Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kembang dalam Kloset

Lesbian di Indonesia jauh lebih tertutup dibandingkan dengan kaum gay. Mereka masih terkepung dalam tumpukan stigma dan cap buruk.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamilia bagaikan bunga rapuh. Genggaman tangan gadis 22 tahun ini amat ringan, jauh dari kesan kukuh. Tubuhnya mungil dengan tinggi tak sampai 1,5 meter. Pandangan matanya kerap menerawang entah ke mana.

Namun jangan ragukan kesungguhannya. Kamel, begitu dia dipanggil, sejak kecil memiliki orientasi seksual yang teguh. Laki-laki seganteng apa pun tidak bisa menggetarkan hatinya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Bandar Lampung, ini hanya kepincut pada perempuan. "Terutama yang profilnya lembut keibuan," katanya.

Kamilia bukan satu-satunya. Ada Ennerose, 30-an tahun, aktivis Suara Ibu Peduli, lembaga swadaya masyarakat di Jakarta yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan. Sejak kecil, Rose, panggilan akrab wanita bertubuh seindah boneka Barbie ini, hanya terpikat pada sesama kaum hawa. Cowok gagah lagi seksi macam Brad Pitt, maaf-maaf saja, tidak sanggup menyalakan api hasratnya.

Begitulah, lesbian atau lines hadir di antara kita. Mereka ada di ruang sekolah, kampus, perkantoran, dan juga barak militer. Bahkan, di bilik-bilik pesantren yang tersembunyi, juga ada lesbian. Ada santri perempuan, nyai pemimpin pesantren, yang punya hasrat seksual terhadap sesama jenis. "Saya sering menjadi tempat curhat mereka," kata Masruchah. Ketua Koalisi Perempuan Indonesia ini pernah secara intensif melakukan penelitian mengenai hak reproduksi perempuan di 50 pondok pesantren di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Seperti gay, sebagian lesbian rajin menyambangi kafe dan diskotek yang remang tapi ingar-bingar. Di Yogyakarta, lines ramai berkumpul di Q Club, tempat biliar di Jalan Magelang, pada malam tertentu. Lalu, di Jakarta, tempat nongkrong favorit lesbian adalah Kafe '45, Kebayoran, dan kadang berkumpul di Kafe Jalan-Jalan, Menara Imperium, Jalan Rasuna Said.

Hanya, tak usah terlalu mengharapkan para lines tampil demonstratif di depan umum. Tidak seperti pasangan gay yang begitu merdeka—sering terkesan vulger—mengekspresikan kasih sayang, para lesbian lebih bersikap tertutup. Ekspresi kasih sayang hanya tertuang khusus di kalangan internal. Jika berduaan di kafe, paling-paling pasangan lines hanya saling melempar tatapan mesra sambil duduk rapat di pojok yang remang. Mereka sering lebih tampak sebagai sahabat kental ketimbang sebagai pasangan kekasih. "Gandengan tangan aja enggak berani," kata Tata, 28 tahun, Lurah Kelompok Kekerabatan Lesbian, Biseks, dan Transeksual, Yogyakarta.

Tata, lulusan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, menambahkan, dia kurang suka menyaksikan pasangan lines yang gemar pamer kemesraan. Dia paham betul masyarakat kita belum menerima kehadiran homoseksual, apalagi lesbian. "Eh... la, ini malah ada lines yang overacting. Pake ciuman segala di pusat perbelanjaan," kata Tata. Sikap pamer semacam inilah yang kian memupuk sikap antilesbian dan membuat masyarakat keliru menilai. Katanya, "Dikiranya menjadi lesbian berarti hidup hanya demi kesenangan seks."

Bagi Tata, menjadi homoseksual tak berbeda dengan heteroseksual. Ada tanggung jawab kemanusiaan yang harus dijalankan. "Kalau tujuannya cuma having fun, tak perlu jadi lesbian," katanya

Jaleswari Pramodhawardani, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, membenarkan; komunitas lines cenderung lebih tertutup ketimbang gay. Maklumlah, di tengah iklim budaya patriarki, "Kaum lesbian punya beban berlipat-lipat," kata Jaleswari.

Pada tahun 2002, Jaleswari menggelar penelitian bertajuk "Konstruksi Lesbian atas Realitas Homoseksual". Berbagai forum diskusi dan mailing list lesbian di jagat maya, antara lain Swara Srikandi (www.swara.cbj.net), menjadi obyek pengamatannya. Hasilnya, Jaleswari menyimpulkan ada beberapa persoalan utama yang dihadapi kaum lesbian Indonesia.

Pertama dan paling utama, kata Jaleswari, para lesbian ini gelisah dengan identitas diri. "Tidak gampang merumuskan apa sebenarnya yang terjadi pada diri mereka," katanya. Mereka dibesarkan dengan tradisi heteroseksual bahwa hubungan laki-laki dan perempuan itulah hal yang wajar dan normal. Kemudian mereka mendapati bahwa hati, gairah, dan segenap rasa cinta mereka justru tersedot oleh sesama jenis. Tentu saja ini hal yang mengagetkan. Tidak sedikit yang mengalami reaksi penolakan, self denial, bahkan ada yang sampai berkali-kali mencoba bunuh diri.

Kedua, mereka harus menghadapi topan-badai reaksi keluarga. Budaya kita yang patriarki, Jaleswari menambahkan, membuat perempuan merasa tidak memiliki kuasa atas diri sendiri. Mereka harus dan dipaksa tunduk pada kemauan ayah, paman, kakek, suami, serta segenap keluarga besar. Jika ada perempuan yang sampai nekat menjadi lesbian, mereka harus siap menerima konsekuensi yang teramat berat.

Seperti banyak kasus yang dilaporkan pada Sektor 15, Koalisi Perempuan Indonesia, banyak lesbian yang tak diakui lagi oleh keluarga, dikucilkan, dicoret dari daftar nafkah, dan diperkosa, bahkan ada yang dibuang ke rumah sakit jiwa. "Mereka dianggap seperti sampah tak berguna," kata Ketua Masruchah. Ikatan keluarga dengan mudah diputus hanya karena kondisi dan orientasi seksual.

Belum cukup dengan topan-badai keluarga, para lesbian juga menghadapi stigma bertumpuk-tumpuk dari masyarakat. Menjadi lesbian dianggap sebagai perilaku menyimpang, sesat, dan sakit. Media massa pun selalu memojokkan mereka. Topik lesbian hanya muncul sayup-sayup, dibahas apabila ada tindak kriminal—penganiayaan, pembunuhan—yang menimpa lines. "Pembahasan dengan kepala dingin, hati terbuka, jarang sekali dilakukan," katanya. Yang sering digelar justru pembahasan tentang hukuman bagi mereka yang memilih jadi gay dan lesbian.

Segunung risiko tadi tentulah teramat berat ditanggung. Bersikap terbuka, jujur, menjadi hal yang susah, bahkan nyaris mustahil. Mereka dihadapkan pada situasi paling buruk. Istilahnya: in the closet, di WC. Tempat pembuangan segala jenis kotoran, tempat seseorang melakukan aktivitas yang disembunyikan, tak elok disaksikan orang lain. Jika sampai kotoran WC terhambur keluar, bersiaplah menerima kemarahan tiada ampun.

Kamilia menuturkan betapa beratnya hidup dalam kloset. Segalanya penuh kepura-puraan. Kepada orang di sekitarnya, sanak-kerabat-teman, seumur hidup Kamilia terbiasa menutupi hasrat seksualnya yang sebenarnya.

Kamilia menyimpan rapat-rapat seluruh pergulatan batin dan kerisauan yang mengimpit dada. Paling-paling dia hanya bercerita kepada mantan pacarnya, adik kelasnya semasa di SMA.

Satu bulan lalu, Kamilia bertandang ke Yogyakarta. Dia bertemu dengan aktivis Yayasan Pelangi, lembaga swadaya masyarakat yang antara lain bergerak mendampingi gay dan lesbian. Di sinilah Kamel merasa mendapatkan teman senasib. Lubang besar di hatinya perlahan mulai terisi. "Rasanya tidak lagi sendirian," katanya. Kawan-kawan baru ini pula yang menguatkan hatinya untuk berani coming out, keluar dari kepungan kloset. "Segera saya akan jujur kepada orang tua, apa pun risikonya," kata Kamilia, si bunga rapuh. Kamilia berharap ayah-ibunya bisa memahami jalan hidupnya. Sesungguhnya, dia menambahkan, orang tuanya sedikit-banyak turut berperan membentuk seorang Kamilia yang lesbian. "Saya tumbuh tanpa sosok bapak. Orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil," katanya. Sosok ibu yang begitu perkasa agaknya menumbuhkan kekagumannya kepada perempuan. Kata Kamilia, "Mungkin itu pula sebabnya saya lebih suka perempuan yang keibuan."

Kamilia kini yakin, bila dia sudah sanggup jujur kepada orang tuanya, bongkahan batu besar yang selama ini mengganjal hatinya bakal tersingkir. Dia tak gentar lagi menghadapi stigma dan cap buruk apa pun yang dilekatkan masyarakat.

Herlinatiens, penulis novel Garis Tepi Seorang Lesbian, sependapat dengan Kamilia. "Menjadi lesbian bukan kejahatan, kok," katanya.

Dalam proses penulisan bukunya, Herlinatiens menghabiskan waktu setahun untuk bergaul dengan para lines. Dari pergaulan inilah Herlina tahu bahwa kaum lesbian punya cinta dan ikatan yang luar biasa. "Cinta mereka sangat cantik," katanya bernada kagum.

Pengungkapan rasa sayang di antara pasangan lesbi melampaui yang biasa terjadi pada laki-laki dan perempuan. Butchie, biasanya bersosok tomboi, lines yang berperan sebagai "suami", sangat melindungi pasangannya yang femme, biasanya bersosok feminin, lines yang berperan sebagai "istri". "Mereka tidak segan berkorban segalanya untuk pasangannya," katanya. Tapi, harus dicatat, pemilahan butchie dan femme bagi banyak lines sudah disebut basi.

Homoseksual, tak bisa diingkari, hidup dan ada di antara kita. Herlina menya-

rankan agar masyarakat lebih terbuka menerima perbedaan orientasi seksual. Homoseksualitas adalah pilihan pribadi seperti halnya heteroseksualitas. "Toh, mereka tidak merugikan orang lain," kata Herlina. Kalau memang ada yang mengganggu orang lain, bertindak kriminal, misalnya, berlakukan saja hukuman seperti yang berlaku pada kaum heteroseksual.

Sebagai manusia, kaum heteroseksual dan homoseksual memang tak berbeda. Teori-teori mutakhir sosiologi bahkan tidak lagi menempatkan homoseksual dalam posisi minoritas. Sosiolog Eve Sedgwick, dalam buku terkenalnya, The Epistemology of the Closet, menegaskan bahwa homoseksualitas adalah pasangan tak terelakkan dari heteroseksualitas.

Sejarah peradaban manusia, menurut Sedgwick, juga disusun oleh batu bata yang didirikan kaum homo dan hetero yang saling melengkapi. Museum Gay, di London, menyebutkan deretan panjang tokoh terkenal yang juga homo atau biseks. Mereka antara lain Winston Churchill, Lord Byron, Lord Mountbatten, Lawrence of Arabia, John Maynard Keynes, Catherine Cookson, dan bahkan Florence Nightingale.

Bayangkan, andai tokoh-tokoh itu tak ada, wajah dunia kini tak bakal sama.

Mardiyah Chamim, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus