Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden bertahun-tahun silam masih terngiang di kepala Dewi—bukan nama sebenarnya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia dikira sebagai laki-laki lantaran mencetak banyak gol saat pertandingan sepak bola perempuan di kampungnya. Lawan mainnya yang tak terima menuding tim Dewi curang karena memasukkan pemain pria. “Ceu, saya ini perempuan. Kalau enggak percaya, ayo buktikan,” kata Dewi.
Bukan kali itu saja orang ragu akan keperempuanan Dewi, 28 tahun. Dalam pertandingan bola voli antarsekolah, lawan mainnya menyebut dia sebagai penyusup karena pukulannya yang dianggap terlalu kuat. Suaranya pun berat seperti suara laki-laki. “Mereka bilang saya lelaki yang dipakaikan kerudung,” tutur warga Jakarta Barat itu, Senin pekan lalu.
Meski berkali-kali dianggap sebagai lelaki, Dewi tak pernah ragu akan identitasnya. Ia seorang perempuan tulen. Alat kelaminnya menunjukkan demikian. Selayaknya anak perempuan, ia dipakaikan gaun oleh ibunya dan rambutnya hampir selalu dipanjangkan. Dia juga mengenakan kerudung sejak di sekolah menengah pertama.
Dewi tetap yakin dirinya perempuan meski saat SMP tubuh kawan-kawan sepermainannya mulai berubah dan mendapat haid. Sedangkan dia tak kunjung mendapat tamu bulanan sampai di sekolah menengah atas. “Ya, mungkin memang saya belum dikasih karunia haid,” katanya.
Dewi juga cuek saja melihat dadanya yang tetap rata dan muncul benjolan seperti jakun di tenggorokan. Dia baru terganggu ketika bocah kecil yang tak mengenalnya mengolok-oloknya karena suaranya yang berat. “Mereka bilang aku banci,” ujarnya. Dewi juga bingung dengan kecenderungannya yang naksir perempuan.
Santi—sebut saja demikian—punya kegalauan serupa. Saking bingungnya, adik Dewi itu meminta orang tua mereka memeriksakan kondisinya. Orang tua mereka kemudian ingat, saat lahir, ada benjolan cukup besar yang keluar dari genitalia Santi. Petugas kesehatan sempat ragu apakah ia perempuan atau laki-laki.
Karena keresahan Santi, pada 2008, orang tua mereka akhirnya membawa kedua anaknya ke dokter. Mereka diminta menjalani tes kromosom. Dari tes itu, baru ketahuan dengan jelas bahwa keduanya bukan perempuan seperti yang selama ini mereka kira. Baik Santi maupun Dewi berjenis kelamin laki-laki. “Kamu sih laki-laki. Sudah lepas saja kerudungnya,” kata Dewi menirukan ucapan dokter itu.
Mereka akhirnya menjalani dua kali operasi, yakni pada 2008 dan 2009. Baik Dewi maupun Santi—kini 24 tahun—sudah melepas kerudung dan berganti nama laki-laki.
Santi dan Dewi menderita gangguan perkembangan seks 46,XY (46,XY DSD). Kelainan yang terjadi pada anak laki-laki ini ditandai dengan bagian luar alat kelamin mereka yang tak normal. Genitalia yang semestinya tumbuh memanjang malah berbentuk seperti alat kelamin perempuan. Anomali yang terjadi sejak dalam kandungan tersebut disebabkan oleh minimnya kadar dihidrotestosteron (DHT)—salah satu hormon androgen. Pada pria, DHT antara lain bertugas membesarkan penis, menyatukan kantong buah pelir, dan membuat lubang urine pada ujung kelamin.
ilustrasi: kendra paramita
Kekurangan hormon DHT bisa disebabkan oleh kekurangan 5 alfa-reduktase tipe 2 (5AR2)—enzim yang mengubah testosteron menjadi DHT. Kekurangan ini diturunkan secara genetik. “Risiko anak mendapatkan ini 25 persen,” ujar dokter spesialis anak Andi Nanis Sacharina Marzuki.
Kelainan ini punya banyak varian, antara lain mikropenis alias penis yang mungil; hipospadia, yakni lubang kencing yang semestinya terletak di ujung malah menyimpang di bawah penis; genitalia ambigu, yaitu bentuk kelamin yang tak jelas antara alat kelamin perempuan dan laki-laki; serta yang paling ekstrem adalah tampilan luar alat kelaminnya mirip kelamin perempuan.
Keganjilan bentuk ini bisa berdampak fatal. Anak yang sebenarnya dilahirkan sebagai laki-laki jadi dibesarkan sebagai perempuan. Sebagian besar dari mereka baru ketahuan berjenis kelamin laki-laki pada usia belasan tahun, seperti yang dialami Dewi dan Santi. “Bayangkan kalau anak sudah masuk ke pesantren, sudah memakai jilbab, ternyata laki-laki,” ucap guru besar tetap ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jose R.L. Batubara.
Anomali semacam ini sudah ada sejak dulu. Doktor ilmu kedokteran komunitas Joedo Prihartono mengisahkan, dulu pun ada atlet lempar lembing putri yang kemudian berubah menjadi laki-laki. Sukarnah, atlet tersebut, memboyong medali perunggu pada nomor lempar lembing Asian Games III 1958 di Tokyo, Jepang. Ia sempat menikah dengan seorang pria, tapi bercerai setahun setelahnya. “Ia kemudian berubah menjadi laki-laki, menikah, dan punya anak,” katanya.
Kelainan ini punya banyak varian, antara lain mikropenis alias penis yang mungil; hipospadia, yakni lubang kencing yang semestinya terletak di ujung malah menyimpang di bawah penis; genitalia ambigu, yaitu bentuk kelamin yang tak jelas antara alat kelamin perempuan dan laki-laki; serta yang paling ekstrem adalah tampilan luar alat kelaminnya mirip kelamin perempuan.
Meski secara fisik bentuk genitalianya menyerupai perempuan, mereka tak bisa menampik dorongan alamiahnya sebagai laki-laki, misalnya jadi tomboi. “Kelaki-lakiannya tetap tampak,” ujarnya.
Kalau ada kecurigaan pasiennya memiliki masalah ini, dokter biasanya akan meminta mereka melakukan tes kromosom untuk melihat jenis kelamin bawaannya. Jika kromosomnya terbukti laki-laki, dokter biasanya akan meminta tes tambahan untuk mencari tahu penyebabnya. Karena beda penyebab, beda pula penanganannya.
Salah satunya tes untuk melihat kadar 5AR2 lewat steroid urine. Namun, masalahnya, tes enzim ini dikerjakan di luar negeri dan butuh waktu sekitar empat pekan untuk mengetahui hasilnya. “Biayanya juga mahal,” kata Nanis.
Di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta juga ada tes steroid urine dengan cara berbeda. Pengecekan tersebut dilakukan untuk mengetahui penyalahgunaan doping pada atlet, bukan untuk melihat gangguan pada enzim yang mengakibatkan kelainan ini. Nanis mencoba mencari tahu apakah tes steroid urine tersebut bisa dilakukan untuk menguji keganjilan tersebut. Ia mencari model perhitungan yang tepat untuk mengukurnya. Penelitian ini membawa Nanis meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 15 Januari lalu.
Nanis menguji urine para penyandang kelainan yang disebabkan oleh kurangnya enzim tersebut. Ada 14 orang yang tercatat memiliki kelainan ini. Ia meneliti urine mereka di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, tempatnya bekerja. Setelah dua tahun pengujian, ia menemukan perhitungan yang tepat untuk menguji adanya kelainan tersebut. “Biayanya juga lebih murah, sebesar Rp 300-400 ribu,” ujarnya.
Kalau hasilnya terbukti bahwa anak memiliki kelainan tersebut, mereka akan segera melakukan tindakan. Salah satunya dengan operasi untuk mengoreksi tampilan alat kelamin. “Kalau penisnya kecil, kami gedein jadi normal. Testisnya enggak turun, kami turunkan,” ucap Jose. Dan yang terpenting, kata dia, adalah perbaikan pola asuh. Mereka mesti dibesarkan sesuai dengan jenis kelamin aslinya.
Supaya kesalahan ini tak terbawa sampai dewasa, baik Jose, Nanis, maupun Joedo mewanti-wanti agar dokter anak, bidan, ataupun petugas kesehatan yang bertugas menangani anak baru lahir tak tergesa-gesa menyimpulkan jenis kelamin anak. Penentuan jenis kelamin tak boleh lagi hanya dilihat, tapi juga diraba. “Apakah ada testis, lubangnya ada berapa, di mana klitorisnya. Kalau perlu diukur,” ujar Nanis. Jika ada keganjilan, lebih baik diperiksakan ke dokter yang tepat.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo