Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pasien yang berterali besi

Rsj bogor merayakan ulang tahunnya yang ke-100. sikap masyarakat terhadap penderita penyakit jiwa menjadi masalah. penderita diobati dengan terapi sosial. ternyata bisa sembuh.(ksh)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI yang paling membahagiakan Mahyudin (bukan nama sebenarnya) datang. Dia boleh pulang meninggalkan kerangkeng Rumah Sakit Jiwa Bogor, untuk menjenguk keluarganya di Jakarta. Tetapi begitu sampai di rumah ia masih saja diperlakukan sebagai orang sinting. Ia mau memeluk anaknya dan melampiaskan rasa rindu, tapi anak itu lari ketakutan. Dengan perasaan pahit dia menghampiri sanak-famili yang tinggal berdekatan. Mula-mula mereka menyambutnya. Tetapi ketika dia menceritakan pengalamannya di RS Jiwa Bogor dengan gelak-tawa sanak-famili menjadi curiga. Lantas malam itu juga dia diantarkan ke Bogor, karena khawatir dia pulang melarikan diri. "Ketawa dan cengar-cengir bukan karena Mahyudin masih sakit, itu memang kebiasaannya. Kalau bicara sepatah selalu disertai tawa dan cengar-cengir," ujar perawat di rumah sakit itu. Sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa kelihatannya sulit benar berubah. Hal ini menjadi masalah bagi RS Jiwa Bogor yang pekan ini merayakan ulangtahunnya. "Tanpa bantuan masyarakat pengobatan yang telah diberikan akan percuma," ujar dr Loka Tjahjana yang memimpin rumah sakit itu. Didirikan pemerintah Hindia-Belanda satu abad yang silam dengan biaya NF 500.000 di atas tanah seluas 133 ha, rumah sakit jiwa itu rampung dalam 27 bulan. Daya tampungnya semula 400 dengan 3 tenaga dokter. Satu diantaranya Soemeroe, dokter Indonesia pertama. Sekarang rumah sakit yang terletak di pinggir jalan raya Bogor-Parung itu bisa menampung 600 pasien dengan 12 tenaga dokter. Biaya perawatan di sana Rp 600/hari untuk kelas I, Rp 500 kelas II dan Rp 250 untuk kelas III dan IV. "Murah karena biayanya datang dari pemerintah," kata dr. Loka. Anggaran rumah sakit ini saban tahun lebih kurang Rp 500 juta. Kesan seperti penjara mungkin dirasakan orang yang untuk pertama kali berkunjung ke sana. Melewati gerbang terali besi yang tingginya 2 meter, pengunjung mula-mula akan menemukan ruang perawatan pasien laki-laki. Semua jendelanya juga dibatasi dengar, jeruji besi. Di dalam ruangan kelihatan pasien yang bersimpuh seperti sedang bertapa. Di pojok lain, duduk penderita memakai jas lusuh dan kopiah tarbus berkuncir di atasnya. Di sebelahnya seorang pria yang tanpa ketahuan sebab-musababnya berteriak-teriak memegangi terali. Sementara itu ada pula yang menari-nari berkeliling dan menangis keras. Penghuni ruangan berjeruji besi itu diobati dan dirawat. Tetapi para penderita yang sudah berangsur sembuh dipindahkan ke ruangan rehabilitasi. Di sini mereka diberi pekerjaan tangan. Seperti membuat perhiasan dari papan tripleks. Ada pula yang belajar las. Podium, tempat Menteri Kesehatan berpidato menyambut seabad rumahsakit jiwa ini, buatan salah seorang penderita. Banyak pula di antara mereka yang "bergaya" di ruangan tunggu. Mereka bersikap seperti mau menjenguk keluarga. Tapi jangan kaget kalau tiba-tiba mereka bangkit dari tempat duduk, memegang tangan tamu dan minta uang atau rokok. Terapi sosial dalam bentuk latihan ketrampilan untuk para penderita, menurut dr. J.M. Sugiarta yang bekerja di situ, menuntut kesabaran. Maklum yang dihadapi bukan orang biasa. "Mereka sangat perasa, tak boleh dikasari," sambut Kemis, seorang perawat yang bekerja di situ sejak 1916. Menurut Kemis, pengobatan zaman dahulu mengerikan. Untuk "menenangkan" pasien, petugas menyuntik pasien dengan terpentin supaya lemas tak bertenaga. Kadang-kadang direndam dalam air panas atau dingin. "Dulu mereka cuma dijebloskan ke dalam kerangkeng. Tetapi sekarang mereka diberi pekerjaan," katanya. Hasil kerajinan tangan para penderita, yang hampir sembuh, dijual ke Pasar Bogor. Soe Mou Kong (bukan nama sesungguhnya) membuat tutup lampu dan hiasan dinding dari papan tripleks. Hasilnya dibelanjakan untuk membeli bahan, selebihnya dihabiskannya untuk rokok. Petugas rumahsakit membantu menjual hasil kerajinannya. Sudah 5 tahun dia mendekam di situ. "Saya tidak sakit, saya masuk ke sini karena senang saja," ucapnya tenang kepada Dedy Iskandar dari TEMPO yang datang menemuinya. Tiap bulan sekitar 70 pasien dipulangkan karena keadaan penyakit mereka sudah membaik. Ada di antara mereka yang gagal kembali ke pangkuan sanaksaudara. Tapi banyak juga yang kembali lagi menjadi warga masyarakat yang layak. "Mereka tak mau bercakap-cakap dengan saya. Kalau saya ajak bicara mereka menghindar," begitu kisah Supandi (bukan nama asli). Dia menceritakan pengalamannya ketika mula-mula terjun kembali ke masyarakat, sebagai penjahit di sebuah perusahaan konfeksi di Bogor. Sekarang dia sudah bergaul akrab dengan kawan sekerja di perusahaan itu. Pekerjaannya, kata majikannya, H. Aden, "paling rapi". Karena itu dia sering memperoleh hadiah sebagai tambahan upahnya. Tigapuluh tiga tahun anak Solo itu menjadi penghuni rumahsakit itu. Dia sedeng gara-gara istrinya yang cantik kabur entah ke mana . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus