Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hura-hura lebaran di penjara

Penghuni lp cipinang & lp pamekasan bikin ulah. untung petugas sigap tak ada yang sempat lolos. banyak senjata tajam yang aneh-aneh disita. napi sekarang & napi tahun 1950-an berbeda.(krim)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNYI dor-dor-dor itu tak menarik perhatian. Penduduk seputar Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, tak ada yang hirau Senin pekan lalu. Maklum masih suasana Lebaran. Petasan? Ternyata suara tembakan petugas yang berusaha mengatasi huru-hara. Keributan di LP Cipinang, berdasar hasil pengusutan sementara dari tim yang dibentuk Ditjen Pemasyarakatan, bermula dari soal pemerasan. Senin itu, Evi Chandra mendapat kiriman makanan dan rokok dari keluarganya. Tiga orang napi -- Suprapto alias Seger, Hambali alias Macan dan Rahmat Sapri -- lalu bertandang ke kamarnya. Di Kamar I Blok D itu terjadi perang mulut: rupanya Evi tak senang dimintai rokok dengan cara paksa. Toh ia tak berdaya: Hambali dan Rahmat menggenggam senjata tajam, sementara Seger membawa sepotong besi. Sambil berteriak minta tolong Evi berlari keluar -- dan segera diburu. Tepat di muka WC Blok IC, Evi tersungkur kena sabet senjata Hambali. Dua tusukan mengenai lambung dan satu lagi mengenai kemaluannya. Seorang petugas, Hanny Manopo, yang mencoba menolong Evi malahan diserang. Syukur karateka itu sempat menangkis. Dan ketika hendak dikeroyok ia buru-buru mencabut pistol serta menembak ke atas. Hambali cs mundur. Tapi tak lama kembali lagi bersama puluhan napi lain. Ada yang mengacungkan tinju sambil berteriak histeris, belasan lainnya tampak menggenggam senjata tajam. Ya, senjata tajam. Tapi bukan pisau mengkilap buatan pandai besi. Bukan pula arit bikinan Taiwan. "Coba saja lihat," kata Hari Marsoedi, Kepla LP Cipinang kepada TEMPO. Ia menunjukkan belasan senjata. Bentuknya memang "menggelikan", sekaligus bikin kuduh merinding, terutama bila diingat oleh siapa senjata itu dibuat dan kira-kira untuk tujuan apa. Pisau yang terbuat dari sendok baja yang ujung atau pangkalnya lebih dulu diketuk-ketuk dengan batu. Ada pula paku besar, dan potongan kecil besi yang diasah ala kadarnya. Benda-benda itu jelas dibuat dalam lembaga secara sembunyi-sembunyi. Sejak 1980, kata Marsoedi, sudah dua karung atau ratusan pucuk senjata semacam itu dirazia. Nah. Karena melihat beberapa petugas menyingkir, untuk sementara sekitar 300 napi merasa di atas angin. Mereka melempari kaca jendela perkantoran sambil berteriak-teriak. Yang lain merusakkan earphone dan membanting empat alat pemadam kebakaran. Tiga puluh dua gembok besar yang menggantung di jeruji kamar turut menjadi sasaran. Yang lain bahkan nekat membakar jendela kayu gudang berisi alat-alat olahraga, serta sebuah pos jaga. Suasana LP berpenghuni 1700 orang -- 1100 di antaranya berstatus napi -- sore itu memang betul-betul kacau. Maka Marsoedi, memimpin anak buahnya untuk mengatasi suasana. Karena keributan tak juga mereda, petugas terpaksa melepaskan tembakan sungguhan. Empat orang narapidana cedera terserempet peluru. Rudi Patiselamo terkena kaki kanannya, Bungkus kena lambung kiri, Rudi Irawan kaki kiri dan Amang alias Hasan lengan kanan. Mereka segera dilarikan ke RS Persahabatan. Kebakaran yang dicobatimbulkan para perusuh tak terjadi. Sebab potongan kain yang dinyalakan, apinya mati. Tapi pos penjagaan sempat hangus bagian dalamnya. Polisi dari Kores Jakarta Timur yang kemudian datang mempercepat usaha pengamanan, hingga lepas bedug maghrib praktis LP Cipinang sudah tenang kembali. Namun esok harinya geger lagi. Jamaran bin Jamaludin, 56 tahun, kedapatan mati tergantung dalam selnya. Napi berpenyakit saraf ini, menurut Marsoedi, tak punya sangkut-paut dengan keributan sehari sebelumnya. Sebab sejak beberapa waktu lalu ia ditempatkan dalam sel tersendiri hingga praktis tak bisa keluar. Menurut kabar, dokter Lembaga Kriminologi UI yang mengautopsi menemukan empat paku kecil dalam perutnya. Belum jelas apakah itu ada hubungan dengan sakit saraf. Menurut Marsoedi, Hambali cs oleh petugas memang disinyalir sering memeras sesama napi. Mereka nampak tak pernah kekurangan makanan atau rokok, padahal relatif jarang dikunjungi keluarga. Tapi membuktikan bahwa mereka suka memeras, kata Marsoedi, memang bukan pekerjaan mudah. Soalnya napi yang sering diperas tak ada yang berani melapor. Juga Seger dikenal suka bikin ulah. Tiga hari sebelum mengobarkan keributan, ia baru saja menjalani hukuman disiplin: selama 8 hari dikurung dalam sel tersendiri. Soalnya ia kedapatan menyimpan senjata tajam yang terbuat dari sendok tadi -- dan sering membandel bila diperingatkan petugas. Tapi ada yang menuding, keributan di LP itu sebenarnya disebabkan oleh "perlakuan diskriminatif" dalam lembaga. Misalnya ada napi -- bekerja sama dengan oknum petugas -- yang bisa mengatur napi yang berduit agar tidak sekamar dengan napi yang jorok dan banyak tingkah. "Mana mungkin," kata Marsoedi. "Semua kamar sama buruk atau sama baiknya." Namun ia mengakui, napi yang bcrasal dari kalangan intelek atau tokoh masyarakat memang disediai tempat tersendiri. Seperti Dewanto, pejabat Sekneg yang membunuh istri mudanya bersama Ismoejanto, temannya, dipisahkan dari napi lain yang berasal dari kalangan bawah. Bukan apa-apa -- hanya "walau bagaimanapun mereka 'kan masih punya harga diri." Juga napi yang keluarganya kaya, "untuk menghindari pemerasan dari napi lain, tempatnya dipisahkan." Keributan di LP ternyata bukan hanya soal "perlakuan diskriminatif" atau pemerasan. Bisa juga soal solidaritas, seperti yang terjadi di LP Pamekasan, Madura, dua hari sebelum keribuun di Cipinang. Sekitar 100 orang napi di LP ini, sempat melempari petugas dan merusak perkantoran LP. Pasal keributan hanyalah setiakawan sesama napi, setelah seorang napi, Mat Dullah mendapat hukuman disiplin, "disel". Mat Dullah mendapat hukuman itu karena sering mencoba berkeliaran. Tapi penghukuman itu, menimbulkan reaksi dari adiknya, Mat Tarip yang juga dihukum karena membunuh orang. Mat Tarip berhasil mempengaruhi napi lainnya untuk membuat keributan. Untuk menenangkan suasana, petugas terpaksa melepaskan tembakan peringatan. Untung tidak ada yang terkena peluru nyasar. Hanya saja, kata Kepala LP Supono, 10 napi sekarang dalam pemeriksaan. Keributan di LP tempat Henky Tupanwael ditahan sebelum menjalani hukuman mati itu, tercatat untuk kedua kalinya: November 1980, di LP yang berkapasitas 550 orang itu pernah pula terjadi pemberontakan oleh para napi. Direktur Pembinaan Dalam LP Departemen Kehakiman, Koesno Wibowo menolak anggapan, seolah keributan di LP karena kelengahan petugas. "Bekerja di LP bukan hal gampang. Sebab yang dihadapi orang-orang yang tidak normal," katanya. Koesno pun nampak tak begitu heran ada keributan dalam LP. Napi sekarang, menurut dia jauh berbeda dengan napi tahun 1950-an. Napi sekarang punya pergaulan luas dan relatif lebih terdidik. Sebab itu, "mengatur mereka lebih sulit." Hal itu, katanya menambahkan, tak berarti pembinaan terhadap mereka tak membawa hasil. Berdasar penelitian yang dilakukan pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ternyata hanya 7% napi yang residivis. "Berarti sebagian besar eks-narapidana 'kan sudah jadi orang baik-baik. Paling tidak, mereka tak lagi melakukan tindak kejahatan," kata Koesno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus