Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba saja hampir semua telepon seluler kehilangan sinyal. Para demonstran yang menyambangi kantor Badan Intelijen Negara (BIN) di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, susah sekali berkomunikasi. Beberapa dari mereka berjalan menjauh sambil mengangkat telepon, berharap sinyal kembali muncul.
Mengusung puluhan karangan bunga, lima ratusan orang itu mendatangi kantor BIN, Rabu pekan lalu. Mereka menganggap petinggi dan mantan pejabat lembaga itu ikut bertanggung jawab atas kematian Munir, aktivis yang dibunuh dengan racun arsenik tiga tahun lalu.
Demonstran mengusung poster bergambar Kepala BIN Syamsir Siregar dan wakilnya, M. As’ad. Juga poster mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono, serta Muchdi Purwoprandjono dan Manunggal Maladi, dua mantan deputi kepala lembaga itu.
Suciwati, istri mendiang Munir, menyatakan kedatangan demonstran bukan untuk menyerang lembaga telik sandi itu. ”Kami mendukung pembersihan BIN dari penjahat, bukan untuk mengoyak-ngoyak institusi ini,” katanya tatkala berorasi di atas mobil bak terbuka di depan kantor BIN.
BIN banyak disebut dalam sidang peninjauan kembali kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda, menyebut adanya surat dari As’ad yang memintanya menempatkan pilot Pollycarpus Budihari Priyanto ke unit keamanan penerbangan.
Berbekal surat itu, Pollycarpus mengubah jadwal terbang pada 6 September 2004, hari keberangkatan Munir ke Belanda. Dari semula terbang ke Beijing, Cina, ia terbang ke Singapura dengan Garuda 974, pesawat yang ditumpangi Munir. Ketika menuju Singapura itulah, ia memberikan kursi eksekutif miliknya kepada Munir yang bertiket ekonomi.
Indra mengatakan surat dari As’ad yang disampaikan kepadanya oleh Po l lycarpus itu hilang ketika mobilnya dibobol maling. Namun, dari percakapan melalui telepon yang ternyata disadap polisi, Pollycarpus mengakui adanya surat itu. Rekaman ini diputar dalam sidang pada Rabu tiga pekan lalu.
Indra Setiawan juga mengaku pernah dua kali bertemu Muchdi, Deputi Kepala BIN Urusan Penggalangan pada 2004. Yang pertama di kantor BIN tatkala ia hendak bertemu As’ad guna menanyakan masalah surat penugasan Polly, sekitar Oktober 2004. Lalu di Bisnis Center Hotel Mulia, Jakarta, yang juga dihadiri M. Taufiequrrahman, ketua tim pencari fakta kematian Munir bentukan DPR.
Taufiequrrahman, yang dihubungi Tempo pada Jumat pekan lalu, membe narkan adanya pertemuan itu. Namun, menurut dia, pertemuan itu tak dise ngaja. ”Kebetulan kami bertemu di Hotel Mulia,” kata politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa itu. Ia mengaku kenal Muchdi sejak 1996, ketika sang jenderal menjadi Kepala Staf Kodam Brawijaya.
Menurut Indra, pertemuan di Hotel Mulia itu dilakukan pada 3 Maret 2005. Malam harinya, para pejabat Garuda dan awak yang bertugas pada saat kematian Munir dipanggil oleh tim pimpinan Taufiequrrahman. ”Kami membicarakan kronologi dan jawaban dari Garuda yang malamnya akan di tanyakan di DPR,” kata Indra kepada polisi, seperti tertuang dalam berita acara pemeriksaan.
Selama pertemuan itu, kata Indra, Muchdi hanya mendengarkan ia berbicara dengan Taufiequrrahman. ”Saya berpikir apakah Pak Muchdi ingin tahu jika saya menyebut-nyebut keterlibatan ’tiga huruf’,” ujar Indra kepada polisi. ”Tiga huruf”, menurut sumber Tempo, merupakan kata sandi yang sering dipakai polisi untuk menyebut BIN.
Raden Muhammad Padma Anwar, seorang bekas agen BIN, juga mengaku pernah diperintahkan membunuh Munir. ”Ia harus mati sebelum pemilihan presiden karena dianggap berbahaya,” katanya.
Apa kata Muchdi? Lutfi Hakim, pengacaranya, mengaku baru mendengar ada pertemuan itu dari Tempo. ”Klien saya tak pernah bercerita ada atau tidak ada pertemuan itu,” katanya.
Syamsir Siregar telah membantah keterlibatan anggotanya. Ia juga menyatakan Padma bukan anggota BIN. Adapun para pengacara Pollycarpus menyatakan keterkaitan dengan BIN itu tak membuktikan sang pilot terlibat pembunuhan Munir.
Tiga tahun setelah kematian Munir, dugaan keterlibatan BIN tak pernah bisa diusut. Mentok, seperti telepon seluler demonstran yang kehilangan sinyal itu.
Budi Setyarso, Fanny Febiana, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo