Fenomena homoseksualitas selalu melambungkan rasa penasaran. Segudang pertanyaan datang bertumpuk-tumpuk. Benarkah gay atau lesbian muncul lantaran pengaruh kawan sepergaulan? Ataukah ini semata-mata persoalan takdir yang sudah digariskan Tuhan sejak dari sononya?
Tidak sedikit ilmuwan yang mencoba memecahkan teka-teki fenomena ketertarikan pada sesama jenis. Beberapa riset secara khusus mewarnai upaya mengurai tirai tebal yang melingkupi homoseksualitas ini.
Pada tahun 1991, Simon Le Vay dari Salk Institute for Biological Studies, California, AS, mengamati morfologi atau bentuk otak para responden yang gay. Le Vay sampai pada kesimpulan bahwa responden gay memiliki sebuah areal di hipotalamus—salah satu bagian otak—yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan areal serupa pada responden heteroseksual. Jaringan pada areal ini antara lain berfungsi melepaskan hormon yang terkait dengan fungsi seksualitas. Hanya, Le Vay menekankan, bukan berarti laki-laki gay terlahir langsung dengan ukuran hipotalamus kecil. Boleh jadi, bentuk hipotalamus yang khas tersebut adalah hasil interaksi antara jaringan otak dan aktivitas seksual yang dijalani para gay.
Tiga tahun kemudian, Dean Hammer dari National Institute of Health (NIH), AS, menyoroti struktur genetik yang dimiliki 40 pasangan gay. Hasilnya, 33 dari 40 pasangan gay menunjukkan adanya keanehan pada segmen pita kromosom yang diwariskan ibu, yang diberi kode nomor Xq 28.
Berikutnya, pada tahun 1999, George Rice, ilmuwan dari Northwestern University, Kanada, menggelar riset dengan tujuan mengukuhkan hasil temuan Dean Hammer. Ada 52 pasangan gay yang menjadi responden penelitian George Rice. Alih-alih menguatkan, riset Rice justru meragukan kesimpulan Hammer. Dia tidak mendapati keanehan dan cacat apa pun pada kromosom Xq 28 milik seluruh responden.
Temuan George Rice, bagi sebagian orang, dianggap serta-merta menggugurkan hipotesis bahwa homoseksualitas terkait dengan persoalan genetik. Menjadi gay atau lesbian tak ada urusan apa pun dengan kondisi keanehan kromosom Xq 28 seperti yang dinyatakan Dean Hammer.
Namun, Michael Bailey, ilmuwan Northwestern University, punya pendapat lain. Penemuan Rice tidaklah menutup kemungkinan bahwa homoseksualitas terkait dengan kondisi genetik. Persoalannya, manusia memiliki puluhan ribu gen yang bekerja seperti konser yang amat kompak. Setiap titik molekul protein dalam rantai DNA (asam deoksiribosa nukleat, pembawa materi genetik) memiliki fungsi khusus sekaligus saling mempengaruhi fungsi miliaran molekul yang lain.
Nah, dengan kondisi serumit itu, memang teramat sulit menemukan satu jenis gen yang secara spesifik bertanggung jawab atas homoseksualitas. Apalagi riset yang dilakukan Hammer dan Rice berskala kecil, hanya melibatkan puluhan orang, yang pasti belum mewakili segenap profil gay dan lesbian. Walhasil, mungkin saja ada segmen kromosom lain, bukan Xq 28, yang berhubungan dengan orientasi seksual tetapi belum bisa terdeteksi. Karena itu, menurut Bailey, penelitian mengenai adanya gen pencetus homoseksualitas harus dilanjutkan.
Perlu pula kita garis bawahi komentar Dean Hammer sendiri. Materi genetik, menurut peneliti yang juga gay ini, bukanlah satu-satunya jawaban bagi teka-teki homoseksualitas. "Ini bukan murni urusan genetik," ujarnya. Faktor lingkungan, dengan sejuta keruwetan dan misteri, juga memainkan peran sangat penting dalam membentuk orientasi seksual seseorang.
Jika hanya soal genetik, Hammer melanjutkan, tentulah kita bisa menggunakan pendekatan pohon silsilah ala tokoh perintis ilmu genetika George Mendel. Contohnya, harimau jantan cokelat yang dikawinkan dengan harimau betina putih akan menghasilkan keturunan dengan warna kulit yang bisa diramalkan.
Tapi, untuk kasus homoseksualitas, pohon silsilah ala Mendel sama sekali tak berlaku. Kata Hammer, "Kita tak pernah bisa memperkirakan seorang bayi akan tumbuh menjadi gay, lesbian, atau bukan."
MCH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini