah situasinya. "Meksiko memang telah membuka sombreronya, dan memandang dunia dengan berani," kata DeRoche. Kebijaksanaan luar negerinya banyak berubah selama tiga tahun terakhir. Bukan hanya lantaran penemuan minyak. Melainkan Lopez Portillo memang menekankan strategi yang "segar." Dunia acap memandang negeri ini sebagai yang paling berpengaruh di antara negeri berbahasa Spanyol. Bukan tanpa risiko: ia lalu akan makin sering diminta tampil sebagai juru bicara. Musim gugur lalu Meksiko menjadi tuan rumah Konperensi Utara-Selatan yang menghimbau negeri-negeri kaya untuk membantu Dunia Ketiga. Di PBB, Meksiko mendapat sebuah kursi di Dewan Keamanan. Pada masa lampau, pemerintah Meksiko tak begitu acuh pada tetangganya di Amerika Tengah. Tapi kini ia menyertai Venezuela membiayai penjualan minyak murah kepada sembilan kawasan di sekitarnya. Juga menyumbangkan duit dan dukungan politik kepada para pemimpin revolusioner Sandinista di Nikaragua. Ia mengkritik Amerika Serikat yang memberi angin kepada junta militer El Salvador, dan berjanji membantu tercapainya perdamaian di sana. Meksiko punya alasan kuat untuk tak sekedar berpangku tangan menghadapi suhu yang berkembang di sekitarnya. Perang gerilya mengharu-biru Guatemala, Nikaragua dan El Salvador. Belize terancam invasi Guatemala, dan wilayah Karibea seperti tak mau teduh. Dan di tengah genderang perang politik itu, Fidel Castro menari kian ke mari sembari membakar-bakar petasan . . . Meksiko tampak tak mudah terpengaruh. Negeri ini misalnya tetap saja menjual minyak kepada Israel. Banyak yang mendongkol, meski mereka pura-pura tak tahu. Meksiko mengikuti banyak garis dan petunjuk OPEC, tapi tetap enggan bergabung dengan organisasi negeri-negeri pengekspor minyak itu. Malah ada isyarat menjadikan ketidakterikatan sebagai kunci kebijaksanaan politik luar negerinya di masa depan. Meksiko berhasil mempertahankan kebebasannya sebagian karena ia tidak seperti negeri-negeri lain -- tidak perlu mengkhawatirkan keamanannya. Ia belum pernah mendapat ancaman dari luar -- dan "jika memang ada, ia dapat meminta perlindungan AS," seperti kata DeRoche. Di masa-masa yang sudah, Meksiko tidak merasa perlu mereknut angkatan bersenjata secara besar-besaran, sebab "pemerintah sipilnya takut akan ancaman politis dari dalam yang datangnya dari kekuatan militer yang tangguh." Betapapun, dalam 50 tahun terakhir Meksiko kurang mengalami kecenderungan pengacauan dari kekuatan kiri atau kup kekuatan militer kanan -- ketimbang negeri-negeri Amerika Latin manapun. Ada beberapa sebab. Pemerintah negeri ini, lebih atau kurang, selalu tampil dengan citra demokratis dan toleran terhadap kebebasan sipil. Lalu standar hidupnya sendiri memang lebih tinggi dibanding kebanyakan negeri Amerika Latin. Rakyatnya tidak begitu gandrung politik, dan terhitung pandai menahan nafsu. Tidak pula kecil peranan Gereja Katolik. Sementara itu pemerintahnya, dibarengi gembar-gembor tentu, membagi-bagikan sedikit tanah kepada para petani bila mulai ada tanda-tanda bangkitnya keresahan," kata penulis freelance yang mangkal di San Fransisco itu. Mereka juga berhasil, pada saat yang tepat, meredakan peruncingan perbedaan pendapat atau mencegah timbulnya pemberontakan. Golongan konservatif merasa cukup puas dengan kekuasaan dan kekayaan yang telah mereka miliki. Kekuatan militer dan polisi dalam pada itu cukup tangguh menjaga keamanan negeri. Tetapi itu di hari-hari kemarin. Kini, dengan ladang-ladang minyaknya yang tersebar di pantai timurnya yang luar, Meksiko memiliki tanggungan kawasan strategis yang harus dilindunginya secara benar-benar serius. Memang, mereka mungkin tidak akan secara besar-besaran meningkatkan kekuatan angkatan bersenjatanya, yang jumlahnya kini hanya 120.000 orang untuk negeri berpenduduk 70 juta itu. Tapi mereka awas benar akan masih adanya ancaman dari angkatan udara negeri tetangga, Guatemala, terhadap ladang-ladangminyak mereka. Itulah sebabnya pemerintah membeli 12 pesawat tempur F5E dari AS. Pembelanjaan yang bersejarah, memang. Menteri Pertahanan Meksiko, Jenderal Felix Galvan Lopez, menjelaskan hal itu. "Kami kini tumbuh di segala bidang," katanya: "industri, keuangan, minyak -- dan karenanya kekuatan AB harus diperbesar kemampuannya untuk melindungi segala kepentingan itu." Apa yang disebutnya adalah: kekuatan militer yang lebih besar sebenarnya juga berperan menahan tumbuhnya silang-sengketa di Amerika Tengah -- dan mungkin juga membantu menstabilkan kawasan itu. "Pengaruh yang lebih besar dan tongkrongan yang lebih tangguh di dunia Latin, adalah keuntungan tambahan yang tidak boleh tidak dilihat Meksiko," tulis DeRoche. Pemerintahan Meksiko yang akan datang agaknya dapat menetapkan pilihan politis yang tepat. Meksiko akan memilih presiden dan pemerintahan barunya pada 1 Desember mendatang ini. Konstitusinya membatasi masa kerja seorang presiden dalam jangka enam tahun. Ini berarti mengingkari tradisi negeri Amerika Latin yang senang menunda-nunda pemilu dan memberlakukan kediktatoran. Tapi dalam pada itu Meksiko memberlakukan, secara mendasar, sistem satu partai. Partai Kelembagaan Revolusi (PRI), yang dari namanya mencerminkan citra konservatif, memilih calon-calonnya di balik pintu tertutup -- dan memenangkan setiap pemilihan presiden selama 52 tahun terakhir. Namun hamba rakyat beramai-ramai antre ke TPS-TPS dan memberikan suaranya secara rahasia, untuk melaksanakan democracia. Di masa-masa lalu, nepotisme dan korupsi telah menjadi 'makanan' Pemerintah Meksiko seperti juga tortilas dan frijoles -- dua jenis makanan rakyat sana. Tak seorang pun kaget ketika Lopez Portillo mengangkat saudara perempuannya sendiri untuk menjalankan media pemerintahan, istrinya untuk mengelola keagenan besar, dan putranya untuk mengawasi pengeluaran pemerintah. "Orang Meksiko telah menyerah pada korupsi," kata DeRoche. Mereka membayar mordidas (sejenis pungli) jika mereka ingin menyelesaikan suatu urusan. Pada kelahiran bayi, si ayah harus memberi tip kepada pegawai pembuat akta. Mau belajar menyopir dan ingin SIM lekas keluar? Bermurah hatilah sedikit kepada 'orang dalam'. Demikian juga jika tidak ingin penilangan berlanjut ke persidangan. Dan jika mau bekerja di 'Pertamina' sana, "lebih baik beri saja sebagian gaji kepada orang serikat buruh (union), satu-satunya pintu untuk memperoleh pekerjaan. Dan semua orang tahu bahwa para pejabat pemerintah mempunyai gaji tetap dari tiga jenis pekerjaan yang berbeda -- asal mau "berbagi sedikit" dengan petugas yang menyelundupkan namanya ke dalam daftar gaji. Belakangan, para pemrotes korupsi mulai berhasil memperdengarkan suaranya -- dan mulai didengar. Buktinya, seorang pejabat bisa mereka paksa turun karena dugaan terlibat korupsi. Apa yang dilakukan Gubernur Coahuila adalah mengumpul kan kekayaan antara US$30 sampai US$80 juta -- dari gajinya yang cuma US$ 1.600 per bulan. Barangkali ia "sangat hemat". Hal yang sama juga dilakukan banyak pejabat lain. Mungkin ia seorang pejabat lembaga pembelanjaan negara, pejabat PU, bendahara pusat komputer, lembaga dana sosial, dan jawatan-jawatan pengawasan dan penyelidikan yang diduduki empat putra dan menantu seorang pejabat. Di situ anak-beranak sang pejabat membantunya melaksanakan berbagai pemborongan tanah negara dengan harga agak murah. "Saya beruntung dengan sahamsaham di beberapa perusahaan realestate," kata pejabat itu, Oscar Flores Tapia. Ketika sebuah suratkabar lokal bersuara lantang (dan ini jarang di Meksiko), mendukung penyelidikan oleh parlemen, Tapia dan anak-beranak memilih meletakkan jabatan daripada menghadapi "pertanggungjawaban terhadap kekayaan yang tidak jelas asal-usulnya" itu. Ada contoh lain. Empat ribu sopir kendaraan angkutan di Meksiko Utara suatu hari mengadakan pemogokan, memprotes mordidas (pungli) yang secara tetap dikenakan oleh Federales dan para pejabat pabe1n Meksiko. Mcreka mengeluh banyaknya jam perjalanan yang habis oleh, berbagai pemberhentian untuk maksud pemerasan itu. Lalu, ini adalah cerita tentang Mexico City. Kota metropolitan ini merupakan contoh yang mirip dengan segala metropolitan lainnya di Dunia Ketiga. Sebuah tragedi, menurut DeRoche, "kendati di dunia yang kecil itu masih ada alasan untuk menaruh harapan." 'Kongesti' adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Kota Mexico sekarang. Lima belas juta penduduknya memperlakukannya sebagai kampung halaman. Padahal 100 ribu orang mati saban tahun -- disebahkan kesehatannya diganggu polusi yang semakin berat membelenggu kota ini. Pada tahun 2000, kota ini diperkirakan akan berpenduduk 30 sampai 40 juta jiwa -- dan ini berarti bencana. Asap buangan pabrik dan knalpot kendaraan bermotor sudah sampai pada tingkat terburuk di dunia. Tiap hari 5.00 tong pollutant keluar dari segala pabrik --menurut Geo Earthwatch. Belum termasuk dua juta kendaraan bermotor, yang menambahkan lagi 180 ribu ton carbon monoxide. Campuran buangan benda-benda berbahaya inilah yang menyelimuti Kota Mexico, yang kawasan udaranya dikepung jajaran pegunungan. Polusi udara sudah mencapai tingkat yang tinggi pula, tulis DeRoche lagi. Bis dan kendaraan pengangkut lain beringsut lebih lambat dari pejalan kaki -- hingga waktu 4 jam untuk menghubungi suatu tempat di dalam kota adalah hal yang biasa. Dan kita pun teringat Jakarta: akankah serupa? Di kawasan pemukiman rakyat, para kotawan berdesak-desak di gubuk-gubuk reyot, dengan banyak 'tanpa'. Tanpa air mandi, tanpa air minum (yang bersih), tanpa listrik (kalaupun ada, byar-pet), dan tanpa tempat pembuangan sampah. Keadaan mirip Jakarta ini masih berlanjut: tanpa saluran air -- hingga air dan makanan tercemar benih penyakit yang bersarang di air tergenang. "Sepertiga penduduknya menganggur," menurut DeRoche juga, "dan separuhnya berpendapatan kurang dari US$50 (sekitar Rp 32 ribu) per bulan." Dan di bawah tekanan keadaan ini angka kematian rata-rata tertinggi di dunia. Toh bayi-bayi terus lahir. Namun langkah-langkah dramatis sedang dilakukan untuk mempercepat penanggulangan Kota Mexico -- yang bukan cuma ibukota negara, tetapi juga ruang etalase negeri itu. Proyek perencanaan kota terbesar di dunia, yang telah tersusun, akan membagi Kota Mexico ke dalam sembilan wilayah. Setiap wilayah akan berswakarya dan berswadaya, dan satu sama lain akan dihubungkan oleh jaringan angkutan umum. Bersama dengan itu, pajak dan pungutan lain diharapkan dapat mendorong investasi baru. Cara itu diharapkan akan mengembangkan kota-kota lain di sepanjang Pantai Meksiko, hingga migrasi dan urbanisasi tidak hanya tercurah di Ibukota. "Lima tahun terakhir ini," kata Gubernur DKI Mexico City, Carlos Gonzales, "sistem kereta bawah tanah (subway) telah melayani jarak dari 20 mil menjadi 70 mil, dari 60 kereta menjadi 210, mengangkut dari 1,3 juta penumpang sehari menjadi 6,5 juta. Kita sedang menambah 7 ribu bis kota milik negara terhadap 8 ribu bis kota swasta yang sudah beroperasi. Dan kita telah memalangmelintangkan kota ini dengan 34 jalan baru." Maka, jika pemerintah dapat memecahkan persoalan polusi dan kependudukan, Mexico City akan kembali menjadi kota menyenangkan, tulis DeRoche. Arsitektur kolonial tumbuh di atas reruntuhan ibukota Aztec, Tenochtitlan. Cuaca yang bagai di musim semi abadi, dan berada di ketinggian 7200 kaki di atas permukaan laut, kedua-duanya memaksa anda harus menahan napas terkagum-kagum. Sementara itu kegiatan bisnis yang jelimet dan deretan toko-toko pakaian, berpadu dan saling melengkapi dengan keakraban anak-beranak menggelandang di Taman Chapultepec dan kelompok-kelompok pemusik yang berdendang di Lapangan Garibaldi yang tua. "Ini adalah kota kosmopolitan dan modern, suci dan kuno, banyak masalah, tapi juga penuh harapan," kata si penulis. Di samping keruwetan ibukota negara, ada satu lagi yang bikin pusing kepala yang berkuasa di Mexico. Masalah angkatan kerja. Ternyata dalam hal ini peranan negara tetangga yang raksasa, AS, cukup banyak -- kendati dengan terpaksa. Lima belas tahun sudah pemerintah Meksjko dan AS memperdebatkan masalah para pekerja-migran ini. Dan ini memang melulu masalah mereka berdua. Para pekerja Meksiko itu membanjir di sepanjang perbatasan Rio Grande rata-rata 2-3 juta setahunnya. Bagi Meksiko, eksodus ini merupakan semacam lubang penglepasan dari ledakan angkatan kerjanya yang hebat. Sedang bagi AS, pekerja migran ini merupakan buruh murah, terutama di puncak musim panas dalam musim bertani. Karenanya, tak ada batas upah minimum. Pekerjaan yang dilakukan orang Meksiko sering dianggap hina oleh penduduk Amerika sendiri. Bagi serikat buruh (union) AS, di samping menjadi masalah, juga menjadi sumber pendapatan baru -- dari pungutan atau semacam pajak yang mereka ambil dari buruh tetangganya itu. Pemerintah AS sendiri memang membuka sedikit "lubang" di perbatasannya -- ketimbang ada kerusuhan sosial di Meksiko yang bisa menular ke AS. Apalagi kalau pecah revolusi kiri. Meksiko tentu ogah mengakui bahwa keadaan ekonominya tidak mampu menampung angkatan kerjanya sendiri. Tapi dalam pada itu Meksiko ingin menekan AS agar memperlakukan warganya sebaik mungkin. AS sendiri tidak beranggapan bahwa perbaikan ekonomi negara di selatan itu tergantung pada para pekerja migran ini. Tapi AS pun ternyata tidak ingin mengencangkan pengawasan di pintu-pintu masuk di perbatasan. Untuk memecahkan persoalan ruwet inilah, AS dan Meksiko saban tahun bertemu untuk berunding. Meksiko akhir-akhir ini mengusulkan "program pekerja tamu" -- yang melegalisasikan secara bergiliran satu juta pekerja migran setahun. AS pada ,ilirannya mengemukakan usul balasan. Di sana dicantumkan: AS mengizinkan 50 ribu pekerja per tahun, dengan masa percobaan 2 tahun, untuk jenis pekerjaan yang tidak diisi oleh warga AS. Keluarga para pekerja tamu ini dapat menyertai mereka, menerima pengobatan gratis dan fasilitas sekolah. Tapi mereka tidak menerima jaminan kesejahteraan (karena bukan warga negara), ransum makanan, dan kompensasi karena menganggur. Dalam pada itu 40 ribu orang Meksiko tiap tahunnya dapat mengajukan izin menetap permanen. Pemerintah Meksiko menyetujui usul ini -- sambil menghendaki jumlah visa berkala dapat dilipatkan menjadi 10 atau 20 kali. Perundingan mengenai soal ini masih terus dilakukan, seraya berharap dengan meningkatnya permintaan minyak, AS akan memberinya perbawa politis yang lebih banyak. Sambil menunggu kesepakatan, sementara itu sebanyak 1000 orang tiap malam main kucing-kucingan dengan petugas patroli perbatasan AS -- sementara yang lain masuk dengan dokumen resmi. Para pelompat pagar, dan para penyeberang sungai, jika tertangkap, dikumpulkan di sebuah kamar. Diberi makanan hangat, kemudian diserahkan kepada para petugas perbatasan Meksiko -- yang lalu membebaskan mereka. Dan malam berikutnya mereka akan kembali ke pagar dan sungai yang sama --kebanyakan setelah membayar imbalan atau kehilangan miliknya, jatuh ke tangan para penyelundup profesional. Yang terakhir itu disebut Cayotes, yang menjanjikan hal-hal yang muluk kepada mangsanya. "Ini seperti si dungu yang mencoba mengeringkan samudra," kata seorang petugas AS. Patroli perbatasan AS, dengan senjata berteropong jarak jauh dan peralatan komunikasi mutakhir, sesungguhnya bisa bekerja efektif -- apalah kehebatan para penyelundup amatiran itu. Namun buktinya kesibukan yang mereka hadapi ya itu-itu juga, tak habis-habisnya. Orang Meksiko yang berhasil melintasi perbatasan biasanya dengan cepat memperoleh pekerjaan. Karena berbeda dengan pribuminya, "mereka mau bekerja apa saja dengan bayaran berapa saja," seperti yang diungkapkan DeRoche. Mereka juga mempunyai reputasi sebagai pekerja yang tahan kerja keras dan lama. Berkata seorang 'asing illegal': "Jelas sudah, AS membutuhkan tenagaku, atau saya tidak bekerja di sini. Saya di sini untuk mencari hidup yang tidak bisa diberikan negeriku sendiri. Jika saya punya cukup tabungan buat membeli seekor sapi untuk peternakan kecil keluarga, akan saya kirimkan uangnya kepada mereka di Selatan. Meksiko adalah kampung halaman saya. Amerika Serikat adalah tempat yang indah, selama bisa memberi saya kerja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus