HARI yang paling membahagiakan Mahyudin (bukan nama sebenarnya)
datang. Dia boleh pulang meninggalkan kerangkeng Rumah Sakit
Jiwa Bogor, untuk menjenguk keluarganya di Jakarta. Tetapi
begitu sampai di rumah ia masih saja diperlakukan sebagai orang
sinting. Ia mau memeluk anaknya dan melampiaskan rasa rindu,
tapi anak itu lari ketakutan.
Dengan perasaan pahit dia menghampiri sanak-famili yang tinggal
berdekatan. Mula-mula mereka menyambutnya. Tetapi ketika dia
menceritakan pengalamannya di RS Jiwa Bogor dengan gelak-tawa
sanak-famili menjadi curiga. Lantas malam itu juga dia
diantarkan ke Bogor, karena khawatir dia pulang melarikan diri.
"Ketawa dan cengar-cengir bukan karena Mahyudin masih sakit, itu
memang kebiasaannya. Kalau bicara sepatah selalu disertai tawa
dan cengar-cengir," ujar perawat di rumah sakit itu.
Sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa kelihatannya
sulit benar berubah. Hal ini menjadi masalah bagi RS Jiwa Bogor
yang pekan ini merayakan ulangtahunnya. "Tanpa bantuan
masyarakat pengobatan yang telah diberikan akan percuma," ujar
dr Loka Tjahjana yang memimpin rumah sakit itu.
Didirikan pemerintah Hindia-Belanda satu abad yang silam dengan
biaya NF 500.000 di atas tanah seluas 133 ha, rumah sakit jiwa
itu rampung dalam 27 bulan. Daya tampungnya semula 400
dengan 3 tenaga dokter. Satu diantaranya Soemeroe, dokter
Indonesia pertama. Sekarang rumah sakit yang terletak di
pinggir jalan raya Bogor-Parung itu bisa menampung 600 pasien
dengan 12 tenaga dokter.
Biaya perawatan di sana Rp 600/hari untuk kelas I, Rp 500 kelas
II dan Rp 250 untuk kelas III dan IV. "Murah karena biayanya
datang dari pemerintah," kata dr. Loka. Anggaran rumah sakit ini
saban tahun lebih kurang Rp 500 juta.
Kesan seperti penjara mungkin dirasakan orang yang untuk pertama
kali berkunjung ke sana. Melewati gerbang terali besi yang
tingginya 2 meter, pengunjung mula-mula akan menemukan ruang
perawatan pasien laki-laki. Semua jendelanya juga dibatasi
dengar, jeruji besi.
Di dalam ruangan kelihatan pasien yang bersimpuh seperti sedang
bertapa. Di pojok lain, duduk penderita memakai jas lusuh dan
kopiah tarbus berkuncir di atasnya. Di sebelahnya seorang pria
yang tanpa ketahuan sebab-musababnya berteriak-teriak memegangi
terali. Sementara itu ada pula yang menari-nari berkeliling dan
menangis keras.
Penghuni ruangan berjeruji besi itu diobati dan dirawat. Tetapi
para penderita yang sudah berangsur sembuh dipindahkan ke
ruangan rehabilitasi. Di sini mereka diberi pekerjaan tangan.
Seperti membuat perhiasan dari papan tripleks. Ada pula yang
belajar las. Podium, tempat Menteri Kesehatan berpidato
menyambut seabad rumahsakit jiwa ini, buatan salah seorang
penderita.
Banyak pula di antara mereka yang "bergaya" di ruangan tunggu.
Mereka bersikap seperti mau menjenguk keluarga. Tapi jangan
kaget kalau tiba-tiba mereka bangkit dari tempat duduk, memegang
tangan tamu dan minta uang atau rokok.
Terapi sosial dalam bentuk latihan ketrampilan untuk para
penderita, menurut dr. J.M. Sugiarta yang bekerja di situ,
menuntut kesabaran. Maklum yang dihadapi bukan orang biasa.
"Mereka sangat perasa, tak boleh dikasari," sambut Kemis,
seorang perawat yang bekerja di situ sejak 1916.
Menurut Kemis, pengobatan zaman dahulu mengerikan. Untuk
"menenangkan" pasien, petugas menyuntik pasien dengan terpentin
supaya lemas tak bertenaga. Kadang-kadang direndam dalam air
panas atau dingin. "Dulu mereka cuma dijebloskan ke dalam
kerangkeng. Tetapi sekarang mereka diberi pekerjaan," katanya.
Hasil kerajinan tangan para penderita, yang hampir sembuh,
dijual ke Pasar Bogor. Soe Mou Kong (bukan nama sesungguhnya)
membuat tutup lampu dan hiasan dinding dari papan tripleks.
Hasilnya dibelanjakan untuk membeli bahan, selebihnya
dihabiskannya untuk rokok. Petugas rumahsakit membantu menjual
hasil kerajinannya. Sudah 5 tahun dia mendekam di situ. "Saya
tidak sakit, saya masuk ke sini karena senang saja," ucapnya
tenang kepada Dedy Iskandar dari TEMPO yang datang menemuinya.
Tiap bulan sekitar 70 pasien dipulangkan karena keadaan penyakit
mereka sudah membaik. Ada di antara mereka yang gagal kembali ke
pangkuan sanaksaudara. Tapi banyak juga yang kembali lagi
menjadi warga masyarakat yang layak.
"Mereka tak mau bercakap-cakap dengan saya. Kalau saya ajak
bicara mereka menghindar," begitu kisah Supandi (bukan nama
asli). Dia menceritakan pengalamannya ketika mula-mula terjun
kembali ke masyarakat, sebagai penjahit di sebuah perusahaan
konfeksi di Bogor. Sekarang dia sudah bergaul akrab dengan kawan
sekerja di perusahaan itu. Pekerjaannya, kata majikannya, H.
Aden, "paling rapi". Karena itu dia sering memperoleh hadiah
sebagai tambahan upahnya.
Tigapuluh tiga tahun anak Solo itu menjadi penghuni rumahsakit
itu. Dia sedeng gara-gara istrinya yang cantik kabur entah ke
mana . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini