Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kecil Menggemaskan, Besar Rendah Diri

Jumlah anak-anak obesitas terus meningkat. Dampak psikologis sering kurang diperhitungkan.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAHULU, Sarmiati bangga terhadap kemontokan Mohammad Rizki. Bagaimana tidak, putra nya itu kerap dipuji banyak orang. Lahir dengan bobot 3,2 kilogram dan panjang 51 sentimeter, Rizki tumbuh menjadi bayi montok. Pipinya gembil, putih kemerahan. Penampilannya mirip bintang iklan produk makanan bayi di layar kaca. Menggemaskan.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, rasa bangga itu berubah menjadi cemas. Berat badan putra tunggalnya terus melambung. ”Dia doyan makan dan minum susu,” kata warga Kedunghalang, Bogor ini. Dalam sehari, Rizki terbiasa menghabiskan satu kardus susu bubuk 200 gram. Tak mengherankan bila pada usianya sekarang, lima tahun, bobot Rizki sudah 40 kilogram. ”Saya takut sampai besar dia gendut, kasih an,” katanya. Bukan penyakit yang ditakutkan Sarmiati, namun bayang-ba yang anaknya yang akan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Kekhawatiran sang ibu beralasan. Menurut Diennaryati Tjokrosuprihatono dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, anak gemuk cenderung diolok-olok di sekolah. Mereka juga kerap dijauhi teman-temannya karena dianggap tak bisa bergerak. Perlakuan yang tak mengenakkan ini bisa mempengaruhi rasa percaya diri seorang anak. ”Dampak ejekan ini biasanya terbawa sampai dewasa,” katanya ketika berbicara dalam seminar Mencegah Obesitas pada Anak di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, dua pekan lalu.

Dampak penyakit fisik di kemudian hari mungkin bisa diukur, namun akibat ejekan ini yang sulit ditara. ”Yang tak kalah berbahaya, kegendutan berdampak negatif terhadap perkembangan psikososial sang anak,” katanya. Beban menjadi seorang bertubuh tambun akan mempengaruhi prestasi di sekolah serta kehidupan sosialnya. Ini memunculkan citra negatif dan penghargaan diri rendah.

Obesitas pada masa anak-anak—5 hingga12 tahun—seperti dialami Rizki memang biasanya berlanjut hingga dewasa. Sayangnya, sebagi an besar orang tua di Indonesia justru beranggapan anak sehat adalah yang montok. Ini juga kerap digunakan se bagai salah satu kriteria penilaian dalam berbagai lomba anak balita (bawah lima tahun) sehat. ”Anggapan ini sama sekali keliru,” kata Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, spesialis anak dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo. Bayi sehat memiliki berat badan seimbang dengan pertambahan tinggi badan dan usia. ”Kurus tak berarti bermasalah, selama dia lincah dan berat badannya masih berada di garis normal pada grafik pertumbuhan,” katanya.

Pandangan ”menyesatkan” ini diduga turut andil dalam peningkatan kasus obesitas anak. Dari penelitian yang dilakukan Masyarakat Pediatri Indonesia pada anak-anak sekolah dasar di 10 kota besar di Indonesia pada 2002-2005, angka kejadian obesitas rata-rata tergolong tinggi, yakni 10-12,2 persen. Angka ini hampir sama dengan prevalensi obesitas di Inggris (10-17 persen) dan Amerika Serikat (10-12 persen). Penelitian serupa yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Jakarta pada 2006 malah lebih heboh. Angka obesitasnya 9,8-37 persen.

Obesitas memang menjadi masalah sa ngat serius di seluruh dunia. Angka keja dian obesitas pada masa kanak-kanak me ningkat secara cepat. Bukan cuma di ne gara maju tapi juga di negara berkembang. ”Bahkan Afrika pun mengalami masalah serupa,” tutur Damayanti. Ba dan Kesehatan Dunia (WHO) telah men deklarasikan obesitas sebagai epidemik global. Untuk menanggulanginya pun sulit. Di negara semaju Amerika, angka kegagalannya mencapai 90 persen.

Jadi, bisa dibayangkan betapa khawatirnya orang tua yang memiliki anak gendut seperti ibu Rizki. Apalagi masalah obesitas pada anak bukan sekadar bertujuan membuat mereka langsing, apalagi dengan cara diet habis-habisan seperti orang dewasa. Penggunaan bermacam makanan rendah kalori serta lemak malah bisa menghambat tumbuh-kembang anak terutama pada masa penting pertumbuhan otak.

Jika ini terjadi, perkembangan kesehatan jiwa anak juga terganggu. ”Jadi, untuk menurunkan berat badan anak dengan benar, selain perlu bantuan ahli gizi, juga psikolog,” kata Damayanti.

Yang paling penting adalah keluarga. Sebab, walaupun obesitas dipicu faktor genetis, 90 persen kasus obesitas terjadi karena faktor lingkungan.

Bila satu keluarga menjalani pola hidup sehat, orang tua memberi contoh ma kan makanan sehat dan berolahraga, si anak gendut tidak merasa mende rita dan sendirian. ”Orang tua harus jadi panutan menerapkan pola hidup yang benar,” kata Damayanti.

Nunuy Nurhayati


Fakta tentang Obesitas Anak

  • Anak tergolong obesitas bila berat badannya lebih 20 persen di atas berat normalnya.
  • Sekitar 15 persen kasus obesitas terjadi pada bayi.
  • Ada beberapa penyakit yang bisa mengakibatkan obesitas, misalnya sindroma Prader-Willi dan Bardel-Biedl—dua penyakit yang berkaitan dengan fungsi otak, yaitu otak tidak mampu memberikan sinyal rasa kenyang.
  • Anak obesitas biasanya berasal dari keluarga yang obesitas. Jika kedua orang tua mengalami obesitas, risiko anak terkena obesitas mencapai 80 persen. Kalau hanya salah satunya, kemungkinannya turun menjadi 40 persen.
  • Bayi yang terlalu gemuk akan memiliki sel lemak berlipat ganda dan akan terus bertahan sampai tua.
  • Sampai saat ini sudah diketahui tujuh jenis gen penyebab obesitas pada manusia.
  • Anak-anak dengan obesitas cenderung lebih sering merasa cemas.
  • Beberapa anak makan berlebihan untuk mengatasi masalah emosi seperti stres dan kebosanan. Kecenderungan ini biasanya juga dimiliki orang tuanya.
  • Jus buah menjadi penyebab utama obesitas pada anak di Amerika.

Bahaya Mengintai Si Montok

  1. Persendian Bobot tubuh berat membuat persendian makin terbebani. Persendian terutama sendi lutut gampang terkena peradangan (osteoartritis), yang bisa membuat bentuk kaki membengkok.
  2. Pembuluh darah Penyempitan pembuluh darah membuat tekanan darah meningkat. Salah satu gejalanya adalah sering pusing.
  3. Psikososial Anak pengidap obesitas sering mengalami gangguan psikologis, terutama ketika memasuki usia sekolah. Rasa tidak percaya diri, rendah diri, hingga depresi bisa muncul terutama bila dia berada di lingkungan yang sering memperolok-olok kegemukannya.
  4. Gangguan pertumbuhan Obesitas menyebabkan tulang lebih cepat matang sehingga sulit berkembang. Akibatnya, anak-anak obesitas lebih pendek ketimbang anak lain.
  5. Paru-paru Timbunan lemak dapat menekan saluran pernapasan. Ini bisa menyebabkan terjadinya henti napas (sleep apnea) sewaktu tidur, mengorok, dan asma
  6. Jantung Tumpukan lemak di tubuh membuat kerja jantung memompa darah ke seluruh jaringan tubuh makin berat. Kalau terus-menerus bekerja melampaui kemampuannya, bisa memicu terjadinya gagal jantung.
  7. Metabolisme lemak Kadar kolesterol jahat (LDL) meningkat sedangkan kolesterol baik HDL menurun. Kondisi ini memicu terbentuknya kerak dalam pembuluh darah (aterosklerosis). Gampang terkena penyakit jantung koroner dan serangan stroke.
  8. Insulin Lemak yang bertumpuk terutama di sekitar perut memicu terjadinya gangguan fungsi insulin. Akibatnya, gula tidak dapat diserap sel-sel tubuh dan tetap beredar di dalam darah. Kondisi ini dikenal dengan istilah diabetes melitus alias kencing manis.
  9. Penis Tampak sangat kecil karena tertutup lapisan lemak berlebihan di bawah kulit.
  10. Sistem hormonal Pada anak perempuan, obesitas bisa memicu menstruasi pertama datang lebih awal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus