ENTAH berapa banyak obat-obatan yang beredar di Indonesia.
Kalau kita menyimak IIMS (Indonesia Index of Medical
Specialties) buku yang berisikan obat-obatan "daftar G" atau
obat-obatan yang memerlukan resep Dokter -- tak kurang dari
2.000 macam. Antara lain meliputi obat anti malaria sampai obat
pengatur metabolisme. Ditambah lagi dengan obat-obatan "daftar
W" yang bebas terbatas dan "daftar bebas', jumlah total jenderal
bolehlah dihitung sesukanya.
Tapi itu sekedar soal kwantitas. Soal kwalitas bagaimana? Tak
seorang pun berani memberi jaminan kecuali tentu saja lembaran
petunjuk yang dilampirkan pabrik obat pada produksinya. Namun
harus diakui, belakangan ini sejak pengusaha obat asing
memproduksi obat-obatan di sini -- produksi dengan cara-cara
mutakhir diperkenalkan, orang mulai kenal apa itu good
manufacturing practice (GMP) apa itu bio availability dan
sebagainya. Bikin obat itu harus memenuhi persyaratan ketat:
dari menimbang bahan baku, masuk dapur sampai pada pengemasan
dan pengepakan harus pula diperhitungkan pengaruhnya terhadap
mutu obat. Belum lagi suhu dan lembab udara. Bisa-bisa mutunya
menyeleweng dari yang tertera di lembaran petunjuk.
Sengaja atau tidak suatu obat diselewengkan oleh produsennya
hingga kini memang sukar diketahui oleh awam. Apalagi untuk
menilai jumlah mikrogram atau kadar yang samar-samar dari jenis
preparat tertentu, paling-paling orang menengok pada Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Percayalah . . . obat yang
telah terdaftar tentu legal dan tidak bohong.
Tapi bagi Direktorat Jenderal POM soal kontrol mutu itu bukan
soal di laboratorium saja. Di sini ia kebentur dengan soal
teknik dan perlengkapan. Ibarat mengejar pencuri yang naik
sepeda motor, sang polisi baru memakai sepeda minus motor. Ya
ketinggalan. Nah pada tanggal 4 Mei yang lalu di Aula Direktorat
Jenderal POM telah berlangsung upacara yang sederhana tapi
bersejarah. PT Roche Indonesia dan PT Kimia Farma bersama-sama
menyumbangkan seperangkat alat lab yang disebut Atomie
Absorption Electrospectrophotometer kepada instansi yang berada
di bawah Departemen Kesehatan tersebut. Nama alat tersebut
seram. Tapi jangan kaget, "kata-kata atom itu tidak berbahaya",.
kata drs. Lembong dari pimpinan Gabungan Perusahaan Farmasi
Indonesia. "Sudah built-in (terkandung di dalamnya), tidak
radio-aktif seperti yang ditakutkan. Anggap saja seperti kacang
atom, 'kan enak dimakan". Alat tersebut sangat peka untuk
mengukur kadar bahan kimia yang terkandung di dalam obat.
Ketika menyambut sumbangan yang bernilai AS$ 11.500 tersebut,
Dirjen POM drs Sunarto Prawirosujanto mengatakan bahwa dengan
alat tersebut pengawasan dan pengamanan mutu obat maju selangkah
lagi. "Sumbangan tersebut dijamin dapat dimanfaatkan dan tidak
akan rusak", kata Sunarto. Tapi diingatkan, lembab udara dan
tegangan listrik yang kadang-kadang merosot dan kadang-kadang
naik, harus dilawan dengan generator khusus. "Untuk itu saya
akan ajukan permintaan kepada Bappenas", tambahnya. Sementara
itu HJA Dortmans, Direktur Roche Indonesia kepada TEMPO, bahwa
ahli untuk mendidik tenaga Indonesia menggunakan
spectrophotometer yang paling mutakhir itu, telah disediakan
pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini